Proyek Revisi UU KPK, Mengawal Putusan MK Agar KPK Tak Mati Suri

Senin, 11/11/2019 08:50 WIB
Tolak RUU KUHP-Revisi UU KPK, Mahasiswa Demo DPR (Robinsar)

Tolak RUU KUHP-Revisi UU KPK, Mahasiswa Demo DPR (Robinsar)

Jakarta, law-justice.co - Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah disahkan. Proyek besar ini telah disetujui tujuh fraksi di DPR RI menerima tanpa catatan, dua fraksi tidak setuju, dan satu fraksi belum memberikan pendapat. Dengan komposisi seperti itu, rapat paripurna sudah ketok palu. Maka berubahlah RUU itu menjadi UU.

Kini, setelah RUU itu resmi menjadi UU, agenda pemberantasan korupsi memasuki babak baru. UU tersebut tidak hanya mengubah postur kelembagaan KPK, tapi juga mengubah cara kerja KPK. Dengan UU baru itu, KPK sepenuhnya berbeda dengan KPK lama.

Yang menarik dengan adanya pengesahan revisi UU KPK tersebut adalah munculnya dua pandangan yang berbeda dalam menyikapi adanya revisi UU KPK tersebut. Ada yang berpendapat bahwa revisi itu dilakukan untuk menguatkan KPK tapi ada yang berpendapat bahwa revisi itu justru melemahkan KPK itu sendiri. Sejauh apakah perbedaan pandangan antara kedua kubu tersebut ?, Bagaimana kira-kira gambaran kedepan wajah penegakan hukum tindak pidana korupsi di tangan KPK yang baru itu ?

Pro dan Kontra

Setiap kali kebijakan dikeluarkan, biasanya akan selalu memunculkan pro dan kontra seperti halnya revisi UU KPK. Revisi UU KPK ini adalah proyek besar pemerintah dan DPR. Semua pihak berkepentingan untuk bermain dalam revisi ini. Mereka yang setuju UU KPK direvisi seperti disampaikan  oleh Pemerintah melalui Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko yang  menilai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menghambat investasi. Moeldoko lantas mengkalim banyak pihak yang setuju atas revisi Undang-Undang KPK, khususnya Pemerintah dan DPR RI.

Selain Pemerintah dan DPR, para pengamat juga setuju revisi UU KPK antara lain disampaikan oleh Pengamat politik, Wempy Hadir. Ia menilai Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) bukan untuk melemahkan KPK. Revisi UU tersebut justru dapat menguatkan KPK sebagai lembaga yang selama ini peduli dalam pemberantasan korupsi.

Oleh karena itu, dia mendukung Revisi UU KPK, menurutnya, KPK perlu diawasi agar kinerjanya on the track (sesuai aturan hukum). Jangan karena superbody maka KPK tidak bisa diawasi. Perlu ada lembaga pengawas atau badan pengawas untuk mengawasi KPK.

Pentingnya revisi UU KPK juga disampaikan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Beliau membeberkan alasan mengapa pemerintah mendorong revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satunya adalah usia UU yang sudah berusia 17 tahun."Dalam jangka waktu itu perlu kita evaluasi apa yang sebaiknya. Juga sebenarnya dalam kerangka memperkuat KPK itu," ujar JK, sapaan akrab Jusuf Kalla, saat ditemui ketika masih berkantor di kantor Wapres, Jakarta, Selasa (10/9/2019).

Sementara itu urgensi pentingnya revisi UU KPK juga disampaikan oleh Pakar hukum Universitas Padjadjaran Prof Romli Atmasasmita yang  menilai usulan revisi UU KPK telah memenuhi unsur filosofis, yuridis, sosiologis, dan komparatif dalam pembahasan sebuah UU. Secara  filosofis, perjalanan KPK selama 17 tahun, sejak KPK jilid III telah menyimpang dari tujuan awal.

Tujuan awal dibentuknya KPK adalah mengembalikan kerugian negara secara maksimal, melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan. Jika merujuk pertimbangan sosiologis, Romli menilai, dukungan masyarakat terhadap KPK tetap stabil walaupun tidak pada semua level birokrasi dan lapisan masyarakat. Dari pertimbangan yuridis, Romli memaparkan, revisi UU KPK telah memenuhi persyaratan, yakni UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adanya pelanggaran prosedur hukum acara (KUHAP) dan UU KPK.

Banyak yang mendukung tapi banyak juga yang menolaknya. Penolakan revisi UU KPK dimotori oleh mahasiswa yang menggelar demo hampir merata diseluruh kampus di Indonesia. Bahkan akibat demo demo massif itu telah jatuh korban 3 mahasiswa meninggal dunia dan puluhan lain yang terluka. Demo-demo ini ternyata juga mendapat dukungan luas dari masyarakat. Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei yang menyebut bahwa masyarakat mendukung demonstrasi menentang revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan para mahasiswa.

Dalam survei tersebut, 60,7 persen masyarakat mendukung gerakan mahasiswa tersebut. Angka tersebut diambil dari 59,7 persen responden yang mengetahui demonstrasi mahasiswa.Direktur Eksekutif (LSI) Djayadi Hanan mengungkap, survei menunjukkan bahwa mayoritas publik mendukung aksi mahasiswa."Hanya 5,9 persen yang menetang demo memprotes UU KPK," ujar Djayadi dalam rilis survei di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).

Mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya menilai bahwa revisi UU KPK jelas jelas berupaya untuk melemahkan KPK. Terdapat beberapa poin yang menjadi pertanyaan publik, yang mengindikasikan bahwa KPK sedang diperlemah melalui revisi UU KPK. Hal yang paling banyak disorot oleh publik adalah pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.

Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 37 A UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas a) Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang; Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a;

Penjelasan: Konsep lembaga negara independen pada dasarnya tidak mengenal kelembagaan pengawas, namun yang dijadikan fokus adalah membangun sistem pengawasan. Jadi, secara konsep teori logika DPR dan pemerintah keliru. KPK sendiri selama ini telah diawasi oleh publik, dalam hal keuangan mekanisme audit dari Badan Pemeriksa Keuangan, kinerja melalui DPR dengan forum Rapat Dengar Pendapat, dan lembaga anti rasuah itu secara berkala melaporkan kinerja kepada Presiden. Khusus langkah penindakan, KPK bertanggung jawab pada institusi kekuasaan kehakiman

Kewenangan Dewan Pengawas sendiri dinilai sangat berlebihan. Pasal 37 B ayat (1) huruf b: Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan. Kewenangan pro justicia seperti itu semestinya tidak diberikan pada organ khusus yang semestinya bekerja pada tataran pengawasan administratif. Sekalipun Dewan Pengawas tidak dibutuhkan KPK saat ini, namun dengan kewenangan besar seperti itu terlihat pembentuk UU tidak memahami bahwa dalam regulasi KUHAP hanya institusi Pengadilan yang berwenang mengeluarkan izin. Sedangkan Dewan Pengawas sendiri bukan bagian dari penegak hukum

Selain itu Dewan Pengawas dinilai merupakan  Campur Tangan Eksekutif. Pasal 37 E ayat (1): Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia;Penjelasan: Pengangkatan Dewan Pengawas yang dilakukan oleh Presiden dikhawatirkan melunturkan sikap independensi penegakan hukum di KPK. Sebab, kewenangan yang diperoleh oleh Dewan Pengawas amat besar, hingga pada izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

KPK sendiri menemukan  ada 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, 26 poin tersebut dianggap berpotensi melemahkan KPk lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. "Dua puluh enam poin ini kami pandang sangat beresiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini," kata Febri dalam keterangan tertulis, Rabu (25/9/2019).

Selain soal adanya dewan pengawas, point point revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK adalah berkaian dengan : Independensi KPK. Dimana melalui revisi UU KPK yang baru, KPK  diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif. Pasal 1 ayat (3), Pasal 3 UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.

Penjelasannnya, aturan ini bertabrakan dengan empat putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus, yakni tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011. Pada putusan tersebut menegaskan bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif, melainkan lembaga negara independen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU KPK sebelumnya.

Selain hal-hal yang dikemukakan diatas, point-point yang berpotensi melemahkan KPK adalah berkaitan dengan : kedudukan KPK yang Tidak Bisa Membuka Kantor Perwakilan di Daerah, Kaum Muda Tidak Bisa Menjadi Pimpinan KPK, KPK Dapat Menghentikan Penanganan Perkara, Perkara Besar Dengan Tingkat Kerumitan Tertentu Berpotensi Dihentikan, Menggerus Kewenangan Pimpinan KPK, Pegawai KPK Akan Berstatus Sebagai Aparatur Sipil Negara, Hilangnya Kewenangan KPK Pada Tingkat Penyelidikan dan Penuntutan dan sebagainya.

Banyak argumentasi yang menyatakan bahwa revisi UU KPK sebenarnya ingin melemahkan KPK diamini pula oleh para pakar hukum antara lain Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti. Ia menyebutkan jika ada argumen yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun pendukungnya bahwa revisi Undang-Undang (UU) KPK tidak melemahkan, maka hal itu menyesatkan masyarakat.

Menurut dia, argumen bahwa revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi justru menguatkan KPK adalah salah total. "Semua yang mau dibahas akan melemahkan KPK. Kajiannya sudah banyak, bahwa KPK ditempatkan di bawah Presiden saja, ada dewan pengawas, itu melemahkan. Intinya semua pasal melemahkan, jadi kalau ada argumen mau menguatkan itu menyesatkan masyarakat," tegas Bivitri kepada pers, Jumat (13/9/2019).

Tidak Terbitnya Perpu KPK dan Mahfud MD Pun Balik Badan

Semua pihak selalu menyatakan keinginan untuk memperkuat KPK, namun langkah langkah kebijakan yang diambil ternyata tidak selalu mengarah kesana. Nampaknya dari pihak yang pro dan kontra revisi UU KPK, kelompok yang disebut kedua ini lebih dominan. Mereka lalu menyuarakan aspirasi agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu sebagai wujud komitmennya untuk memerangi korupsi dan menguatkan KPK.

Dikeluarkannya Perpu KPK oleh Presiden dipandang penting setelah revisi UU KPK disahkan. Hal ini juga yang banyak disuarakan oleh para pakar dan tokoh masyarakat. Sebagai contoh Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan para cendekiawan menyampaikan tiga alasan untuk meyakinkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) untuk menganulir revisi UU KPK. Feri termasuk tokoh yang bertemu dengan Jokowi di Istana Negara, Kamis, 26 September 2019.

Pertama, keadaan masyarakat yang memaksa untuk segera dikeluarkan aturan. Kedua, kekosongan hukum atau ada hukum tapi tidak menyelesaikan masalah. Ketiga, proses legislasi yang bisa menyita waktu yang panjang sehingga masalah harus diselesaikan segera."Tiga alasan itu kami sampaikan bahwa ini memang waktunya Perppu. Ini juga sesuai Putusan MK Nomor 003/PUU-III/2005 terkait syarat menerbitkan Perppu," ujar Feri saat dihubungi pers pada Jumat, 27 September 2019.

Sebagaimana diketahui Jokowi telah mengundang 42 tokoh nasional ke Istana Negara. Dalam pertemuan itu, peserta yang hadir meyakinkan presiden bahwa Perppu sebagai tindakan yang dapat menyelesaikan keributan dan tekanan publik belakangan akibat revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah itu.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md, yang juga mengikuti perjamuan, menuturkan ada beberapa usul yang dibahas dalam pertemuan dengan Jokowi. Selain menyarankan penerbitan Perppu KPK, para tokoh mengemukakan dua alternatif lain untuk membatalkan UU KPK hasil revisi, yakni melalui legislative review oleh DPR atau judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. "Tapi opsi yang disuarakan cukup kuat, yaitu lebih bagus mengeluarkan perpu, agar ditunda dulu sampai ada suasana yang baik untuk membicarakan substansinya. Karena ini kewenangan Presiden, kami hampir menyampaikan usul itu," ujar Mahfud. 

Namun apa yang terjadi selanjutnya sangat ironis. Begitu dilantik menjadi Menko Polhukam, Mahfud langsung balik badan dan menyatakan pemerintah tidak akan menerbitkan Perppu. Kalau masih ada pihak yang mempersoalkan revisi UU KPK, silakan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, ujar Mahfud.

Meskipun terus terjadi desakan kuat agar Presiden mengeluarkan Perpu namun  sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda Presiden Joko Widodo akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perpu KPK). Walaupun desakan penyelamatan lembaga antirasuah itu terus disuarakan banyak pihak, termasuk dari tokoh-tokoh nasional, Presiden baru sebatas menyatakan mempertimbangkan. Itu pun tidak terlihat cukup meyakinkan. Setelah diultimatum mahasiswa, seberkas tanda kemunculan Perpu pun belum terlihat.

Sebagian besar kalangan agaknya masih optimistis dan berharap Presiden akan mengeluarkan Perpu. Hal itu terkonfirmasi dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di mana 76,3% publik menginginkan Presiden menerbitkan Perpu untuk membatalkan UU KPK yang baru disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Data tersebut sekaligus menunjukkan betapa tinggi harapan diterbitkannya Perpu dalam rangka mengembalikan roh KPK yang sudah dicabut. Hal itu sangat beralasan di tengah begitu besar harapan publik akan KPK sebagai lembaga penjaga asa Indonesia minim korupsi.

Walau demikian, harapan publik ternyata tidak berbanding lurus dengan kehendak kekuatan elite politik, bahkan Presiden sendiri. Presiden Jokowi tidak terlihat memiliki agenda pembangunan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi yang jelas. Dari dan hendak ke mana negara hukum Indonesia ingin dibangun, pimpinan politik tertinggi tersebut bahkan terlihat belum punya mimpi. Mengapa dikatakan demikian?

Kritik atas sikap Presiden tersebut bukan tanpa alasan. Setidaknya beberapa kondisi berikut menjadi basis argumentasi mengapa Presiden diindikasikan tidak memiliki agenda hukum yang jelas.

Pertama, dalam pidato kemenangan setelah pengumuman resmi hasil Pemilu 2019, tidak satu pun visi hukum disampaikan. Hanya ada satu kata hukum digunakan dan sama sekali tidak menggambarkan ihwal ide apa yang dipikirkan Presiden terpilih untuk membangun negara hukum Indonesia.Dalam konteks ini, tidak salah jika banyak kalangan pesimistis akan kemajuan negara hukum pada periode kedua Presiden Jokowi. Jika pun sempat memikirkan hukum, yang sering muncul justru kecurigaan bahwa keberadaan sejumlah hukum dan undang-undang menghalangi masuknya investasi.

Kedua, terhadap berbagai tragedi kekerasan dan penembakan yang melibatkan aparat keamanan, Presiden tidak terlihat punya sikap. Kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi aparat terhadap sejumlah demonstran seakan dibiarkan. Hal itu terkonfimasi dari terus berulangnya kekerasan demi kekerasan.Kekerasan aparat seakan ditoleransi demi memadamkan aksi demonstrasi mahasiswa yang dinilai membahayakan kekuasaan. Padahal tuntutan aksi yang disampaikan sangat jelas, namun tetap saja dicurigai hendak mengganggu rezim pemerintahan Jokowi.

Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Berbagai kasus hukum terbengkalai, bahkan seakan dibiarkan begitu saja, seperti kasus penganiayaan berat terhadap penyidik senior KPK, dugaan penganiayaan aktivis, dan kasus-kasus korban konflik agraria. Sebagai pimpinan eksekutif tertinggi, kasus-kasus yang mendapatkan perhatian publik, seharusnya juga mendapat atensi Presiden. Presiden mesti bahkan wajib memberi arahan kepada aparat penegak hukum agar menuntaskan kasus-kasus yang ada dalam rangka memberikan kepastian dan keadilan bagi korban. Nyatanya, tidak terlihat ada arahan khusus dari sang Presiden.

Keempat, Presiden juga seperti membiarkan lembaga penegak hukum digunakan untuk kepentingan politik kelompok tertentu di sekelilingnya. Lembaga penegak hukum yang seharusnya independen secara fungsional dibiarkan tergadai di bawah pengaruh dan kendali kekuatan kelompok politik. Akibatnya, kewenangan mulia institusi penegak hukum untuk menegakkan keadilan pun disalahgunakan demi meraup seonggok keuntungan politik.

Kelima, sikap Presiden soal sejumlah RUU bermasalah yang hendak dan telah disahkan secara terburu-buru diujung periode jabatan DPR 2014-2019. Di antaranya RUU perubahan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika dibaca secara seksama, RUU ini sangat dipaksakan, karena sejumlah substansinya mengandung keraguan dan sangat potensial bertentangan dengan UUD 1945.Contohnya pengaturan kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perundang-undangan dan harmonisasi pembentukan peraturan daerah. Presiden sebagai pemegang separoh kekuasaan legislasi tentu ikut bertanggung jawab atas pembentukan UU dengan cacat bawaan itu.

Dari berbagai indikasi di atas terlihat jelas betapa Presiden Jokowi begitu miskin agenda pembangunan hukum sesuai cita negara hukum Indonesia. Boleh jadi kinerja Presiden di bidang lainnya dapat diapresiasi, namun untuk soal hukum tidak demikian. Hukum terabaikan, baik dalam hal substansi maupun penegakannya.

Parahnya lagi, hukum dipandang sebagai sesuatu yang amat sederhana. Dalam hubungannya dengan investasi, hukum bahkan dianggap tidak lebih dari sekedar alat melancarkan dan mengamankan investasi. Katanya investasi diperlukan untuk membuka lebih banyak lapangan kerja. Atas alasan itu, hukum tidak boleh menghambat investasi. Jika menghambat, ia harus diubah atau dihilangkan. Sebuah simplikasi sikap yang amat berbahaya bagi suatu negara hukum.

Di samping berbahaya, penilaian semacam itu juga berpretensi merendahkan keberadaan hukum dalam kehidupan bernegara. Jika hukum dinilai sebatas itu, tentu tidak ada pentingnya pendiri negara menegaskan bahwa Indonesia ialah negara hukum. Dalam sebuah organisasi kekuasaan, hukum diperlukan untuk membatasi kekuasaan, melindungi hak-hak warga negara dan sekaligus sebagai sarana penyeimbang antar berbagai kepentingan yang ada.

Hukum adalah kesepakatan hidup bernegara yang harus mengakomodasi semua kepentingan. Hukum memang dapat digunakan untuk memberi kepastian bagi investasi, tapi hukum bukanlah budak investasi.Pada konteks ini, dalam kondisi tertentu bisa jadi hukum akan membatasi investasi, karena hukum sedang menjalankan fungsi melindungi hak warga negara yang mungkin akan terdampak investasi. Pada saat yang sama, sangat mungkin pula hukum sedang difungsikan untuk melindungi kepentingan negara dan kepentingan publik dari sisi negatif masuknya investasi.

Sepertinya cara memandang hukum sepertin inilah yang agak luput dari Presiden Jokowi, sehingga tidak keliru jika muncul anggapan sang kepala pemerintahan tak hendak memikirkan kemajuan hukum.Melihat cara pandang terhadap hukum serta ditambah pula tekanan politik yang teramat kuat, masihkah harapan menerbitkan Perpu untuk mengembalikan ruh KPK dapat ditumpangkan kepada sang Presiden? Kiranya itu hanyalah mimpi. Ia hanya mungkin menjadi nyata jika Presiden Jokowi dengan tanpa beban membangun mimpi baru, mimpi Indonesia makin bebas korupsi dengan lembaga pemberantasan korupsi yang kuat dan bersih.

Akhirnya KPK Mati Suri di Tangan Jokowi ?

Penegasan KPK sebagai lembaga eksekutif membawa dampak serius. Dibanding dengan UU lama yang menyebut KPK sebagai lembaga negara tanpa embel-embel lembaga eksekutif, UU baru ini menyiratkan satu pesan bahwa KPK secara hierarki kelembagaan berada di bawah Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang eksekutif.

Karena ia merupakan lembaga yang berada di bawah Presiden, maka Presiden berhak melakukan pengawasan melalui wakil-wakilnya yang ditempatkan di Dewan Pengawas. Dalam konteks ini, Dewan Pengawas merupakan ancaman bagi independensi KPK.

Dewan Pengawas yang dimaksud dalam UU KPK yang baru ini berbeda dengan Dewan Pengawas di lembaga negara pada umumnya. Selain memberikan tugas pengawasan, UU baru ini juga memberikan tugas eksekutif, yang selama ini menjadi kewenangan pimpinan KPK.

Sejauh ini baik DPR maupun pemerintah tidak ada yang mengakui secara jantan bahwa tujuan revisi UU KPK adalah untuk melemahkan. Semua lantang mengatakan bahwa tujuannya adalah penguatan. Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan bahwa ia tidak rela KPK dilemahkan. Tujuan revisi UU KPK dikatakan Jokowi bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan. Namun penguatan seperti apa yang dimaksud Jokowi jika untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, pimpinan KPK harus seizin Dewan Pengawas? Dan, hierarki kelembagaan KPK dipertegas di bawah kekuasaan eksekutif dan pegawainya dikontrol dengan status ASN?

Yang terjadi bukan penguatan KPK secara kelembagaan, tetapi penguatan kendali Presiden terhadap KPK. Jika Dewan Pengawas dipilih Presiden, dan untuk melakukan pengawasan, penggeledahan, dan penyitaan harus seizin Dewan Pengawas, maka jelas secara kasat mata bahwa Presiden memegang kendali penuh atas kerja KPK.

Dalam pelaksanaannya, bila nanti KPK mengendus adanya praktik korupsi di satu kementerian, akan sangat sulit mendapatkan izin untuk melakukan penyadapan dari Dewan Pengawas. Sebab sebagai wakilnya di KPK, orang yang akan duduk di Dewan Pengawas pastinya akan meminta izin Presiden terlebih dahulu.

Dengan alur seperti ini, dapat dipahami kenapa inisiatif revisi UU KPK muncul dari partai-partai di koalisi pendukung Jokowi. Dan, kenapa pula pembahasan revisi UU ini hanya memakan waktu 13 hari sejak dimunculkan jadi pembahasan inisiatif DPR. Jawabannya adalah revisi UU KPK menguntungkan Presiden. Dengan UU baru ini, Presiden lewat Dewan Pengawas bisa mengetahui jika menteri atau koleganya di partai pendukung menjadi target KPK. Dengan kata lain, UU KPK yang baru memungkinkan Presiden melakukan intervensi terhadap kerja KPK.

Setelah revisi UU KPK disahkan, masa depan pemberantasan korupsi berada di tangan Presiden. Mungkin KPK baru masih akan melakukan penangkapan menteri, ketua DPR, ketua partai, dan kepala daerah yang korupsi. Jika itu benar-benar terjadi, pastilah itu sudah seizin Presiden. Jika itu terjadi, mungkin saja pendukungnya yang sekarang kecewa akan kembali memberikan dukungan. Karena kini, KPK tidak lagi independen.

Alhasil, Undang-Undang KPK yang  dirancang pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, dilahirkan masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan dilindungi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada akhirnya KPK akan mati suri ditangan Jokowi. Harapan benteng keadilan hukum terakhir ada di putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan dan proses sidang MK ini harus dikawal terus agar tidak masuk angin dan hukum tetap tegak walau langit runtuh!

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar