WhatsApp: Perusahaan Israel Gunakan Nomor Indonesia Untuk Meretas

Sabtu, 02/11/2019 05:55 WIB
WhatsApp (Okezone)

WhatsApp (Okezone)

Jakarta, law-justice.co - Facebook, selaku pemilik WhatsApp mengungkapkan antara Januari 2018 dan Mei 2019, NSO Group menciptakan berbagai akun WhatsApp dengan memakai nomor telepon dari berbagai negara untuk meretas.

Selain itu, ada pula nomor dari Siprus, Israel, Brasil, Swedia, serta Belanda.

Selanjutnya, pada April dan Mei, para korban diserang dengan panggilan telepon melalui WhatsApp, kata Facebook.

"Untuk menghindari hadangan teknis yang dibangun di dalam server-server persinyalan WhatsApp, tergugat memformat pesan-pesan panggilan berisi kode berbahaya agar terlihat seperti panggilan sahih dan menutupi kodenya di dalam pengaturan panggilan," sebut Facebook seperti melansir bbc.com.

"Menyamarkan kode berbahaya sebagai pengaturan panggilan membuat pihak tergugat bisa menyampaikannya ke gawai milik target dan membuat kode berbahaya itu terlihat seolah-olah berasal dari server persinyalan WhatsApp." lanjutnya.

Menggunakan metode itu, para korban sama sekali tidak sadar mereka telah disadap. Dalam beberapa kasus, satu-satunya yang mereka perhatikan adalah panggilan tak terjawab yang misterius di riwayat WhatsApp.

Dokumen itu menyatakan bahwa Facebook:

- Meyakini peretasan itu menyalahgunakan jaringan komputernya
- Menginginkan perintah pengadilan untuk menghentikan NSO Group mengakses platform-platformnya.
- Menerima bahwa NSO Group diduga menjalankan peretasan atas permintaan kliennya, namun Facebook menuntut pihak perusahaan sebagai pencipta perangkat lunak.

NSO Group pernah dituduh sebagai pihak yang memasok peranti mata-mata yang membuat pihak pembunuh wartawan Jamal Khashoggi bisa melacaknya.

NSO Group membantah terlibat dalam insiden itu dan mengatakan akan melawan tuduhan terkini.

"Dalam istilah terkuat yang ada, kami membantah tuduhan hari ini dan akan melawannya dengan semangat," sebut pernyataan perusahaan itu.

"Tujuan satu-satunya NSO Group adalah menyediakan teknologi kepada intelijen pemerintah yang berlisensi dan badan penegak hukum guna membantu mereka memerangi terorisme dan kejahatan serius." tambahnya.

Sebelumnya, telepon seluler milik Faustin Rukundo berbunyi, pada April lalu, menandakan ada panggilan melalui WhatsApp. Rukundo mengernyitkan dahi, dia tidak mengenal nomor telepon tersebut.

Dia memutuskan untuk menjawabnya. Tapi penelepon tidak berkata apa-apa. Sunyi senyap, kemudian putus. Rukundo mencoba menelepon balik, tapi tidak diangkat.

Saat itu Rukundo tidak tahu bahwa teleponnya telah diretas.

Sebagai eksil asal Rwanda yang bermukim di Leeds, Inggris, Rukundo sudah sadar akan pentingnya privasi. Dia mencari nomor telepon yang menghubunginya melalui internet dan menemukan nomor tersebut berasal dari Swedia.

Aneh, pikirnya. Tapi kemudian dia segera melupakannya.

Beberapa waktu kemudian nomor itu menghubunginya kembali. Lagi-lagi, tidak ada orang yang menyahut.

Ada pula sejumlah panggilan tak terjawab dari beberapa nomor lain yang tidak dia kenal. Fakundo mulai khawatir dengan keselamatan keluarganya sehingga dia membeli ponsel baru.

Dalam waktu sehari, nomor tak dikenal menelepon lagi.

"Saya mencoba menjawab dan mereka menutupnya sebelum saya mendengar suara apapun," kata Rukundo kepada BBC.

"Setiap kali saya menelepon balik, tiada yang menjawab. Saya sadar ada yang janggal ketika saya mulai melihat beberapa dokumen hilang dari ponsel."

"Saya bicara dengan kolega-kolega di Kongres Nasional Rwanda dan mereka pun punya pengalaman sama. Mereka kerap menerima panggilan tak terjawab dari nomor yang sama seperti saya," papar Rukundo, merujuk kelompok yang menentang rezim pemerintah Rwanda.

Barulah ketika dia membaca laporan bahwa WhatsApp telah diretas pada Mei lalu, dia menyadari apa yang terjadi.

"Saya pertama membaca artikel BBC bahwa WhatsApp diretas dan berpikir, `Wow, ini bisa menjelaskan apa yang terjadi pada saya`," jelasnya.

"Saya mengganti ponsel dan menyadari kesalahan saya. Mereka mengikuti nomor saya dan menaruh peranti mata-mata pada setiap gawai baru dengan menelepon menggunakan nomor yang sama."

Selama berbulan-bulan, Rukundo meyakini dirinya dan kolega-koleganya adalah sebagian dari 1.400 orang yang diperkirakan disasar oleh para peretas dengan memanfaatkan celah pada WhatsApp.

Keyakinan Rukundo dipastikan oleh Citizen Lab di Toronto, Kanada, pekan ini.

Selama enam bulan, organisasi tersebut bekerja sama dengan Facebook untuk menyelidiki peretasan dan mencari tahu siapa saja korbannya.

Para periset dari organisasi itu mengatakan: "Sebagai bagian dari investigasi terhadap insiden itu, Citizen Lab telah mengidentifikasi lebih dari 100 kasus perundungan yang menargetkan para pembela hak asasi manusia dan wartawan di sedikitnya 20 negara di seantero dunia."

Profil Rukundo sebagai orang yang vokal mengritik rezim Rwanda sejalan dengan jenis orang yang menjadi target peranti mata-mata itu.

Diduga, peranti itu dibuat dan dijual oleh NSO Group yang berbasis di Israel. Pembelinya, sejumlah pemerintah di dunia.

Para peretas menggunakan peranti tersebut untuk memata-matai wartawan, pegiat HAM, pembangkang politik, dan diplomat.

Rukundo mengaku dirinya tidak lagi menerima panggilan telepon sejak peretasan mula-mula, namun pengalaman itu membuat dia dan keluarganya paranoid serta takut.

"Sejujurnya, bahkan sebelum mereka memastikannya, kami amat takut. Sepertinya mereka hanya menyadap telepon saya sekitar dua pekan namun mereka punya akses ke semuanya," kata Rukundo kepada BBC.

"Tidak hanya aktivitas saya selama hal itu terjadi, tapi juga riwayat email, semua kontak, dan koneksi. Semuanya dipantau, komputer, telepon kami, tiada yang aman. Bahkan saat kita berbincang, mereka bisa saja mendengarkan. Saya masih tidak merasa aman."

Rukundo kabur dari Rwanda pada 2005 tatkala para pengritik pemerintah ditangkap dan dipenjara.

Dia mengaku berjuang agar istrinya dibebaskan setelah diculik serta ditahan selama dua bulan dalam suatu kunjungan keluarga pada 2007.

Facebook, selaku pemilik WhatsApp, berupaya menuntut NSO Group.

Adapun NSO Group membantah telah melakukan kesalahan.

Dalam dokumen-dokumen persidangan, Facebook menuduh perusahaan itu mengeksploitasi kerentanan pada WhatsApp yang semula tidak diketahui.

Aplikasi itu digunakan oleh sekitar 1,5 miliar orang di 180 negara.

Layanan tersebut populer karena terenkripsi mulai dari pengirim sampai penerima. Artinya, pesan-pesan diacak selagi melintas di dunia maya sehingga tidak bisa dibaca jika disadap di tengah jalan.

Dokumen persidangan yang dipaparkan di Pengadilan Distrik California Utara, Amerika Serikat, merinci bagaimana perangkat mata-mata itu diduga dipasang.

Peranti lunak yang dikenal bernama Pegasus itu adalah produk NSO Group yang bisa menarik data berharga pada gawai secara diam-diam dan dari jauh. Caranya, membagi semua aktivitas pada ponsel, termasuk komunikasi dan data lokasi, dengan pihak penyerang.

Ini berbeda dengan serangan yang mengelabui korban untuk mengklik tautan laman sehingga peranti lunak terunduh tanpa disadari.

Melalui peretasan via WhatsApp, Facebook menuding bahwa perangkat lunak itu terunduh ke ponsel korban tanpa mereka melakukan apapun.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar