Bebasnya Sofyan Basir, Ini Analisis Hukumnya dan Kelemahan KPK

Rabu, 06/11/2019 11:11 WIB
Mantan Dirut PLN Sofyan Basir dalam pengadilan Tipikor Jakarta (Koran Jakarta)

Mantan Dirut PLN Sofyan Basir dalam pengadilan Tipikor Jakarta (Koran Jakarta)

Jakarta, law-justice.co - Seperti tak percaya dinyatakan hakim bebas murni, mantan Dirut PLN Sofyan Basir langsung mengucap syukur. Sofyan Basir dinyatakan tidak bersalah dari segala dakwaan kasus dugaan suap terkait proyek PLTU Riau-1 di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Juli 2018 hingga akhirnya muncul dua tersangka, yaitu Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo. Dua orang itu sudah divonis bersalah dan vonisnya pun sudah berkekuatan hukum tetap.

Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd (BNR). Dia awalnya ingin mendapatkan proyek tersebut tetapi kesulitan berkomunikasi dengan PLN. Hingga akhirnya Kotjo meminta bantuan Setya Novanto, yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR. Novanto disebut telah lama mengenal Kotjo.

Dari Novanto, Kotjo dikenalkan dengan Eni yang bertugas di Komisi VII DPR. Melalui Eni, Kotjo dapat berkomunikasi langsung dengan Sofyan Basir yang saat itu menjabat Direktur Utama PT PLN.

Dalam perjalanannya, Eni selalu melaporkan perkembangan Kotjo kepada Novanto. Namun suatu ketika Novanto tersandung kasus korupsi proyek e-KTP. Eni pun memutar haluan dengan melapor ke Idrus Marham sebagai representasi pimpinan Golkar saat itu. Idrus saat itu disebut mengarahkan Eni agar meminta uang kepada Kotjo, termasuk untuk keperluan Munaslub Partai Golkar.

Kasus bergulir sampai Idrus pun ikut terseret. Dia dijerat KPK sebagai tersangka dan baru divonis bersalah pada Selasa, 23 April 2019. Pada hari yang sama ketika Idrus divonis, sore harinya KPK mengumumkan penetapan tersangka baru dalam pusaran kasus ini. Tersangka baru itu adalah Sofyan Basir yang kala itu masih menjabat Direktur Utama PT PLN.

Sofyan didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 jo atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP. Sofyan dituduhkan melakukan pembantuan tindak kejahatan Kotjo dan Eni. Adapun  Pasal 56 ke-2 KUHP yaitu sebagai  peserta pembantu kejahatan.

Jaksa menuntut Sofyan dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Jaksa meyakini bahwa Sofyan telah  melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 56 Ke-2 KUHP dan Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.

Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor berbunyi : “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar: (a). pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor : “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Selanjutnya Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor: “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

Pasal 56 KUHP:  “Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: (1). Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu; (2). Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Namun sebagaimana kita ketahui bersama, dakwaan jaksa kepada Sofyan Basyir, sesuai fakta persidangan dianggap tidak bisa dibuktikan sehingga Sofyan Basyir dibebaskan.   Apa makna Percobaan dan Pembantuan dalam Delik pidana korupsi sebagaimana dituduhkan kepada Sofyan Basyir ? Mengapa  Sofyan Basyir bisa dibebaskan hakim ? Bagaimana konsekuensi bebasnya Sofyan Basyir terhadap upaya pemberantasan korupsi ?. Bagaimana langkah ke depan KPK  agar kasus bebas seperti ini tidak lagi terjadi ?

Soal Pembantuan dalam Delik Pidana Korupsi

Pasal 15 Undang-Undang Tipikor menyatakan setiap orang yang melakukan percoban, pembantuan, atau permufatan jahat untuk melakukan korupsi dipidana dengan pidana yang sama. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa korupsi ialah kejahatan luar biasa sehingga baik percobaan maupun pembantuan dianggap sama dengan perbuatan selesai atau vooltoid.

Dalam doktrin hukum pidana, percobaan merupakan perluasan dapat dipidananya suatu perbuatan meskipun tidak selesai dilakukan. Hal itu menunjukkan sifat berbahayanya perbuatan tersebut. Sementara itu, pembantuan merupakan perluasan dapat dipidananya pelaku. Dalam KUHP, baik percobaan maupun pembantuan, pidana yang dijatuhkan ialah sepertiga dari pidana pokok yang diancamkan.

Ketentuan ini tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi mengingat sifat dan karakteristik tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime. Ada tujuh parameter sehingga korupsi dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa: Pertama, delik tersebut dampak viktimisasinya sangat luas dan multidimensi. Kedua, delik tersebut bersifat transnasional terorganisasi dan didukung teknologi modern di bidang komunikasi dan informatika.

Ketiga, delik tersebut merupakan predicate crimes tindak pidana pencucian uang. Keempat, delik tersebut memerlukan pengaturan hukum acara pidana yang bersifat khusus. Kelima, delik tersebut memerlukan lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat khusus dengan kewenangan yang luas. Keenam, delik tersebut dilandasi konvensi internasional yang merupakan treaty based crimes. Ketujuh, delik tersebut merupakan super mala per se (sangat jahat dan tercela) dan sangat dikutuk masyarakat (people condemnation) baik nasional maupun internasional.

Kendatipun percobaan dan pembantuan dalam delik korupsi dipidana sama dengan pidana pokok yang diancam tanpa dikurangi sepertiga, kriteria percobaan dan pembantuan didasarkan pada doktrin hukum pidana yang berlaku universal. Percobaan dalam KUHP diatur pada Pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat (4). Pasal 53 ayat (1) mendefinisikan sebagai berikut, `Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri`. Berdasarkan konstruksi pasal tersebut, paling tidak ada tiga unsur percobaan.

Pertama, unsur niat. Kedua, unsur permulaan pelaksanaan. Ketiga, unsur tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kehendaknya sendiri. Voornemen atau yang diterjemahkan sebagai niat ialah unsur yang bersifat subjektif dalam percobaan. Unsur kedua dari percobaan ialah begin van uitvoering atau permulaan pelaksanaan. Ada dua teori terkait dengan permulaan pelaksanaan.

Pertama, teori objektif yang menyatakan adanya permulaan pelaksanaan jika perbuatan terdakwa harus mendekati delik yang dituju. Sementara itu, teori subjektif menyatakan bahwa jika dipandang dari sudut niat, tidak ada lagi keraguan pelaku terhadap apa yang dilakukannya telah diarahkan pada delik yang dituju. Sementara itu, unsur `tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri`, menurut Memorie van Toelichting, untuk menjamin tidak akan dipidana orang yang dengan kehendak sendiri, sukarela mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai.

Dalam konteks tindak pidana korupsi, ukuran adanya percobaan tetap mengacu pada doktrin umum dalam hukum pidana sehingga sangat mungkin terjadi terlebih dalam operasi tangkap tangan--uang atau barang sesuatu yang dipakai sebagai objek suap belum tentu sampai ke tangan penerima suap. Demikian pula terhadap delik yang dirumuskan secara materiil, sangat mungkin perbuatan telah selesai, tetapi akibat yang dilarang suatu rumusan delik belum terwujud. Hal ini pun masuk konteks percobaan.

Selanjutnya terkait dengan pembantuan. Dalam pembantuan atau medeplichtige ada dua pihak yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pertama ialah pelaku atau pembuat atau de hoofd dader. Kedua, pembantu atau medeplichtige. Terdapat dua bentuk pembantuan. Pertama, pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Kedua, pembantuan untuk melakukan kejahatan. Artinya, pembantuan itu diberikan sebelum kejahatan terjadi, apakah dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pembantuan untuk melakukan pelanggaran tidaklah dipidana.

Seseorang tidak bisa disebut sebagai pelaku pembantu hanya karena ia kenal pelaku utamanya, tetapi pembantuan harus tahu apa yang ia perbuat dan dengan cara apa membantunya: nullus dicitur accessories post feloniam sed ille qui novit principalem feloniam fecisse, et illum receptavit et comfortavit. Pembantuan haruslah dilakukan dengan suatu kesengajaan. Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa pembantuan hanya dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kesengajaan semata, tetapi juga dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kealpaan.

Terhadap kesengajaan dalam pembantuan dan pembantuan terhadap delik-delik yang mensyaratkan kesengajaan serta delik-delik yang mensyaratkan kealpaan. Tidak mungkin ada pembantuan jika tidak ada kesengajaan untuk membantu melakukan kejahatan. Tegasnya, syarat mutlak adanya pembantuan ialah kesengajaan. Kedua, terkait dengan yang pertama, tidak mungkin pembantuan dilakukan karena suatu kealpaan. Hal lain dalam pembantuan ialah terkait dengan percobaan. Pembantuan dalam percobaan untuk melakukan kejahatan dapat dipidana. Sebaliknya, percobaan untuk membantu melakukan suatu kejahatan tidaklah dapat dipidana.

Mengapa Sofyan Basyir dibebaskan Hakim ?

Sofyan Basir, adalah terdakwa ketiga yang di vonis bebas oleh Majelis hakim.  Terdakwa pertama yang divonis bebas adalah Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad dalam perkara penyuapan anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar. Oleh pengadilan Tipikor Bandung di Pengadilan Negeri Bandung pada 11 Oktober 2011, Mochtar Mohamad dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi, membebaskan Mochtar Mohamad dari seluruh dakwaan dan memulihkan harkat dan martabat serta kedudukan Mochtar Mohamad.

Kedua, Bupati Kabupaten Rokan Hulu Suparman dalam kasus tindak pidana korupsi pembahasan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Perubahan provinsi Riau 2014 dan APBD 2015. Pada 23 Februari 2017, Pengadilan Tipikor Pekanbaru yang bertempat di Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis bebas Suparman.

Ketiga, Sofyan Basir divonis bebas oleh majelis pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 November 2019 dalam perkara pembantuan kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).Sofyan awalnya dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.

Pasal 15 UU Tipikor dan Pasal 56 ke-2 KUHP memang sangat menentukan nasib Sofyan apakah ia terbukti melakukan perbuatan pidana atau tidak. Dalam surat tuntutan, penuntut mengutip keterangan Ahli Hukum Pidana Adami Chazawi dalam bukunya “Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia” cetakan kedua, penerbit Bayumedia Publishing pada halaman 370 yang menyatakan “Untuk mengetahui tentang siapa yang dimaksud dengan orang yang melakukan pembantuan (pembuat pembantu) tindak pidana korupsi pada Pasal 15 harus menghubungkannya dengan ketentuan Pasal 56 KUHP.

Pasal 15 UU Tipikor sendiri berbunyi; "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14". Lalu, Pasal 56 ke-2 KUHP berbunyi; "Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: (1). Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu; (2). Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu".

Penuntut umum menganggap Sofyan terbukti membantu perbuatan pidana yang dilakukan Eni Maulani Saragih, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Fraksi Golkar dengan salah satu pemilik saham Blackgold, Johannes Budisutrisno Kotjo. Kotjo diketahui menyuap Eni miliar rupiah untuk mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Sofyan, dalam surat tuntutan disebut berperan mempertemukan Kotjo dan Eni dengan Direktur Pengadaan Strategis PLN, Supangkat Iwan Santoso yang bertujuan untuk mengawal serta mempercepat proyek tersebut.

Seperti dalam BAP Supangkat Iwan Santoso di surat tuntutan halaman 559. "Eni Saragih dan Johannes Kotjo sering mendesak kepada saya agar proses PPA RIAU-1 dipercepat adalah diketahui oleh Pak Sofyan Basir, dan tindak lanjut dari Pak Sofyan Basir atas hal ini adalah meminta kepada saya agar dipercepat juga" kata Supangkat dalam BAP.

Berdasarkan uraian pembuktian unsur pasal, khususnya unsur delik di atas, maka Penuntut Umum berkesimpulan semua unsur dalam dakwaan pertama melanggar Pasal 12 huruf a jo. Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP telah terpenuhi, serta dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Sayangnya, keyakinan penuntut umum ini berbeda dengan majelis hakim. Para pengadil mengutip pandangan R. Soesilo dalam buku KUHP yang menyebut elemen sengaja harus ada sehingga daya upaya untuk lakukan kejahatan tidak diukur. Sedangkan niat harus timbul dari orang bantuan. Ahli lain yang dihadirkan di persidangan juga berpandangan senada. “Menimbang bahwa sebagaimana ahli yang dihadirkan di persidangan bahwa si pembantu harus mengetahui untuk membantu harus ada niat mens rea pembantu setelah bertemu pelaku utama," ujar hakim anggota, Anwar.

Dari uraian Pasal 56 ke-2 dihubungkan dengan keterangan saksi maka diperoleh fakta hukum Sofyan Basir yang telah tandatangai IPP PLTU Riau-1 antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi dengan Blackgold dan China Huadian selaku investor. Selanjutnya ada usaha Johannes Kotjo untuk medapatkan proyek tersebut baik itu dengan mengirim surat ke PLN maupun bertemu dengan Setya Novanto.

Setelah mendapat bantuan dari Novanto dan mendapat jaminan mendapat proyek, Kotjo menulis catatan tentang siapa saja yang menerima uang jika proyek itu terealisasi. Setya Novanto, menurut majelis yang masuk namanya dalam catatan tersebut mengaku tidak mengetahui adanya catatan tersebut.

"Sedangkan Terdakwa Sofyan Basir yang menandatangani IPPP PLTU Riau1 antara PT PJBI dengan BNR (Blackgokd) dan China Huadian tidak tercantum atau bukan pihak yang menerima fee. Terdakwa tidak mengetahui fee itu untuk siapa saja serta ke siapa saja fee tersebut akan diberikan. Hal ini sesuai terbukti dengan pernyataan Eni, bahwa uang Eni dari Kotjo, terdakwa sama sekali tidak mengetahuinya," terang hakim.

Dalam sejumlah pertemuan dengan Kotjo dan Eni, Sofyan Basir sering kali meminta Iwan untuk mendampingi dan yang dibicarakan mengenai kesepakatan dalam rangka pelaksanaan proyek. Pertemuan-pertemuan tersebut menurut majelis bukan untuk mempercepat Kotjo mendapatkan proyek, tetapi karena memang sesuai dengan aturan Perpres tentang percepatan pembangunan infrastruktur.

"Jadi jelas percepatan bukan karena keinginan terdakwa dan bukan dari pesanan Eni atau Kotjo. Penandatangan PLTU Riau-1 yang dilakukan oleh terdakwa Sofyan Basir tanggal 29 September telah mendapat persetujuan dan pengetahuan Direksi PT PLN. Menimbang dengan begitu percepatan penandatanganan bukan keinginan terdakwa Sofyan Basir maupun keinginan Eni dan Kotjo," jelas hakim.

 Dan dengan adanya penandatanganan tersebut, PT PLN justru miliki saham sebesar 51 persen tanpa membebani malah PT PLN justru mendapat keuntungan. "Sedangkan uang fee Eni secara bertahap sebesar Rp4,75 miliar adalah tanpa sepengatahuan terdakwa Sofyan Basir dan tidak ada kaitannya dengan Terdakwa," ujar hakim.

Dengan demikian majelis berkesimpulan Sofyan Basir tidak terbukti melakukan Pasal perbantuan sebagaiman yang didakwakan Pasal 15 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.

"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perbantuan sebagaiman didakwakan JPU sebagaimana dakwaan pertama dan kedua. Menimbang karena tak terbukti dalam dakwaan pertama dan kedua maka terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan," jelas hakim.

Selain dibebaskan dari segala dakwaan, majelis juga meminta Sofyan dibebaskan dari tahanan. Selain itu hak-haknya harus dipulihkan harkat, martabat serta kedudukannya. Kemudian majelis juga meminta penuntut umum untuk membuka blokir rekening milik Sofyan dan biaya perkara dibayar oleh negara.

Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi

Dengan bebasnya Sofyan Basyir, KPK dikabarkan akan menempuh jalur hukum selanjutnya menyikapi kasus tersebut. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Saut Situmorang mengatakan, pihaknya akan menempuh upaya hukum atas vonis bebas terhadap mantan Direktur Utama (Dirut) PT PLN, Sofyan Basir. KPK menghargai putusan Pengadilan Tipikor tersebut, tetapi akan tetap melakukan upaya check and balances.

Menurut Saut, lima pimpinan KPK sudah bertemu dan memutuskan untuk menempuh jalur hukum. "Lima pimpinan sudah ketemu dan saya pikir kita akan lakukan upaya hukum selanjutnya dan kita firm kok di situ dan nanti kita lihat hasilnya seperti apa," ujar Saut kepada wartawan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Pusat, Senin (4/11/2019).

Meskipun KPK akan menempuh jalur hukum lanjutan, namun tak bisa dipungkiri bebasnya Sofyan Basyir  menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena  pembebasan Sofyan Basir itu akan menimbulkan sikap optimisme bagi koruptor lainnya.  Sebab kasus pembebasan  ini, bisa  menjadi rujukan bagi koruptor-koruptor yang lain yang hari ini di vonis KPK. Koruptor akan semakin berani dan akan melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Sofyan Basir. Ini tentu menjadi fenomena buruk bagi pemberantasan korupsi. Oleh karena itu kita patut prihatin terhadap kondisi KPK hari ini.

Dari awal mula, pasal pembantuan yang dikenakan kepada Sofya Basyir memang terkesan dipaksakan,  ganjil dan kurang pas. Sejauh ini rasanya  KPK belum pernah menggunakan pasal pembantuan (Pasal 56 ke-2 KUHP) dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka kecuali kepada Sofyan Basyir. Padahal syarat pembantuan dalam Pasal 56 ke-2 KUHP ialah sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dalam hal ini Jaksa gagal membuktikan apa yang dibantu dan dengan cara apa Sofyan Basyir  membantu kejahatan. Selain itu, tidak pernah ada pembicaraan pemberian hadiah atau janji. Pertemuan itu hanya membahas negosiasi bisnis.

Dengan bebasnya Sofyan Basyir akan semakin menempatkan KPK sebagai lembaga anti rasuah yang semakin hilang kredibilitas dan kesaktiannya. Seakan  menjadi suatu isyarat  bahwa KPK sudah mencapai titik jenuh dan monoton. Sejauh ini aksi  Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang tidak ada habisnya dengan perolehan sita value yang relatif sedikit yang menyisir eksekutif dan legislative, semakin lama menjadi terlalu biasa sehingga boring sementara kasus kasus besar seperti Century, E-KTP, BLBI dan lain lainnya nyaris tidak tersentuh.

KPK terkesan sudah mulai uzur kontra CSI (Criminal  Scientific Investigation), dan  ketinggalan jaman. Untuk soal pembuktian KPK, harusnya lebih  bekerja keras, berani, update serta pintar. Sebagai test case pada kasus PLN ini. Setelah menjerat Idrus, Eni dan Kotjo, agak heran OTT berlanjut dengan konsentrasi  set back, mundur, mengarah kepada dirut PLN, bukannya  rise up dengan investigasi penggunaan uang terhadap kemungkinan  penyimpangan money politik. Sudah itu tumbang pula di pengadilan.

Kini dengan sudah adanya  revisi UU KPK, proses penyadapan dikunci, harusnya KPK tetap jantan dan percaya diri bisa menangkap maling-maling duit rakyat itu. Dari investigasi suatu mala administrasi dan merekrut law post graduate yang jenius, akan membikin KPK ditakuti bukan karena extraordinary facility tapi karena extraordinary scientific law.

Seleksi kasus besar dan investigasi akar penyebabnya lalu tuntaskan hingga ke sumbernya. Ini akan lebih mencerminkan kehebatan KPK, membuka mata rakyat dan tidak saja menakutkan koruptor tapi mengerikan buat aktor intelektualnya. Mungkin tindakan ini lebih efektif menjerakan pelaku korup daripada OTT yang terus baru dan tiada henti.

KPK jangan hanya terlena pada julukan superbody saja, karena itu malah bisa membonsai dirinya sendiri, dan malah terperangkap ke dalam dunia sempit pemecahan korupsi kuno. KPK sudah harus mereformasi diri, dengan tenaga milenial  cerdas dengan konsep baru yang lebih sophisticated melawan korupsi, sehingga tidak keok di pengadilan ketika harus adu bukti dan adu argumentasi.

Menghadapi korupsi kronis dan elusive KPK mesti bebenah, penyidiknya mesti naik kelas, dengan corruption mind sekelas penyidik atau pengacara hebat, supaya bisa bertarung dengan ilmu hukum modern. Sehingga tidak ada lagi narasi yang muncul dari public, bahwa kebebasan Sofyan adalah suatu bentuk  pelemahan kepada KPK. Karena tidak ada urusan putusan bebas dengan pelemahan KPK, selain kelemahan pada diri KPK sendiri. Bagaimanapun KPK harus memperkuat  diri sendiri, dengan orang-orang yang memiliki standar ilmu beneran bukan sekedar experience atau autodidak supaya kasus Sofyan Basyir tidak lagi berulang !.

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar