Iuran BPJS Naik, Nikmatnya Saat Negara Berbisnis dengan Rakyatnya

Selasa, 12/11/2019 00:01 WIB
Ironis BPJS Kesehatan Defisit, Solusinya Rakyat Dibisnisin (Ist)

Ironis BPJS Kesehatan Defisit, Solusinya Rakyat Dibisnisin (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen pada Kamis (24/10/2019). Kenaikan ini disinyalir sebagai akibat kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi/defisit sejak lembaga ini berdiri pada 2014. Oleh karena itu, diperlukan stimulus agar lembaga tersebut dapat tetap berjalan melayani masyarakat yang membutuhkan fasilitas kesehatan

Kenaikan iuran itu berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja. Adapun aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. "Untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan," ujar Jokowi dalam Perpres No.75 Tahun 2019.

Pasca keluarnya Perpres tersebut  Jokowi meminta para menteri menjelaskan kepada masyarakat agar mengerti alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Ia mewanti-wanti jangan sampai Indonesia seperti Republik Chile yang dilanda unjuk rasa besar karena masyarakat protes kenaikan tarif transportasi."Ini harus kita baca dan jadikan pengalaman, kita harus waspada sejak awal," katanya dalam pengantar rapat terbatas Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis, 31 Oktober 2019.

Apapun dalih kenaikan tariff tersebut, yang jelas bagi sebagian besar masyarakat, kenaikan tersebut tentu saja sangat memberatkan.Pasalnya, besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan mencapai dua kali lipat dari tarif sebelumnya. Pada hal kondisi kehidupan  ekonomi masyarakat masih terpuruk hingga saat ini . Oleh karenanya wajar kalau kemudian kenaikan itu menuai gugatan masyarakat.

Hak Dasar Rakyat dan Bancakan Pejabat

Jaminan kesehatan yang diberlakukan oleh BPJS adalah hak dasar rakyat dan menjadi kewajiban dari Negara untuk memenuhinya, oleh karenanya jaminan kesehatan itu harus tetap ada selama Negara Indonesia masih ada. Lantaran, pengadaan jaminan sosial dan kesehatan ini termasuk amanah dalam UUD 1945 yang diamandemen, khususnya Pasal 28H.

Adapun Pasal 28H berbunyi: 1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 2. Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.

Implementasi Pasal 28H (juga Pasal 34 ayat 2) tersebut jauh lebih penting dari program lain seperti dana desa, yang tidak khusus disebut sebagai amanah UUD 1945. Tapi, jaminan sosial dan kesehatan adalah amanah UUD 1945 langsung. Itulah sebabnya jika program BPJS ini berhenti atau dihentikan, maka presiden boleh dianggap  telah melanggar UUD 1945. Sebab, program jaminan sosial dan kesehatan ini mau tidak mau harus tetap berjalan dan tidak ada alasan apapun untuk berhenti.

Persoalan yang kemudian terjadi dimana BPJS kesehatan mengalami defisit atau kerugian akibat manajemen yang amburadul, jangan kemudian dibebankan kepada rakyat untuk menanggungnya lewat kenaikan tarif yang mencekik leher. Hal ini seakan akan Negara sedang berbisnis dengan rakyatnya dimana maunya untung terus. Ketika mengalami kerugian maka rakyat yang diwajibkan untuk menanggungnya lewat kenaikan tarif.

Padahal kesalahan manajemen yang menyebabkan terjadinya kerugian itu bukan rakyat yang menjadi penyebabnya.Pada hal besaran iuran bukanlah faktor satu-satunya penyumbang defisit. Masih banyakinefisiensi pelayanan kesehatan, potensi kecurangan (fraud) di rumah sakit hingga piutang yang belum bisa tertagih. Semua itu berkaitan dengan performa manajemen BPJS.

Anehnya ditengah kondisi keuangan BPJS yang defisit, Menkeu justru menambah bonus untuk direksi BPJS. Mengutip Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2019, BPJS Kesehatan menganggarkan beban insentif kepada direksi sebesar Rp 32,88 miliar. Jika dibagi ke delapan anggota direksi, maka setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp 4,11 miliar per orang.

Dengan kata lain, seluruh direksi menikmati insentif Rp 342,56 juta per bulan. Sementara itu, beban insentif dewan pengawas BPJS Kesehatan dianggarkan Rp 17,73 miliar per tahun. Jika dibagi kepada tujuh dewan pengawas, maka tiap kepala mendapat insentif Rp 2,55 miliar. Jika dirata-rata ke dalam 12 bulan, maka insentif yang diterima dewan pengawas adalah Rp 211,14 juta per bulan.

Dengan nilai insentif yang jumbo, perlu dipertanyakan urgensi penambahan tunjangan. Apalagi, bonus yang ditambah adalah tunjangan cuti yang memang tidak ada sangkut pautnya dengan peningkatan kinerja BPJS Kesehatan. Seharusnya pemerintah melakukan penilaian menyeluruh terhadap kinerja dewan direksi dan pengawas BPJS. Evaluasi seharusnya ditekankan pada realisasi atas target-target yang ingin dicapai  BPJS.

Sementara itu di BPJS Ketenagakerjaan, misalnya, pemerintah harus melakukan pengawasan mumpuni untuk target investasi, dana kelolaan, hingga target pelayanan. Adapun untuk BPJS Kesehatan, pemerintah bisa mengukur kemampuan mengumpulkan piutang iuran hingga realisasi pelayanan di masyarakat. Seluruh indikator itu, seharusnya bisa dilihat secara kasat mata.

Presiden harus langsung melakukan evaluasi kinerja direksi dan dewan pengawas BPJS. Kemudian Menteri Keuangan mencabut PMK tersebut. Jika tidak mau, presiden harus menegur Menkeu. Sebab, ini telah membuat masyarakat bertanya-tanya, mengapa ada proses yang kontraproduktif di pengelolaan BPJS.

Sebenarnya kenaikan iuran BPJS itu sudah berkali kali terjadi. Pada setiap kenaikan itu, Pemerintah selalu memberikan alasan defisit dan alasan untuk meningkatkan upaya pelayanan. Seyogyanya hal ini harus konsisten dilaksanakan dimana kenaikan itu dapat menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan yang selama ini terjadi setiap tahunnya. Kemudian, kenaikan iuran ini juga seharusnya meningkatkan pelayanan tersebut sehingga masyarakat tidak semakin kecewa dengan kenaikan ini.

Namun yang terjadi pasca kenaikan iuran BPJS, sepertinya tidak ada perubahan berarti di bidang pelayanan.Persoalan birokrasi atau pola pelayanan BPJS Kesehatan dinilai cenderung menyulitkan masyarakat. Sehingga, masyarakat harus berkali-kali mendatangi layanan kesehatan seperti klinik atau rumah sakit untuk mendapatkan tindakan medis serupa.

Hal ini dianggap  merupakan salah satu penyebab membengkaknya tagihan BPJS Kesehatan. Selain itu meskipun iuran telah naik namun nyatanya perilaku fraud atau kecurangan pada BPJS Kesehatan tetap saja terjadi sehingga semakin memperparah defisit BPJS Kesehatan. Kemudian, penagihan yang dinilai tidak beretika juga dilakukan oknum BPJS Kesehatan kepada masyarakat.

Pada hal ada perbedaan kemampuan warga negara terkait dengan kemampuan membayar. Ada temuan di Depok, mereka (BPJS Kesehatan) door to door memanfaatkan Ketua RT RW menagih iuran BPJS Kesehatan. Lalu, di Tasikmalaya, ada janda beranak satu dipaksa pinjam ke Koperasi untuk bayar BPJS Kesehatan. Akhirnya, ibu itu harus bayar BPJS juga bayar ke koperasi.

Serangkaian permasalahan di ranah manajemen BPJS ini seyogynya di selesaikan dahulu sebelum akhirnya mencanangkan kebijakan untuk menaikkan iuran BPJS. Karena terkesan ketidakberesan urusan manajemen itu harus rakyat yang menanggungngnya. Lagi pula kalau kesehatan itu merupakan hak dasar rakyat mengapa rakyat dibebani kewajiban untuk upaya mewujudkan hak tersebut ?

DPR Dilecehkan ?

Ketika ada kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM biasanya akan ramai orang pada turun kejalan untuk memprotes kebijakan tersebut karena dianggap memberatkan. Aksi turun kejalan biasanya terjadi karena mampetnya saluran komunikasi dengan kelembagaan rakyat yang mewakili dalam hal ini adalah DPR sebagai wakil rakyat.

Jika kita mengikuti perkembangan merespons kebijakan Pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS sebenarnya DPR cukup sigap menanggapinya sehingga mengurangi potensi masyarakat untuk turun kejalan. Diantaranya telah adanya kesepakatan antara DPR dan Pemerintah untuk tidak menaikkan iuran BPJS. Sebagaimana diketahui, Komisi IX DPR pada rapat tanggal 2 September 2019 telah mengadakan rapat yang meminta agar pemerintah tidak menaikkan iuran untuk kelas III.

Namun hasil rapat bersama antara Pemerintah dan DPR tersebut ternyata di anggap angina lalu karena terbukti Presiden tetap mengeluarkan Peraturan Presiden untuk menaikkan iuran BPJS.Seperti yang disampaikan oleh Nihayatul Wafiroh, Anggota DPR Komisi IX Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), keputusan pemerintah menerbitkan Perpres berarti Pemerintah tidak menghargai DPR.

Kebijakan Pemerintah yang telah  mengabaikan permintaan dari Komisi IX DPR adalah bentuk "egoisme" pemerintah. Dampaknya, Komisi IX DPR mengancam tidak akan bersedia menggelar rapat lagi dengan BPJS Kesehatan dan juga Kementeria Kesehatan (Kemenkes). 

Dalam sistem demokrasi Indonesia yang menganut trias politika, di mana pemerintahan diatur sedemikian rupa dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Sistem ini membuat kekuasaan "dipecah" dalam tiga kategori, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif adalah pelaksana "harian" dari "operasional" sebuah negara.Sedangkan legislatif merupakan representatif dari suara masyarakat. Yudikatif sendiri memegang kewenangan di bidang hukum

Apabila legislatif digambarkan sebagai representasi suara rakyat, maka sayogyanya suara legislatif memiliki kekuatan yang cukup untuk "mencegat" kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat.Apabila mayoritas suara di legislatif tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah, maka seharusnya kebijakan tersebut tidak dipaksakan ada.

Seperti halnya ketika masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), kala itu sebagian besar anggota legislatif bersepakat "menentang" kebijakan itu. Sehingga pada akhirnya pemerintah kala itu pun tidak jadi menunaikan kebijakannya menaikkan harga BBM.

Mengapa situasi serupa tidak terjadi terhadap kebijakan pemerintah yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas? Permintaan DPR agar pemerintah tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan kelas III ternyata tidak membuat presiden merevisi Perpres yang diterbitkannya. Minimal untuk saat ini.Apakah memang pemerintah diperbolehkan "membantah" permintaan dari DPR? Apakah terkait kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini tidak memerlukan "restu" dari badan legislatif? Apabila memang demikian realitasnya, lalu untuk apa legislatif ada?

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah diputuskan secara resmi. Bahkan DPR pun sepertinya tidak mampu membuat pemerintah bergeming dengan keputusannya. Walaupun hal itu hanya terkait kemungkinan diturunkannya tarif untuk kelas III saja.Pemerintah berdalih bahwa mereka sedang menyiapkan rencana untuk memberikan subsidi bagi peserta BPJS Kesehatan kelas III   sehingga seolah-olah tidak terjadi kenaikan iuran untuk kelas tersebut.

Lalu apa bedanya merevisi Perpres di mana untuk kelas III tidak perlu mengalami kenaikan tarif dibandingkan tidak merevisi Perpres namun dibarengi dengan pemberian subsidi? Apakah rencana pemberian subsidi ini bukan membuat birokrasi bertambah dan makin rumit? Belum lagi potensi gelontoran dana subsidi yang rawan diselewengkan ?.

Ataukah mungkin ini hanya upaya mengulur waktu hingga publik jengah dan melupakan fakta bahwa iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas dinaikkan 100%?. Sejauh ini rakyat hanya bisa bertanya-tanya dan pada akhirnya akan pasrah menerima kebijakan yang telah menyengsarakannya. Entah sampai kapan pemerintah ini terus dengan sadar membebani rakyatnya di tengah kondisi hidup yang semakin sulit. 

 

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar