Protes Elpiji Naik, Ibu di Lhokseumawe Dituntut 10 Bulan Penjara

Senin, 04/11/2019 11:05 WIB
Elpiji 3 kg (TVberita.co.id)

Elpiji 3 kg (TVberita.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Warga Gampong Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Mursyidah dituntut 10 bulan penjara atas dugaan perusakan rumah toko di desa setempat yang dijadikan pangkalan elpiji 3 kilogram.

Tuntutan tersebut disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lhokseumawe dalam sidang lanjutan kasus tersebut di Pengadilan Negeri Lhokseumawe beberapa hari yang lalu.

Kasus itu ternyata mengundang reaksi masyarakat setelah diberitakan media.

Salah satunya adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (BEM Unimal), Muhammad Fadli.

“Dalam kasus ini ada beberapa kejanggalan yang kami analisis setelah melihat dan mewawancara langsung Kak Mursyidah dengan datang ke rumahnya,” ujar Ketua BEM FH Unimal seperti melansir gelora.co.

Menurut Muhammad Fadli, saat proses penyelidikan, Mursyidah belakangan baru mendapatkan kuasa hukum karena ia mengaku tidak mengerti hukum.

Bahkan Mursyidah mengaku tidak bisa membaca, sehingga apapun surat yang disuruh teken, ia tanda tangan.

“CCTV yang ada di toko tersebut tidak dihadirkan ketika proses pemeriksaan alat bukti di persidangan. Padahal CCTV tersebut bisa menjadi alat bukti tambahan manifestasi dari alat bukti petunjuk sebagaimana disebutkan Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti yang sah,” ujar Fadli.

Karena itu BEM Hukum Unimal meminta hakim PN Lhokseumawe melihat kasus ini dalam kacamata yang objektif dan professional, sebelum membacakan amar putusan yang dijadwalkan pada 5 November mendatang.

“Hakim harus menjadi corongnya Undang-undang sesuai dengan azaz Bouchedelaloi, bukan corong lainnya apalagi menjadi corong kepentingan pihak-pihak tertentu. Hakim harus melihat nilai lain dari kasus ini, bukan hanya dari aspek yuridis. Namun juga dari aspek sosiologis,” ujar Ketua BEM Fakultas Hukum.

BEM Fakultas Hukum Unimal, meminta hakim agar memvonis bebas kak Mursyidah atau minimal hukuman percobaan.

Sebab, Mursyidah adalah rakyat miskin, rumahnya saja hampir roboh dan kesehariannya mencari nafkah dengan cara menjual kerupuk.

Suaminya Mursyidah sekitar dua pekan meninggal dunia. Mursyidah mengaku suaminya shock, setelah mendengar tuntutan tersebut.

Saat ini, Mursyidah memilliki 3 anak, dua diantaranya masih kecil.

“Beliau saat ini menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya meninggal, bagaimana nasib dari ketiga anak kak mursidah bila ibunya di penjara,” ujar Fadli.

Karena itu mahasiswa meminta hakim sebagai perwakilan negara dalam kasus ini untuk membantu rakyat kecil yang tidak berdaya melawan ketidakadilan.

Atas beberapa pertimbangan tersebut mahasiswa meminta sikap integritas, profesionalitas, dan objektivitas para yang mulia Hakim dalam kasus ini.

“Kami mahasiswa khususnya BEM Hukum Unimal akan mengawal kasus ini dan bila ketidakadilan tidak didapati oleh masyarakat kecil, maka extra parliamentary sebagai cara perlawanan terakhir kami mahasiswa akan kami lakukan untuk membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan,” tegas Fadli.

Karena pada prinsipnya keadilan itu tidak terletak di dalam Undang-undang, kata Fadli, tapi keadilan itu terletak di dalam hati nurani seperti yang disampaikan Profesor Bismar Siregar mantan Hakim Agung Mahkamah Agung.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar