Marius Widjajarta: Banyak Oknum di Kemenkes yang Brengsek

Selasa, 05/11/2019 19:31 WIB
Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (Antara)

Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (Antara)

law-justice.co - Komersialisasi dunia kesehatan telah melahirkan dua jenis dokter. Pertama yang terpelajar, kedua, yang kurang ajar. Kesimpulan itu diperoleh Marius Widjajarta (67) setelah 35 tahun memperjuangkan hak-hak pasien yang dirugikan akibat tindakan medis.

Menurut Direktur Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPPKI) ini, banyak kasus yang merugikan pasien justru disebabkan oleh dokter. Persoalan yang paling mendasar adalah sumber daya manusia.

Beberapa tahun terakhir, Marius malah kerap mengelengkan kepala  melihat  banyaknya  dokter bermunculan di televisi. Alih-alih memberikan informasi ihwal pelayanan kesehatan, mereka malah menggadaikan profesi yang mulia itu, demi uang semata dengan berjualan produk-produk kesehatan tertentu.  

Oknum-oknum inilah yang disebut Marius sebagai dokter kurang ajar. “Kalau dia menjalankan profesinya dengan bagus, saya bela mati-matian. Tapi kalau nggak, saya juga kritik mati-matian. Karena daripada  satu apel busuk bikin rusak buah sekeranjang, mending buang yang busuknya saja. Daripada mereka  yang nggak ngerti kesehatan jadi korban malpraktik, lebih baik diberesin itu oknum-oknum dokternya,” kata Marius ketika diwawancarai akhir Agustus lalu. 

Marius tidak asal ngomong. Ia membuktikan ucapannya sehingga dikenal sebagai seorang dokter yang terampil dan memiliki wawasan luas. Ilmunya tak terbatas pada bidang kedokteran, tetapi juga hukum dan ekonomi. Ia juga peduli pada  permasalahan yang terkait dengan hak-hak pasien.

Mengobati Rakyat, Memperjuangkan Hak-hak Konsumen

Persentuhan Marius dengan dunia kedokteran bukannya sudah direncanakan sebelumnya. Ketika hendak melanjutkan pendidikan tinggi, ia sebenarnya ingin mempelajari arsitektur. Namun sang ayah tak mengizinkan dan mengarahkannya untuk masuk jurusan teknik sipil.  

“Dulu ceritanya begini, saya tuh sebenarnya pengen jadi insinyur arsitek, tapi sama bapak saya nggak boleh. Disuruhnya insinyur sipil saja, karena bapak saya kan teknik sipil. Tapi saya bilang nggak senang hitung-hitungan . Ya sudah nggak usah dua-duanya saya bilang, daripada gila. Jadi berontak saya ini. Dia tanya mau apa? Saya mau kedokteran,” ujar pria kelahiran Jakarta itu.

Akhirnya, Marius pun masuk Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta pada 1972. Sepuluh tahun kemudian, ia lulus dan diangkat sebagai dokter. Sebenarnya sejak 1982, ia telah merampungkan pendidikannya, namun baru dua tahun kemudian mengikuti ujian negara di Universitas Diponegoro. Selama rentang waktu itu, ia memilih untuk mengambil kuliah Ilmu Ekonomi dan aktif di Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang salah satu pendirinya adalah sang ibu.

“Saya diceburkan ke dunia konsumen oleh ibu saya. Dia itu kan aktivis konsumen. Ibu saya bilang, kamu jadi dokter harus membantu konsumen. Saya bilang, memang kalau saya di konsumen apa saya bisa hidup? Oh bisa, benar juga saya bisa hidup. Apa nggak rugi didik saya, kan mahal kan. Enggak harus begitu katanya”, kenang Marius.

Marius masih ingat, ketika masuk YLKI pada 1984, ia hanya dibayar 15 ribu per bulan. Sadar gaji itu tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhannya, Marius pun meminta ibunya untuk menyiapkan makanan dalam rantang untuk dibawa ke kantor untuk menghemat pengeluaran. Sang ibu pun menyanggupinya. Selain itu Marius pun berupaya menutupi biaya hidupnya sambil membuka praktik.

Sambil membela hak-hak konsumen, ia pun mendapat tawaran untuk bekerja di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Di sana, ia mendapatkan gaji yang cukup besar pada masa itu, sekitar tujuh juta rupiah. Penghasilan itu tentu saja lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun ia tak dapat berlama-lama untuk menikmati momen itu. Pasalnya, sebagai dokter, ia memiliki kewajiban untuk mengikuti ikatan dinas sebagai pegawai negeri sipil.

Tanpa pikir panjang Marius pun menyanggupinya, meski sadar betul gajinya akan menurun drastis. Pada 1985, ia pun resmi menjadi abdi negara dengan gaji Rp 80 ribu per bulan. Tak ingin lama-lama menunggu giliran, laki-laki kelahiran 25 September 1952 itu memilih daerah terpencil agar segera mendapat pekerjaan. Ia pun dikirim ke RSUD Kampar di Provinsi Riau dan bekerja di sana selama 2,5 tahun dan sempat diangkat menjadi direktur rumah sakit.

“Waktu itu Kampar kan daerah paling miskin, orang nggak ada yang mau minat ke sana. Ibaratnya kalau becanda tuh uang 100 perak kalau jatuh  menggelinding itu carinya ke mana-mana sampai ketemu. Tapi ada enaknya, karena  masyarakatnya baik.  Jadi ilmu kita benar-benar berguna di sana. Saya layani pasien segala lapisan sesuai sumpah dokter. Selain itu, saya jadi tahu juga situasi daerah,” kisah Marius.

Setelah kembali ke Jakarta, ia mendapat tawaran bekerja di puskesmas. Namun karena penempatannya hanya di puskesmas tingkat kelurahan, Marius  menolak. Alasannya, karena pernah menjabat sebagai direktur  rumah sakit umum daerah, ia  seharusnya ditempatkan di  Puskesmas tingkat kelurahan. Akhirnya, istri dari Indah ini memilih dipekerjakan di rumah sakit swasta.

Sangat terkesan saat melayani rakyat jelata di Kampar, Marius lalu  memutuskan untuk melayani di klinik pratama—setingkat puskesmas— di Rumah Sakit Saint Carolus. Meskipun begitu, ia tetap berstatus pegawai negeri sipil yang digaji oleh negara dan diperbolehkan menerima honor tambahan dari rumah sakit swasta tempatnya bernaung.

“Saya minta dipekerjakan di swasta, dulu boleh kan. Gajinya tetap keluar, tapi kalau swastanya mau ngasihtambahan terserah. Akhirnya saya dapat honor juga di Carolus, tapi saya megang di klinik pratama, kayak Puskesmas. Jadi pasien saya rakyat. Ya nggak masalah, ini sesuai dengan jiwa saya. Saya enak bisa ketemu rakyat langsung dan obatin pasien  dengan biaya yang murah meriah,” tutur Marius.

Selama bekerja di Rumah Sakit Saint Carolus, hampir setiap hari Marius kebanjiran pasien. Bila tak dibatasi, ia sebenarnya bisa menangani sampai 70 pasien. Namun karena tak mau dicap sebagai dokter yang rakus dan menjaga akurasi pemeriksaan, ia membatasi diri hanya memeriksa 30 pasien, kecuali jika ada pasien yang perlu penanganan gawat darurat.

Sambil berpraktik, Marius tetap aktif untuk mengadvokasi hak-hak pasien. Tak puas berkiprah di YLKI yang lebih banyak mengurus masalah konsumen secara umum, ia pun berinisiatif membentuk yayasan baru yang secara khusus berkonsentrasi pada hak-hak konsumen di bidang kesehatan, terutama perawatan medis.

Pengkritik kebijakan pemerintah di bidang kesehatan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat (Liputan6)

Bersama teman-temannya, pada  18 Agustus 1998 secara resmi Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia berdiri (YPKKI). Tiga bulan kemudian, lembaga ini pun resmi beroperasi untuk meningkatkan derajat konsumen yang memiliki dasar tawar yang tinggi berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pada mulanya, keputusan Marius mendirikan YPKKI dipertanyakan banyak pihak. Salah satunya  dari orang-orang YLKI. Pasalnya, setelah memilih keluar dari yayasan yang memperjuangkan kepentingan konsumen  itu pada 1998, ia dianggap membelot karena dianggap  mendirikan lembaga sejenis yang bersaing langsung dengan YLKI.

“Saya ingin (membentuk lembaga) yang profesional, karena saya sekolah kedokteran. Saya waktu dulu buat ini (YPKKI), orang-orang YLKI bilang saya mbalelo dan segala macam. Saya bilang, saya ini sama kayak kalian, tapi saya (fokus) ke kesehatan sewot. Mereka sempat sewot, tapi saya ketawa saja. Tapi saya pamit juga sama mereka, termasuk Ibu saya”, papar Marius.

Selain itu, banyak pula rekan dokter yang mempertanyakan keputusan mendirikan YPKKI. Ia dianggap melawan arus, “menerobos batu” dan mempermalukan kawan-kawan seprofesinya. Bahkan serangan kepada dirinya datang pula dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran  (MKEK) hingga tiga kali.

“Pertama saya diadili karena menulis opini tentang dokter yang menjadi konglomerat karena kongkalikong. Saya langsung dipanggil IDI, tapi saya ketawa-ketawa saja. Tapi ada juga yang membela saya, seorang profesor. Orang-orang IDI juga pada bingung, kok nggak galak sama saya. Dia bilang kamu sudah benar teruskan katanya”, kata Marius.

Sejak pertama kali berdiri, Marius langsung  duduk sebagai Direktur YPKKI. Praktis ia merogoh kocek sendiri untuk membiayai lembaga ini, seperti menutupi biaya operasional atau melakukan riset kesehatan untuk direkomendasikan kepada pemerintah. Ia pun tak pernah mematok tarif bila ada pasien yang datang karena dirugikan oleh rumah sakit atau oknum dokter.

Mengorbankan Kepentingan Pribadi

Misi mulia Marius dalam memperjuangkan hak-hak pasien dan komentarnya yang  kritis terhadap pemerintah di bidang kesehatan membuat dirinya tidak disukai. Hal ini berdampak pada kehidupan pribadi dan keluarganya. Sebagai pegawai negeri sipil, misalnya, pangkatnya mengalami kemandekan, gajinya pun pernah tak dibayar penuh dan ditahan, hingga dipensiunkan tanpa alasan yang jelas.

“Banyak oknum di Kementerian Kesehatan yang brengsek. Tapi saya kasihan sama rakyat, jadi saya sering kasih data penelitian ke Kementerian Kesehatan supaya jangan merugikan orang banyak. Ada yang nurut, tapi ada juga yang enggak menjalankan, yang maki-maki saya juga banyak. Ada yang bilang asal bunyi saja, saya ketawa saja sih karena saya kan pegawai di sana juga,” ujarnya.

Marius mengaku hampir empat tahu gajinya  dipotong dan bahkan  tak dibayar. Pejabat kementerian beralasan, ia tak mendapat gaji karena kantor wilayah di Riau, tempat dirinya mengabdi dahulu telah dibubarkan. Padahal, dalam  perhitungannya, gaji yang seharusnya diterima mencapai ratusan juta rupiah.  Awalnya, ia tak mempermasalahkan hal ini karena memang tidak terlalu senang dengan budaya kerja di Kementerian Kesehatan yang menganut azas “asal bapak senang”.

“Kayak di rumah sakit pemerintah tuh kalau pejabat datang mesti di-service, makanya saya nggak cocok di situ. Pernah ada satu kasus, saya bilang ke istri saya yang pegawai negeri, kayaknya gua nggak cocok nih kayak gini. Saya  mending aktif di LSM, hati nurani saya nggak cocok nih.  Bukan saya  munafik,  saya  butuh duit tapi nggak kayak gini caranya,” ungkap Marius.

Sikapnya ini ternyata juga berdampak pada karier sang istri, yang berprofesi sebagai dokter gigi. Berstatus sebagai pegawai negeri sipil di Kementerian Kesehatan, selama bertahun-tahun kariernya mandek sebagai kepala sub-bidang, meskipun pangkatnya terus naik. Padahal ketika pergantian pejabat, nama sang istri selalu muncul, tapi tak pernah terpilih. Namun Ibu Indah akhirnya dipercaya sebagai direktur di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta hingga akhir hayatnya. Ia meninggal karena kanker.

Ketika Marius mulai pesimis memperjuangkan hak atas gajinya, ia mendapat secercah harapan dari teman-teman baiknya yang telah menjadi pejabat di Kementerian Kesehatan. Suatu ketika, ia dikabari bahwa gajinya sebenarnya masih ada. Hal ini diperkuat dengan bukti pembayaran Taspen yang masih dibayarkan setiap tahun. Marius pun kemudian mendapat bantuan dari kawannya di Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk mengurus  status administrasi pegawai negeri sipilnya.

“Saya dapat bantuan dari teman yang jadi Kepala BAKN. Saya bilang, pak bisa tolong pangkat saya nih, saya mau pensiun. Dalam dua minggu, akhirnya status itu keluar juga. Orang-orang di Kemenkes pun bingung. Bahkan, ia mendapat kenaikan satu tingkat. Akhirnya, tahun lalu, saya pun secara resmi pensiun dan menerima uang pensiun sebesar empat juta rupiah setiap bulan,” kenang Marius.

Selama aktif di YPPKI, Marius mengaku pengalamannya yang paling berkesan adalah keberhasilannya menangani kasus penelantaran pasien anak-anak oleh oknum dokter  di sebuah rumah sakit swasta bergengsi di Jakarta. Ketika itu, ia berhasil memenangkan gugatan sebesar dua miliar, hukuman terberat dalam UU Perlindungan Konsumen.

“Saya menangani tuntutan keluarga pasien terhadap rumah sakit mewah. Korbannya ini orang asing, anaknya meninggal. Pas anaknya sakit, itu nggak ditengokin sama dokter. Si dokter malah sibuk main tenis dan hanya berkonsultasi lewat telepon. Pas ditengokin ternyata anaknya sudah meninggal. Akhirnya, rumah sakit itu bayar denda dua milliar,” cerita Marius.

Pengalaman lain yang tak dapat dilupakan terjadi ketika ia mendampingi seorang ibu korban malprakik. Sehabis melahirkan, ternyata kain kasa steril tertinggal di alam perut dan membuat dirinya harus bolak-balik rumah sakit. Tiba-tibab enda asing itu pun kemudian keluar ketika buang air besar. Meskipun begitu sang ibu tetap mengugat  dokter yang menangganinya dan menang dalam kasus itu. Sang dokter pun sepakat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 15 juta.

“Si ibu kan jualan VCD keliling. Setelah dapat ganti rugi, dia datang ke kantor nangis-nangis. Ini dokter saya sumbang. Kalau dokter nggak mau terima saya nggak mau pulang. Gini  deh bu, saya terima uangnya. Tapi habis itu langsung saya beliin lagi tuh VCD jualan dia. Habis dibayar, tiba-tiba dia nangis terharu.”

Meskipun harus  menempuh jalan berliku dan kerap mengabaikan kepentingan pribadinya demi memperjuangkan hak-hak pasien, Marius berhasil memetik hasil dari kerja kerasnya selama ini. Ketika ia tiba-tiba jatuh sakit dan harus dirawat, banyak orang yang membantu dirinya yang hidup sendirian setelah sang istri berpulang.

“Saya sempat dirawat di rumah sakit. Sebenarnya saya sudah tahu sih tulang saya sudah amblas. Efeknya kaki dan tangan kiri saya lemah. Sekarang sih sudah bisa mulai jalan menggunakan tongkat. Saya juga mengikuti terapi musik  di RS Siloam Karawaci. Semuanya gratis karena teman saya yang punya rumah sakit itu. Dia bilang,  saya tahu kamu benar. Orang yang benar itu kamu bela, tapi yang salah kamu sikat. Orang kayak kamu harus dibantu,” kisah Marius.

Namun, ketika sakit, Marius mendapat cobaan lain. Salah satu rumahnya di kawasan Cempaka Mas digusur oleh Satpol PP tanpa alasan yang jelas. Menurut penjaga, suatu hari tiba-tiba  kepala RT setempat datang ke rumah yang atapnya sudah ambruk itu. Mereka menganggap rumah itu sudah tak layak dan harus dirobohkan, padahal masih ada barang-barang berharga dengan nilai ratusan juta, termasuk kursi dokter gigi milik mendiang istrinya.

“Rumah itu kan atapnya ambruk, tapi saya belum punya uang. Saya pikir, nanti saja saya betulin pas uang jaminan hari tua, sekitar 40 juta cair. Rumah itu rencananya akan dipakai sebagai kantor YPKKI yang ngontrakdimana-mana.  Tapi tiba-tiba, rumah itu diambrukin oleh Satpol PP, padahal ada yang penjaga di rumah itu dan perabotannya juga masih ada. Sekarang semuanya sudah hilang. Makanya saya lagi cari nih, komandan Satpol PP, kok bisa semena-mena seperti itu ya”, kata Marius.

Robohnya rumah Marius menjadi penanda senjakala YPKKI. Sejak dirinya jatuh kasih dan masih dalam proses pemulihan, praktis lembaga ini mati suri karena ia tak lagi memiliki biaya untuk mengurus biaya operasional yayasan itu. Kini meskipun masih memiliki energi, keterbatasan fisik akibat penyakit yang menderanya membuat dirinya tak lagi dapat membantu memperjuangkan hak-hak pasien, setidaknya untuk sementara.

 

 

(Teguh Vicky Andrew\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar