Deretan Investasi Ini Bisa Dicoba Agar Kebal Terhadap Resesi

Rabu, 06/11/2019 16:40 WIB
Ilustrasi Resesi (Dakwatuna.com)

Ilustrasi Resesi (Dakwatuna.com)

Jakarta, law-justice.co - Ekonomi Italia dan Hong Kong yang resmi mengalami resesi tahun ini menjadi salah satu bukti bahwa perekonomian global saat ini cenderung melambat.

Bahkan Singapura baru saja lolos dari resesi setelah mampu membukukan pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2019.

Apa sih sebenarnya resesi itu?

Menurut National Bureau of Economic Research (NBER) seperti melansir CNCBIndonesia.com, resesi didefinisikan sebagai periode jatuhnya aktivitas ekonomi, tersebar di seluruh ekonomi dan berlangsung selama lebih dari beberapa bulan.

Namun secara umum, resesi didefinisikan sebagai pertumbuhan negatif suatu negara dalam dua kuartal berturut-turut atau lebih.

Penurunan ekonomi pada suatu negara biasanya menyerang lima indikator ekonomi, yaitu: PDB (produk domestik bruto) riil, pendapatan, pekerjaan, manufaktur, dan penjualan ritel.

Bagaimana kondisi dalam negeri?

Melihat definisi resesi, rasanya ekonomi Indonesia masih jauh dari kata resesi tetapi sinyal perlambatan ekonomi memang terasa.

Pada April-Juni 2019 (kuartal 2) ekonomi Indonesia tumbuh 5,05%, melambat dari periode Januari-Maret (kuartal I) yang angkanya menyentuh 5,07%. Untuk periode kuartal ketiga ini, perekonomian Indonesia diprediksi melambat tetapi tidak kurang dari 5%.

Belakangan memang isu perlambatan ekonomi dunia semakin sering dibahas. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% untuk 2019 dan 3,4% untuk 2020.

Padahal IMF sebelumnya memproyeksikan ekonomi global tahun 2019 akan tumbuh sebesar 3,2% dan meningkat menjadi 3,5% untuk 2020.

Moody`s dalam publikasinya mengatakan bahwa dalam 12-18 bulan ke depan potensi resesi ekonomi global `sangat tinggi`.

"Saya pikir risiko sangat tinggi sehingga jika sesuatu berjalan di luar skenario maka kita akan menghadapi resesi," kata Kepala Ekonom Moody`s Analytics.

"Saya juga akan mengatakan: Bahkan jika kita tidak mengalami resesi dalam 12-18 bulan ke depan, saya pikir pasti kita akan menghadapi banyak perlambatan ekonomi."

Lalu, apa yang harus diperbuat investor di masa resesi atau ekonomi melambat?

Tentu saja investor tidak boleh diam dan menunggu kesempatan untuk kembali masuk ke pasar, apalagi menaruh uang di bawah bantal yang tentu saja akan berkurang karena digerus oleh inflasi.

Diperlukan relokasi aset dalam upaya mengamankan harta maupun mencari imbal hasil (return) yang membuat uang berkembang, di tengah pasar memiliki sifat yang dinamis.

Tim Riset CNBC Indonesia mengkompilasikan instrumen investasi yang tepat jika resesi datang dapat disimak di halaman berikut ini.

Investasi keuangan kala perekonomian cenderung melambat:

1. Emas

Secara tradisional emas dikenal sebagai aset pelindung harta dari inflasi, ketika inflasi meningkat harga emas juga akan naik. Sampai saat ini, emas juga dipandang masih menjadi aset berharga yang dijadikan instrumen investasi.

Meski harga emas relatif dinamis, emas mudah dikelola, dicairkan, serta diperjualbelikan. Dalam 6-8 bulan terakhir, harga emas dunia telah meningkat lebih dari 15% (data per 4 November), ini membuktikan bahwa emas masih menjadi aset lindung nilai (safe haven) ketika ekonomi sedang melambat. Di Indonesia, emas Antam menjadi salah satu pilihan investasi.

 

2. Surat Berharga Negara (SBN)

SBN merupakan surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah, karena itu nilai maupun bunganya dijamin Pemerintah sehingga risiko menjadi paling minimal atau bersifat risk free.

SBN terutama jenis SUN (surat utang negara) memang lazimnya diperuntukkan untuk investor institusi (korporasi, dana pensiun, bank, asuransi, global), tapi kini pemerintah juga merilis SBN yang bersifat ritel untuk individu.


Ada beberapa produk SBN ritel yang diperuntukkan bagi individu-individu yang terdiri dari obligasi bersifat konvensional dan syariah. Adapun obligasi konvensional ialah: Obligasi Negara Ritel (ORI), Saving Bond Ritel (SBR). Untuk yang bersifat syariah: Sukuk Ritel (Sukri) dan Sukuk Tabungan.

Instrumen tersebut bisa diperoleh oleh masyarakat luas melalui agen penjual berupa bank, perusahaan efek, dan fintech sehingga pembelian bisa dilakukan dengan online.


3. Deposito

Bagi masyarakat umum, produk keuangan yang diterbitkan perbankan yakni deposito bisa menjadi salah satu pilihan. Akan tetapi, hanya simpanan dengan batas maksimal Rp 2 miliar yang dijamin oleh institusi bernama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Hingga Senin 4 November 2019, besarnya suku bunga penjaminan LPS adalah 6,5% pada bank umum dan 9% pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR), sementara produk deposito yang memberikan suku bunga di atas persentase tersebut juga tidak mendapat jaminan dari LPS.

Berinvestasi pada saat ekonomi melambat di deposito juga bisa dikatakan aman, dengan catatan mengikuti ketentuan LPS. Jika uang anda berlebih, sebaiknya pecahlah pada bank lain karena batas Rp 2 miliar tersebut hanya berlaku di satu bank saja.


4. Reksa Dana Non-Saham

Reksa dana adalah produk yang dikeluarkan institusi bernama perusahaan manajer investasi (MI) dengan bank kustodian (BK) sebagai penyimpan dana nasabah. Karena itu pengelolaannya profesional karena harus mengikuti ketentuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Beberapa jenis investasi reksa dana yang bisa Anda manfaatkan di kala krisis yaitu: reksa dana pasar uang, reksa reksa dana pendapatan tetap, dan reksa dana proteksi.


5. Dolar AS

Dolar Amerika Serikat bisa dikatakan menjadi mata uang yang paling stabil jika dibandingkan dengan mata uang lainnya di seluruh dunia hingga saat ini. Selain itu, AS merupakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan dolar AS merupakan mata uang utama dalam perdagangan utama dunia.

Dalam 5 tahun terakhir dolar AS mengalami kenaikan 15,7% terhadap rupiah, angkanya bahkan mencapai 47,4% dalam 10 tahun terakhir.

Sebaiknya berinvestasi pada dolar AS dalam bentuk deposito dolar maupun reksa dana pasar uang dolar, karena selain mendapatkan bunga juga mendapat keuntungan dari apresiasi nilai tukarnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar