Kajian Hukum Kasus Tender Kapal Patroli Cepat yang Dibidik KPK

Sabtu, 16/11/2019 08:00 WIB
Ilustrasi Kapal Patroli Cepat Milik Ditjen Bea Cukai (Foto:Garudamiliter.blogspot.com)

Ilustrasi Kapal Patroli Cepat Milik Ditjen Bea Cukai (Foto:Garudamiliter.blogspot.com)

Jakarta, law-justice.co - Indonesia adalah negara maritim kepulauan yang terdlri dari 17.504 pulau dengan luas perairan mencapai 81% dari luas wilayah Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu wilayah perairan yang luas ini harus dijaga dan diamankan dengan berbagai perangkat kapal pengamanan laut dan pantai.

Salah satunya dengan menjaga perbatasan di sepanjang wilayah NKRI untuk melindungi masyarakat lndonesia dari maraknya penyelundupan, pencurian ikan, kerusakan lingkungan ekosistem, sampah laut dan perdagangan ilegal. Dalam program nawa cita, pembangunan dan pengawasan di sektor maritim dengan program penjaga perbatasan dan kedaulatan negara.

Kondisi tersebut rupanya disadari betul oleh Direktorat Bea Cukai Kementerian Keuangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan menganggarkan pengadaan Kapal Patroli Cepat dan Sistem Kapal Inspeksi Perikanan Indonesia (SKPI).

Namun niat tersebut  ternyata tidak selalu sejalan dengan fenomena yang terjadi di lapangan. Ketika niat tersebut diimplementasikan, yang mengendap ke permukaan justru munculnya bau korupsi dalam pengadaan kapal patrol cepat yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut. KPK menduga telah terjadi korupsi dalam pengadaan 16 unit Kapal Patroli Cepat (Fast Patrol Boat) pada Direktorat Penindakan dan Penyidikan Ditjen Bea Cukai tahun anggaran 2013-2015.

Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 44 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK telah menyelesaikan penyelidikan dengan mengumpulkan informasi dan data yang relevan hingga terpenuhinya bukti permulaan yang cukup. Pada akhirnya perkara ini ditingkatkan pada proses penyidikan. Dalam kasus ini KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka yang berinisial IPR, HSU, dan AMG.

IPR diduga adalah Istadi Prahastanto selalu Pejabat Pembuat Komitmen dalam proyek pengadaan kapal ini; HSU diduga adalah Heru Sumarwanto selaku ketua panitia lelang; dan AMG diduga adalah Amir Gunawan, Direktur Utama PT Daya Radar Utama. Dalam lelang, Istadi diduga memutuskan menggunakan metode pelelangan terbatas untuk Kapal Patroli Cepat 28 meter dan 60 meter dan pelelangan umum untuk Kapal Patroli Cepat 38 meter.

Diduga, Istadi sudah menentukan perusahaan tertentu dalam pelelangan terbatas. Ia juga diduga mengarahkan panitia lelang untuk tak memilih perusahaan tertentu. Tak hanya dalam lelang, dugaan penyimpangan juga terjadi dalam proses pengadaan hingga pelaksanaan pengadaan. Karena setelah dilakukan uji coba kecepatan, 16 Kapal Patroli Cepat tersebut tidak dapat mencapai kecepatan sesuai ketentuan dan tidak memenuhi sertifikasi dual-class seperti yang dipersyaratkan di kontrak.

Anehnya, meskipun saat uji coba kecepatan 16 kapal tersebut tidak memenuhi syarat, namun pihak Ditjen Bea dan Cukai tetap menerima dan menindaklanjuti dengan pembayaran. Sebagaimana diinformasikan oleh KPK, dugaan kerugian negara dalam perkara ini adalah Rp 117.736.941.127 (atau lebih dari Rp117 miliar). Atas perbuatannya maka ketiga tersangka yaitu Amir, Istadi dan Heru di dakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Demikian juga, pada perkara korupsi kapal di KKP,  Amir dan Aris disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Apa substansi  pasal pasal pidana tersebut yang oleh KPK dijadikan dasar untuk menjerat terdakwa ? Bagaimana sesungguhnya pengaturan tentang kebijakan pengadaan barang dan jasa  (termasuk pengadaan kapal cepat) dilakukan ? Etika, norma dan prinsip yang bagaimana agar pengadaan barang dan jasa terhindar dari penyelewengan ?

Hakekat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 55 KUHP

Dari berbagai jenis tindak pidana korupsi yang disebut dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 2 dan Pasal 3 termasuk yang banyak memantik diskusi, bahkan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Ia juga menjadi pasal yang sering digunakan penuntut umum, seperti pasal ‘primadona’.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Lebih lanjut, Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan  diri sendiri atau  orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit  50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

Tetapi dalam praktik seringkali muncul kebingungan mana yang harus dipakai, pasal 2 atau pasal 3?  Sebenarnya  dua pasal dalam UU Tipikor tersebut sudah efektif untuk menjerat pelaku korupsi. Bunyi pasal sangat luas, dan perbuatan melawan hukum juga sangat luas. Perbuatan terdakwa yang melanggar aturan tertulis apapun sepanjang dia memperkaya dri sendiri atau orang lain atau korporasi dan menimbulkan kerugian keuangan negara, pelakunya  bisa dijerat dengan pasal itu.

Pada dasarnya dua pasal tersebut sama-sama menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Perbedaannya, dalam Pasal 3, pelaku bisa dijerat jika mempunyai kewenangan, sedangkan Pasal 2, setiap orang yang dimaksud dalam pasal lebih luas dan umum.

Unsur setiap orang adalah yang mempunyai kewenangan. Jadi perbuatan seseorang bisa saja bersifat melawan hukum, tapi belum tentu menyalahgunakan kewenangan. Jadi syarat untuk orang bisa dikenakan di dalam pasal 3 adalah dia harus punya kewenangan dulu, kedudukan, jabatan, jadi jabatan itu memberikan kewenangan kepadanya, nah kewenangan itu yang disalahgunakan.

Terkait dengan  masalah ancaman pidana dalam pasal 3. Pasal 3 merumuskan penyalahgunaan wewenang, tetapi ancaman minimum lebih rendah daripada perbuatan melawan hukum. Jika pasal 2 ayat (1) ancaman pidana penjara maksimumnya 20 tahun dan minimum empat tahun, maka pada  pasal 3 ancaman pidananya  maksimum 20 tahun, minimumnya hanya 1 tahun. Dalam hal ini seyogyanya , ancaman pidana yang dirumuskan untuk Pasal 3 lebih tinggi dari Pasal 2. Hal tersebut dikarenakan perbuatan korupsi yang dilakukan dalam Pasal 3 haruslah memiliki kewenangan terlebih dahulu, dan ada penyalahgunaan wewenang sehingga tindakan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau koorporasi tersebut merugikan negara.

Jika melihat putusan-putusan hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi, terutama pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Penjelasan Pasal 2, sejauh ini belum ada kesamaan persepsi di antara hakim tentang kapan suatu perbuatan melawan hukum tersebut akan dikenakan Pasal 2 ayat (1), dan kapan pula akan dikenakan Pasal 3.

Sebenarnya sudah ada pendirian Mahkamah Agung dalam beberapa putusan, dan disinggung antara lain dalam putusan No. 1038 K/Pid.Sus/2015. MA berpendirian kerugian negara di atas 100 juta akan dikenakan Pasal 2 UU Tipikor. Kalau penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif, Pasal 2 atau Pasal 2, maka yang lebih tepat menurut hakim perkara ini, adalah Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Putusan perkara ini tentang seorang pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan.

Yang juga sering menjadi isu terkait dengan pasal 2 dan 3 adalah soal bagaimana merumuskan ulang dan menunjukkan ada mens rea atau niat jahat dalam kedua pasal tersebut. Karena di Pasal 2 dan Pasal 3  tidak tergambarkan soal unsur mens rea, yaitu unsur melawan hukum, apakah unsur melawan hukum, apakah dia sengaja, apakah dia lalai, tidak tergambar dalam rumusan kedua pasal tersebut. Sehingga perlu dirumuskan ulang untuk mempertegas ada mensrea atau tidak. Oleh karena itu UU Tipikor penting untuk dilakukan revisi terutama Pasal 2 dan Pasal 3. Unsur niat jahat dan memperkaya diri sendiri harus dipertegas.

Banyak temuan didapat dimana  kasus yang ketika dikaji sebenarnya bukan korupsi karena tidak ada niat jahat untuk korupsi. Namun ada prosedur administratif yang diabaikan, atau ada unsur-unsur di luar niat jahat terdakwa itu dianggap sebagai unsur. Oleh karena itu  perlu direvisi pasal tersebut untuk mempertegas apa ada niat jahat korupsi. Yang kedua itu deliknya, delik pasal 2 dan 3 itu memperkaya diri sendiri dan orang lain secara melawan hukum. Sehubungan dengan perbedaan pandangan di kalangan aparat hukum, kabarnya saat ini sedang dilakukan kajian tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor ini.

Selanjutnya sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa selain dijerat dengan pasal 2 dan 3 UU Tipikor, kepada para pelaku korupsi pengadaan kapal patroli cepat juga dikenakan pasal 55 KUHP. Pasal 55 KUHP berisi tentang  penyertaan dan pembantuan dalam tindak pidana.

Pasal 55 KUHP:

(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:

1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;

2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

  1. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP

Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 123), mengutip pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda yang mengemukakan dua syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: Kesatu, kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka; Kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.

Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.(Ibid, hal. 126-127), menjelaskan mengenai perbedaan antara “turut melakukan” dan “membantu melakukan”. Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua) ukuran yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah mengenai kepentingan dan tujuan dari pelaku.

Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu apabila pelaku utama menghendakinya.

Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan atau tujuan yang sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan atau untuk mencapai tujuan dari pelaku utama.

Berdasarkan uraian di atas kiranya dapat kita simpulkan perbedaan mendasar dari “turut melakukan” tindak pidana dengan “membantu melakukan” tindak pidana. Dalam “turut melakukan” ada kerja sama yang disadari antara para pelaku dan mereka bersama-sama melaksanakan kehendak tersebut, para pelaku memiliki tujuan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Sedangkan dalam “membantu melakukan”, kehendak dari orang yang membantu melakukan hanyalah untuk membantu pelaku utama mencapai tujuannya, tanpa memiliki tujuan sendiri.

Peraturan Dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Berbicara tentang pengadaan kapal patroli cepat tentunya berkaitan erat dengan ketentuan yang berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa (PBJ). Karena pengadaan kapal patroli cepat termasuk dalam ruang lingkup pengadaan barang dalam bentuk  proyek pemerintah yang dananya berasal dari Pemerintah.

Proyek pengadaan barang/jasa pada instansi pemerintah secara kontraktual merupakan bagian dari hukum perjanjian, namun karena melibatkan negara sebagai pemilik pekerjaan (bouwheer) dan sumber keuangan yang berasal dari APBN/APBD, maka dalam prakteknya tidak bisa terlepas dari keterkaitan dengan aspek hukum administrasi sebagai acuan kerja bagi para aparatur yang terlibat dalam proses pengadaan tersebut.

Penggunaan dana yang besar sering menjadi lahan bagi praktik-praktik KKN diantara pelaku pengadaan, sehingga dalam beberapa hal tidak bisa dilepaskan dengan aspek hukum pidana, jika dalam prosesnya terjadi penyelewengan-penyelewengan pada pengelolaan keuangan yang menimbulkan kerugian bagi negara.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan bahwa:“Pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/ institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa”.

Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 2 disebutkan bahwa: Jika  dua  ketentuan  di  atas  ditelaah,  maka  proyek  pengadaanbarang/jasa pada instansi pemerintah dapat dibedakan dengan proyek pengadaan barang/jasa di lingkungan swasta, perbedaan itu terletak padasumber pembiayaan dan pihak pemilik pekerjaan (bouwheer) dimana pada proyek pengadaan barang/jasa instansi pemerintah sumber dananya berasal dari APBN atau APBD dan pihak yang menjadi bouwheer adalah adalah pemerintah (negara) baik yang berada di lingkungan kementerian, lembaga, satuan kerja perangkat daerah maupun institusi lainnya.

Oleh karena sumber dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan pengadaan barang/jasa tersebut berasal dari uang negara (APBN/APBD) dan kegiatan pengadaan tersebut dilaksanakan untuk kepentingan publik (masyarakat) dalam proses pembangunan, maka pelaksanaan pengadaan kegiatan pengadaan barang/jasa diatur secara lebih khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan disamping secara umum tetap tunduk pada hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III BW.

Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya merupakan upaya pihak pengguna untuk mendapatkan dan mewujudkan barang dan jasayang diinginkannya, dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. Pengadaan barang dan jasa melibatkan beberapa pihak, yaitu Pihak Pembeli atau Pengguna dan Pihak penjual atau Penyedia Barang dan Jasa. Dalam pelaksanaan pengadaan, pihak pengguna adalah pihak yang yang meminta atau memberi tugas kepada pihak penyedia untuk memasok atau membuat barang atau melaksanakan pekerjaan tertentu.

Pengguna barang dan jasa dapat berupa lembaga/organisasi dan dapat pula orang perseorangan. Pengguna barang dan jasa yang tergolong lembaga adalah: Instansi Pemerintah (Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kota), badan usaha (BUMN, BUMD, Swasta) dan organisasi masyarakat. Adapun yang tergolong orang perseorangan adalah individu atau orang yang membutuhkan barang dan jasa.

Adapun penyedia barang dan jasa adalah pihak yang melaksanakan atau yang mendapatkan kontrak pekerjaan dari pihak pengguna. Penyedia barang dan jasa dapat merupakan badan usaha atau orang perseorangan. Penyedia yang bergerak dalam bidang pemasokan barang disebut pemasok atau leveransir, penyedia dalam bidang jasa pemborongan  disebut pemborong atau kontraktor dan bidang jasa konsultasi disebut konsultan

Jadi, dapat disimpulkan bahwa proses pengadaan melibatkan tiga pihak yaitu pihak pengguna, panitia dan penyedia barang dan jasa.agar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil bagi semua pihak sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus 2010, ditetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa oleh pemerintah yang mencabut Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.

Dalam rangka mencapai tujuan tersedianya output barang atau jasa yang berkualitas, pengaturan PBJ terus menerus diperbaiki. Perbaikan menyeluruh dari aspek regulasi, pelaksanaan, dan kelembagaan. Satu, perbaikan dari sisi regulasi, sejak tahun 2000 pemerintah telah mengeluarkan aturan khusus mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Aturan khusus tersebut adalah Keppres 18 tahun 2000 yang bertujuan mengatur pengadaan barang dan jasa agar tercapai prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa yaitu persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat.

Peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah ini terus mengalami penyempurnaan seiring dengan kompleksnya pengadaan barang dan jasa. Hingga tahun 2012, aturan khusus mengenai pengadaan barang dan jasa ini telah mengalami 13 kali penyempurnaan. Aturan yang digunakan saat ini adalah Perpres 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Mencermati tahap pengadaan barang dan jasa, maka klasifikasikan aspek hukum pengadaan barang dan jasa dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

  1. Aspek Hukum Administrasi

Kegiatan pengadaan barang dan jasa yang terkait dengan bidang hukum administrasi yakni kegiatan pada tahap perencanaan pengadaan barang dan jasa, pembentukan panitia pengadaan  barang dan jasa, penetapan sistem pengadaan barang dan jasa, penyusunan jadwal pengadaan barang dan jasa, penyusunan HPS, penyusunan dokumen pengadaan, pemilihan penyedia barang dan jasa sampai pada penetapan penyedia barang dan jasa.

Masing- masing kegiatan tersebut harus bertumpu pada kewenangan yang sah (atribusi, delegasi,mandat) dari para pejabat yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Jika terdapat kesalahan atau pelanggaran dalam tahapan kegiatan tersebut pejabat yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berupa sanksi administrasi sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 122 Perpres Nomor 54 tahun  2010,kecuali maladministrasi, dan jika pelanggaran tersebut berat dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

  1. Aspek hukum pidana

Dari tahap persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa berpotensi terjadi tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setidak-tidaknya dapat diidentifikasi 7 (tujuh) bentuk tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa yaitu:

  1. Merugikan keuangan negara dengan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang
  2. Suap
  3. Penggelapan dalam jabatan
  4. Pemerasan
  5. Perbuatan curang
  6. Konflik kepentingan dalam pengadaan
  7. Gratifikasi
  1. Aspek Hukum Perdata

Salah satu tugas PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam Pasal 11 Perpres No 54 Tahun 2010 adalah membuat rancangan kontrak. Terkait dengan tugas ini, maka PPK dalam menyusun kontrak sekurang-kurangnya harus memuat ketentuan sebagai berikut:

  1. Para pihak yang menandatangani kontrak yang meliputi nama, jabatan dan alamat
  2. Pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis dan jumlah barang/jasa yang diperjanjikan
  3. Hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian
  4. Nilai atau harga kontrak pekerjaan, serta syarat pembayaran
  5. Persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terinci
  6. Tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan dengan disertai jadual waktu penyelesaian/ penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahannya
  7. Jaminan teknis/ hasil pekerjaan yang dilaksanakan dan/atau ketentuan mengenai kelalaian
  8. Ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya
  9. Ketentuan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak
  10. Ketentuan mengenai keadaan memaksa
  11. Ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan
  12. Ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja
  13. Ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan
  14. Ketentuan mengenai penyelesaian

Setelah isi kontrak disepakati para pihak (PPK dan penyedia barang/jasa) maka dilanjutkan dengan penandatanganan kontrak. Hubungan hukum antara PPK dengan penyedia barang/jasa yang terjadi pada proses penandatanganan kontrak sampai dengan berakhirnya kontrak merupakan hubungan hukum perdata khususnya hubungan kontraktual.

Terhadap penyedia barang dan jasa yang melanggar larangan untuk mengalihkan tanggung jawab seluruh pekerjaan utama kepada pihak lain dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak.

Dalam kasus pengadaan kapal patroli cepat yeng kemudian menjadikan 3 orang menjadi tersangka, nampaknya mereka tidak memperhatikan aspek hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Perpres No 54 Tahun 2010 yaitu membuat rancangan kontrak yang jelas, atau kontrak dibuat tetapi tidak dipatuhi atau diselewengkan. 

Terbukti adanya pelanggaran berupa penetapan lelang terbatas oleh PPK sehingga rentan terjadinya penyimpangan. Selain itu kualitas kapal yang dilelang tidak sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan, denda pada pemilik kapal yang tidak dijalankan dan garansi keselamatan penumpang yang tidak diperhatikan. Wajar kalau kemudian KPK menyeret pelaku pada aspek pidana yaitu penyalahgunaan wewenang yang berujung pada timbulnya kerugian Negara sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 atau 3 UU Tipikor.

Etika, Norma dan Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Pengadaan barang dan jasa pada dasarnya melibatkan dua pihak yaitu pihak pengguna barang/jasa dan pihak penyedia barang/jasa, tentunya dengan keinginan/kepentingan yang berbeda, bahkan dapat dikatakan bertentangan. Pihak pengguna barang/jasa menghendaki memperoleh barang/jasa dengan harga semurah-murahnya, sedang pihak penyedia barang/jasa ingin mendapatkan keuntungan yang setinggi- tingginya.

Dua keinginan/kepentingan ini akan sulit dipertemukan kalau tidak ada saling pengertian dan kemauan untuk mencapai kesepakatan. Untuk itu perlu adanya etika, norma dan prinsip yang harus disepakati dan dipatuhi bersama.

Etika  dalam  pengadaan  barang  dan  jasa  adalah  perilaku yang baik dari semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan. Yang  dimaksud  perilaku  yang  baik  adalah  perilaku  yang saling menghormati terhadap tugas dan fungsi masing-masing pihak, bertindak secara profesional dan tidak saling mempengaruhi untuk maksud tercela atau untuk kepentingan/keuntungan pribadi dan/atau kelompok dengan merugikan pihak lain. Etika pengadaan barang dan jasa adalah sebagai berikut :

  • Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketetapan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa
  • Bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa
  • Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat
  • Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak
  • Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa
  • Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa
  • Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara
  • Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.

Dari  uraian  tentang  etika  pengadaan  barang/jasa diatas maka perbuatan yang tidak patut dilakukan atau bertentangan dengan etika pengadaan adalah apabila salah satu pihak atau keduanya secara bersama-sama melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pengadaan barang dan jasa dapat menjadi titik rawan terjadinya praktik KKN, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan mutu pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Upaya tersebut diantaranya dapat dilakukan melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengadaan, meningkatkan profesionalisme para pelaku pengadaan, meningkatkan pengawasan serta penegakan hukum. Agar tujuan pengadaan barang dan jasa dapat tercapai dengan  baik,  maka  semua  pihak  dalam  pengadaan  barang/jasa harus mengikuti norma yang berlaku. Suatu norma baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena orang lain atau terhadap lingkungannya.

Sebagaimana norma lain yang berlaku, norma pengadaan barang/ jasa terdiri dari norma tidak tertulis dan norma tertulis. Norma tidak tertulis pada umumnya adalah norma yang bersifat ideal, sedangkan norma tertulis pada umumnya adalah norma yang bersifat operasional. Norma ideal pengadaan barang/jasa antara lain tersirat dalam pengertian tentang hakikat, filosofi, etika, profesionalisme dalam bidang pengadaan barang/jasa.

Adapun norma pengadaan barang/jasa bersifat operasional pada umumnya telah dirumuskan dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan, yaitu berupa undang-undang, peraturan, pedoman, petunjuk dan bentuk produk hukum lainnya.

Selain etika dan norma, ada prinsip yang harus diperhatikan dalam pengadaan barang dan jasa. Adapun prinsip dalam pengadaan barang dan jasa yaitu : Efisien, Efektif, Transparan, Terbuka, Bersaing, Adil/ Tidak Diskriminatif dan Prinsip Akuntabel.

Prinsip efisien pada akhirnya akan dapat menghindarkan dari tindakan yang boros dan tanpa perhitungan, sehingga setiap penggunaan dan pengeluaran uang negara bisa dilakukan dengan sehemat mungkin, namun tidak mengurangi kualitas dan manfaat dari barang/jasa yang didapatkan.Prinsip efisien tercermin dalam salah satu model penawaran yang digunakan, yaitu nilai penawaran yang terendah akan menjadi prioritas dalam menentukan pemenang lelang dengan catatan bahwa penawarannya masih dalam batas kewajaran sesuai nilai HPS yang ditentukan oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen).

Prinsip Efektif berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Prinsip efektif menunjuk pada segi kemanfaatan, artinya proyek pengadaan yang telah dibiayai oleh uang negara tidak boleh menjadi sesuatu yang mubazir atau sia-sia.

Prinsip Transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. Proses yang transparan pada setiap tahapan pengadaan barang/jasa akan menciptakan sistem pengawasan publik  yang efektif terhadap proses dan kinerja para pelaksana sehingga dapat meminimalisir timbulnya kecurigaan masyarakat.

PrinsipTerbuka berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. Prinsip keterbukaan dalam proses pengadaan barang/jasa dilakukan pada semua tahapan pemilihan penyedia barang/jasa khususnya pada metode pelelangan umum.

Prinsip Bersaing artinya pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi persyaratan sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa.

Prinsip Adil/ Tidak Diskriminatif adalah memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Prinsip Akuntabel berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Lagi lagi jika dikaitkan dengan kasus korupsi pengadaan kapal patroli cepat yang melibatkan pejabat dari bea cukai, hal ini terjadi karena tidak dipatuhinya, etika, norma dan prinsip dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Terbukti hal ini dengan adanya pelanggaran berupa penetapan lelang terbatas oleh PPK sehingga rentan terjadinya penyimpangan.

Selain itu kualitas kapal yang dilelang tidak sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan, denda pada pemilik kapal yang tidak dijalankan dan garansi keselamatan penumpang yang tidak diperhatikan.

Saat ini kabarnya KPK tengah melakukan penyelidikan mendalam mengenai kasus korupsi pengadaan kapal patroli cepat ini. Kiranya penyelidikan lebih komprehensif yang mengaitkan pula aspek hukum perdata dan administrasi, penting dilakukan agar mendapatkan gambaran lengkap mengenai kasus ini. Sehingga tidak semata mata aspek hukum pidana saja yang dijadikan rujukan pertimbangannya.

Masuk Daftar Hitam 

Ketika sebuah perusahaan atau individu penanggungjawab perusahaan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang bermasalah, apalagi sudah mendapat vonis hukum maka perusahaan tersebut dan penanggungjawabnya masuk dalam Daftar Hitam Aktif yang diterbitkan oleh Portal Pengadaan Nasional, sebagai pintu gerbang sistem informasi elektronik yang terkait dengan informasi Pengadaan Barang/Jasa secara nasional yang dibangun dan dikelola oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia (LKPP-RI).

Portal ini menjadi tempat penayangan rencana pengadaan dan pengumuman pengadaan oleh Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, dan Instansi. Disamping itu, portal ini memuat atau memberi akses dan tautan kepada seluruh Layanan Pengadaan Secara Elektronik, Katalog Barang untuk e-Purchasing, dan Daftar Hitam Penyedia Barang/Jasa. Portal ini juga dilengkapi dengan mesin pencari (search engine) pengumuman tender yang sedang aktif/berjalan dan produk barang/jasa dari eCatalogue.

Dari kajian dan analisa diatas jelaslah dalam kasus pengadaan barang dan jasa milik pemerintah cakupannya bisa sangat luas, tidak hanya digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan ada dan tidaknya indikasi pelanggaran administratif, hukum keperdataan yang berkaitan dengan kontrak kerja, dan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemerintahan.

Karena itu ketentuan hukum yang berlaku sekarang harus dapat diterapkan apabila terjadi tindak pidana terkait persekongkolan tender, tindak pidana korupsi dengan modus pengelembunggan harga (mark up), perbuatan curang, penyuapan, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, pemalsuaan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain akibat pengadaan barang/jasa berupa pembangunan gedung untuk prasarana dan fasilitas publik, yang mengalami kegagalan konstruksi.

 

 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar