Menelisik Masa Depan Koalisi Kabinet Indonesia Maju

Sabtu, 02/11/2019 07:35 WIB
Kabinet Indonesia Maju (joglosemar)

Kabinet Indonesia Maju (joglosemar)

Jakarta, law-justice.co - Presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya Ma`ruf Amin telah dilantik pada 20 Oktober 2019, bahkan para pembantu Presiden yaitu Menteri dan Wakil Menteri juga sudah dilantik sehingga sudah siap untuk bekerja mewujudkan Indonesia maju sebagaimana yang mereka janjikan.

Untuk menjadi negara maju menuju masa depan yang lebih baik, sudah barang tentu harus terkonsep dalam sebuah visi, misi dan strategi nasional yang disusun melalui perencanaan matang, tersistem, terstruktur, terkoordinir dan dalam pelaksanaannya semua unsur dapat bekerjasama secara lintas bidang/sektoral guna mencapai tujuan bersama.

Menyimak pidato Presiden Jokowi dalam pelantikannya terpapar jelas di periode kedua telah disampaikan bahwa semua elemen bangsa perlu bekerja bersama dengan lebih keras guna meraih mimpi Indonesia maju pada 2045. Dari ungkapan tersebut menggambarkan bahwa persatuan dalam bentuk kegotongroyongan, bermusyawarah dan bermufakat untuk membangun negeri perlu digarisbawahi sehingga kita tidak terkotak-kotak dan selalu "gontok-gontokan" sebagaimana yang terjadi selama ini.

Terkait dengan fokus kerja kabinet Jokowi jilid 2 (2019-2024) dapat diketahui antara lain: Pembangunan Sumber Daya Manusia, Pembangunan Infrastruktur, Penyederhanaan dan pemangkasan rentang kerja, Penyederhanaan birokrasi, dan Transformasi ekonomi.

Jika dilihat dari tujuan jangka panjang atau cita-citanya menjadikan Indonesia maju pada 2045 dengan langkah diawal lima tahun kedepan dititikberatkan pada Pembangunan SDM, Infrastruktur, Penyederhanaan dan pemangkasan, Penataan birokrasi, dan Transformasi ekonomi -- maka semuanya itu merupakan pekerjaan besar, serius, mengutamakan kepentingan bangsa yang tidak hanya bisa dilakukan secara partisan.

Namun ditengah-tengah membuncahnya harapan rakyat untuk menyongsong Indonesia maju, publik disuguhi dengan tampilan para Menteri yang ditunjuk Presiden Jokowi yang penuh kontroversi. Bukan hanya itu, sebagian Menteri itu terindikasi korupsi karena pernah berurusan dengan KPK. Sehingga muncul pertanyaan : mana mungkin Indonesia bisa maju kalau pemilihan Menteri-menterinya saja penuh kontroversi dan tidak sunyi dari aroma korupsi ?. Belum lagi koalisi “gemuk” yang dibangun Pemerintah saat ini yang potensial mengancam kehidupan demokrasi di negeri ini.

Penunjukan Menteri Sarat Kontroversi

Pemilu serentak tahun 2019 sudah usai, artinya "permainan politik" sudah berakhir. Struktur pemerintahan dari tingkat daerah hingga pusat mulai terbentuk. Kita hanya bisa menunggu, sejauh mana kinerja yang diberikan oleh para menteri yang telah ditunjuk sebagai pembantu Presiden/Wakil Presiden RI. Ada yang optimis, formasi Menteri yang sudah dibentuk oleh Presiden akan membawa Indonesia menjadi Negara maju.

Namun banyak juga yang pesimis, cita-cita menuju Indonesia maju bisa dicapai dengan penunjukan formasi kabinet yang sudah terbentuk saat ini. Dengan nama Kabinet Indonesia Maju, bagaimana Indonesia bisa maju bila pemilihan menteri tidak tepat dan mengecewakan rakyat?

Saat ini sejumlah tokoh yang dipilih Jokowi jadi anggota Kabinet Indonesia Maju dinilai sangat mengecewakan dan mengkhawatirkan karena berbagai anggapan, misalnya ; belum/tidak mewakili golongan atau kelompok masyarakat tertentu, nama tidak dikenal, latar belakang pendidikan-pengalaman kerja-politik-organisasi-usia- yang tidak sesuai dengan pos jabatan yang ditempati dan sebagainya.

Selain itu ada tokoh idola/panutan publik atau menteri terdahulu yang dianggap berprestasi bagus namun justru tidak terpilih kembali, misalnya Susi Pujiastuti mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Ignasius Jonan mantan Menteri ESDM.  Sebaliknya, tokoh-tokoh kontroversial yang yang mempunyai catatan kurang baik justru naik panggung kekuasaan. Adapun tokoh tokoh yang dinilai cukup kontroversial itu antara lain adalah:

  1. Mendikbud, Nadiem Makarim

Sosok Nadiem Makarim yang semula adalah Bos Go-Jek  mendapat banyak perhatian publik. Nadiem sendiri merupakan sosok yang tidak memiliki background politis dan background ilmu kependidikan, padahal ia menjabat Mendikbud. Usianya pun paling muda di antara para menteri yang lain. Nama Nadiem Makarim disorot publik dan diragukan kemampuannya karena latar belakang pendidikan, pengalaman kerja/organisasinya dianggap tidak sesuai dengan beratnya beban kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipimpinnya.

Bayangkan, usia Nadiem Makarim masih muda (35 tahun) dan lebih dikenal publik sebagai bos GoJek (pengusaha startup), tahu apa  dia soal pendidikan usia dini, dasar, menengah dan tinggi? Belum lagi masalah birokrasi lembaga pendidikan, kesejahteraan guru dan infrastruktur sekolah dasar dan menengah di daerah-daerah yang masih sangat memprihatinkan. Dengan kondisi seperti ini dikhawatirkan waktu bagi Nadiem habis untuk belajar ketimbang cepat bekerja untuk mengembangkan dunia pendidikan di Indonesia

  1. Menteri Agama, Fachrul Razi

Salah satu yang dianggap publik sebagai sosok kontroversial adalah Fachrul Razi, yang dipilih Jokowi sebagai Menteri Agama. Fachrul Razi dianggap kontroversi, lantaran background-nya yang berasal dari militer dan tidak memiliki riwayat tergabung dalam basis keagamaan. Bahkan efek dari penunjukan Fachrul Razi, Ketua PBNU Robikin Emhas mengaku  pihaknya menerima protes dari banyak kiai.

Namun Jokowi memiliki alasan tersendiri untuk memilihnya. Menurut Jokowi, Fachrul memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah radikalisme. "Kita ingin yang berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi itu betul-betul konkret bisa dilakukan oleh Kemenag," kata Jokowi. Pernyataan Jokowi yang menyatakan bahwa dengan menempatkan Fahchrul Razi sebagai Menteri Agama diharapkan mampu mengatasi masalah radikalisme justru mendapatkan banyak kecaman.

Salah satunya datang dari Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsudin yang menyoroti arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi untuk mengatasi radikalisme."Tadi diberitakan dewan pertimbangan MUI mengkritisi kalau menteri agama baru memberantas radikalisme, waduh sebut saja itu kementerian antiradikalisme," katanya di Gedung MUI, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta, Rabu (23/10/2019).

Seharusnya, tugas Kementerian Agama (Kemenag), bukan memberantas hal semacam itu. Namun, Kemenag memiliki peranan untuk membangun bangsa."Kementerian Agama itu membangun moralitas bangsa, mengembangkan keberagamaan ke arah yang positif konstruktif bagi bangsa, menjaga kerukunan meningkatkan kerukunan kualitas keagamaan, itu fungsi - fungsinya sudah ada sejak kelahirannya," ujarnya. Din meminta Kemenag jangan disalahfungsikan, sebab radikalisme tidak hanya di seputaran keagamaan. Maka, jangan dibelokkan karena antiradikalisme tidak hanya radikalisme keagamaan.

  1. Menteri Kesehatan, Terawan

Sosok Dr. Terawan dipilih Jokowi sebagai Menteri Kesehatan di Kabinet Indonesia Maju. Terawan, dianggap publik kontroversial karena ia pernah diberi sanksi pelanggaran etik kedokteran. Pelanggaran tersebut salah satunya terkait dengan penggunaan metode ‘brain wash’ yang digunakan Terawan untuk mengobati pasiennya.

Kendati demikian, Jokowi menganggap Terawan adalah orang yang memenuhi kriteria sebagai Menteri Kesehatan yakni berpengalaman dalam managemen anggaran dan personalia di sebuah Lembaga. "Saya lihat dokter Terawan dalam mengelola RSPAD memiliki kemampuan itu. Beliau juga ketua dokter militer dunia. Artinya pengalaman track record tidak diragukan," ujarnya. Selain itu, Jokowi menganggap Terawan mampu menangani bencana endemik mengingat wilayah Indonesia rawan bencana yang berpeluang terdapat ancaman penyakit endemik.

  1. Jaksa Agung, ST Burhanuddin

ST Burhanuddin masuk dalam susunan kabinet Jokowi sebagai Jaksa Agung. Namun sejumlah pihak menilai, pemilihan ST. Burhanuddin tidak terlepas karena alasan kepentingan politik tertentu.  Kritik antara lain disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman yang menduga penunjukan itu tak lepas dari faktor kedekatan dengan tokoh PDIP yang juga kakak kandung Burhanuddin yakni Tubagus Hasanudin.

Menurut Boyamin, penunjukan itu tak berbeda jauh dengan jaksa agung periode sebelumnya yakni mantan kader NasDem, M Prasetyo."Kami menyayangkan pilihan Yang Mulia Paduka Presiden Jokowi ini karena berbau politik dan mengulang kembali pemilihan jaksa agung sebelumnya," ujar Boyamin melalui keterangan tertulis, Rabu (23/10).

Boyamin tak menampik kepemimpinan Prasetyo selama periode pertama kental kepentingan politik. Kondisi itu membuat Boyamin menilai penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi menjadi tak mandiri.Seperti diketahui, Burhanuddin merupakan adik dari politisi PDI-P TB Hasanuddin. 

  1. Mendagri, Tito Karnavian

Sosok Tito Karnavian yang sebelumnya merupakan Kapolri ini ditunjuk Jokowi untuk menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Penunjukan Tito menuai banyak pertanyaan publik. Salah satu alasannya, karena Tito dianggap belum bisa mengungkap kasus penyiraman air keras yang dilakukan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Selain ketidakmampuannya mengungkap siapa pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Tito juga disebut-sebut terkait dengan kasus buku merah. Apalagi kasus ini akhir-akhir ini kembali mencuat setelah keluarnya video perusakan barang bukti yang ada di buku merah tersebut.

Warganet dikejutkan dengan beredarnya video dugaan perusakan barang bukti oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Video yang diunggah di akun twitter @tempodotco pada Kamis (17/10) itu memperlihatkan aktivitas sejumlah penyidik KPK di Ruang Kolaborasi, lantai 9, Gedung KPK.

Akun milik Tempo Media Group itu menjelaskan peristiwa dalam video tersebut terjadi pada 7 April 2017 atau empat hari sebelum penyidik senior KPK, Novel Baswedan mengalami penyiraman air keras. Novel diketahui mengalami serangan pada 11 April 2017.Tempo menyebut video tersebut adalah rekaman CCTV  yang diperoleh Indonesialeaks pada pertengahan tahun ini.

Dalam video tersebut diperlihatkan enam orang penyidik KPK, yakni Rufiyanto, Harun, Roland, Mujiharja, Hendri, dan Ardian. Mereka sedang memeriksa beberapa barang bukti berupa buku catatan berwarna merah dan hitam. Saat itulah terlihat dua orang penyidik, yakni Roland dan Harun sedang melakukan perusakan barang bukti dengan cara merobek 15 lembar catatan. Selain itu keduanya juga menghapus beberapa nama penerima uang menggunakan tipp-ex.

Kasus yang dikenal dengan Perusakan Buku Merah ini sempat menjadi perhatian masyarakat. Pasalnya kasus ini melibatkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Muncul dugaan, tindakan Roland dan Harun merusak barang bukti lantaran ingin menghilangkan jejak keterlibatan Tito. Roland dan Harun diketahui adalah penyidik KPK dari unsur Kepolisian.

  1. Menkumham, Yasonna Laoly

Yasonna Laoly, dianggap kontroversial terkait dengan UU KPK yang tercipta pada akhir periode masa pemerintahan Jokowi-JK. Sebelumnya pada periode pertama pemerintahan Jokowi, Yasonna sempat mundur dari posisinya sebagai Menkumham jelang akhir jabatannya karena alasan terpilih sebagai anggota DPR. Dan kini ia terpilih kembali.

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamongan Laoly pernah  disebut menerima uang dari korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012 sebesar 84 ribu Dolar Amerika Serikat. Uang tersebut diterima Yasonna saat dia masih menjadi anggota Komisi II DPR RI bersamaaan dengan pembagian untuk fraksi PDI Perjuangan. Dalam surat tuntutan terdakwa Irman dan Sugiharto, Yasonna menerima dua tahap. Pertama adalah pemberian dari Miryam S Haryani.

"Adapun pembagian uang tersebut kepada setiap anggota Komisi II DPR RI dengan cara dibagikan melalui Kapoksi atau yang mewakilinya yakni diberikan kepada Yasonna Laoly atau Arief Wibowo untuk anggota fraksi PDI P yang diberikan langsung di ruangan kerjanya," kata Jaksa KPK saat membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (22/6/2017).

Namun Yasonna H Laoly membantah telah menerima aliran dana proyek e-KTP. Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Yasonna disebut menerima uang US$84 ribu dari proyek senilai Rp6 triliun itu. Hal ini diungkapkan Yasonna usai diperiksa sebagai saksi bagi tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong di gedung KPK, Jakarta, Senin (3/7).

Para Menteri Terindikasi Korupsi

Selain sarat dengan kontroversi, Kabinet Indonesia Maju yang terdiri dari 34 menteri tidak bisa disebut benar-benar bersih. Sekurang kurangnya ada sembilan nama menteri yang pernah terseret perkara korupsi. Diantara Menteri itu adalah Airlangga Hartarto yang  menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. 

Kisahnya, pada Oktober tahun lalu, Eni Maulani Saragih pernah mengatakan Airlangga Hartarto,  tertarik membantu pengusaha Johannes B Kotjo untuk memperoleh proyek PLTU Riau-1. Rumah Airlangga sempat jadi lokasi pertemuan untuk membicarakan proyek itu, katanya. Eni juga bilang mendapat perintah langsung dari Airlangga untuk `mengawal` proyek ini. Airlangga membantah. Rabu, 26 September 2018, dia mengatakan, "saya tidak pernah memerintahkan kader untuk mencari dana yang tidak benar atau melanggar hukum."

Menteri lain yang pernah disebut dalam sidang perkara korupsi adalah Agus Gumiwang, kini Menteri Perindustrian. Namanya pernah disebut oleh keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi yang duduk di kursi terdakwa, Oktober 2018. Irvan mengaku masih memiliki jatah uang sebesar Rp 5 miliar di tangan Agus Gumiwang. Informasi tersebut menurutnya disampaikan oleh Fayakhun saat berada di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan. Agus Gumiwang tidak bersuara soal tuduhan ini, tapi Fayakhun membantahnya.

Kemudian, pada April 2019, LSM internasional Global Witness merilis laporan tentang bisnis Luhut Binsar Pandjaitan yang menurut mereka "tak terungkap" dan merugikan "kepentingan publik." Transaksi bisnis Luhut disebut melibatkan perusahaan offshore--dalam kasus Panama dan Paradise Paper, memindahkan uang ke perusahaan seperti ini adalah upaya menghindari pajak. Luhut, kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, tidak ambil pusing. Dia mengatakan laporan ini "ngarang".

Ada pula nama Tito Karnavian, kini jadi Menteri Dalam Negeri, yang dicurigai menerima uang korupsi dari Basuki Hariman saat masih menjabat Kapolda Metro Jaya. Kasus ini umum dikaitkan dengan `skandal buku merah`--perobekan barang bukti yang di dalamnya tercantum nama Tito sebagai salah satu penerima duit oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berasal dari Polri. Polisi baru saja mengatakan tidak menemukan "adanya perusakan catatan tersebut."

Menteri lain yang terindikasi adalah Ida Fauziah. Tahun 2014 lalu, untuk mengusut korupsi dana haji, KPK memanggil Ida Fauziah yang saat itu menjabat Ketua Komisi VII DPR RI. Ida, kini menjabat Menteri Ketenagakerjaan, mengatakan saat itu dia hanya "diminta penjelasan tentang peran ketua komisi terkait pengelolaan anggaran haji."

Kolega Ida sesama kader PKB, Abdul Halim Iskandar, kini Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), juga pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus gratifikasi Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman. Halim mengatakan dia "clear" dan "tidak ada masalah" karena hanya jadi saksi.

Yasonna Laoly, yang tetap jadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, juga pernah diperiksa sebagai saksi korupsi KTP-elektronik. Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Yasonna bahkan disebut menerima duit puluhan ribu dolar AS. Yasonna membantah. "Enggak ada cerita itu. Tidak adalah," katanya.

Jika Ida, Halim, dan Yasonna jadi saksi, Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian, berurusan dengan KPK dengan jalan berbeda. Dia dilaporkan ke KPK karena dianggap menyalahgunakan wewenang pemberian izin reklamasi Pantai Losari saat menjabat Gubernur Sulawesi Selatan tiga tahun lalu. Dia heran ada yang lapor ke KPK. "Saya berhak mengeluarkan izin," katanya.

Terakhir adalah Zainudin Amali. Namanya bahkan muncul di dua kasus sekaligus: suap sengketa pilkada yang melibatkan bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan korupsi di SKK Migas. Dia, seperti menteri lain, membantah terlibat. "Enggak ada sama sekali itu," katanya di Istana Negara, Jakarta. Sehari sebelum pelantikan kabinet, Selasa (22/10/2019),

Mungkin karena banyaknya Menteri yang terindikasi korupsi sehingga Presiden Jokowi kali ini tidak melibatkan KPK dalam prosesi pemilihan para pembantunya. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada penyusunan Kabinet Jokowi jilid pertama yang melibatkan KPK dalam proses pemilihannya. Juru Bicara KPK Febri Diansyah membenarkan memang ada menteri-menteri yang "pernah diperiksa KPK sebagai saksi dalam sejumlah perkara terpisah"--tanpa menyebut nama spesifik. "Bahkan ada yang pernah masuk di komunikasi tersangka yang diperdengarkan di persidangan," Febri menambahkan.

Bisa juga munculnya Menteri menteri yang terindikasi korupsi itu karena Presiden Jokowi tidak melibatkan KPK atau tim independen dalam merumuskan kabinet. Sehingga informasi terkait nama-nama yang pernah diperiksa dalam perkara korupsi tersebut tidak sampai ke presiden. Pernyataan bahwa KPK tidak dilibatkan datang langsung dari Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif. "Kami tidak diikutkan, tapi kami berharap yang ditunjuk presiden adalah orang-orang yang mempunyai track record yang bagus," katanya, Senin 14 Oktober 2019.

Bisa dipahami pula kalau KPK tidak dilibatkan karena memang prioritas pembangunan Jokowi adalah "ekonomi, infrastruktur, dan pengembangan teknologi." "Dan pemberantasan korupsi tidak dianggap sebagai faktor untuk mengakselerasi itu bahkan mungkin dianggap sebagai penghambat. Apalagi baru baru ini kekuatan di DPR yang diamini oleh Pemerintah telah sukses merevisi UU KPK yang disebut sebut sebagai upaya untuk mengebiri lembaga anti rasuah itu.

Alhasil kedepan, para Menteri yang akan korupsi diperkirakan akan aman-aman saja. Sebab  dengan pimpinan dan UU baru, rasanya KPK tidak akan menyenggol pemerintah. Karena KPK yang dulu dianggap sebagai macan yang ditakuti oleh para koruptor kini sudah menjadi kucing pasar karena kewenangannya di kebiri.

Koalisi Kabinet Indonesia Maju Bahayakan Demokrasi

Berbeda dengan periode pertama Pemerintah Jokowi dimana oposisi menjadi mayoritas di parlemen sehingga lebih memudahkan Jokowi menata kabinetnya, kali ini justru mayoritas parpol menjadi pendukung Jokowi, bahkan yang awalnya oposisi kini sudah merapat dan menjadi bagian dari Pemerintah Jokowi seperti partai Gerindra.

Koalisi dan kabinet gemuk  memang bisa  berdampak positif di tahun-tahun awal pemerintahan periode kedua Jokowi. Sebab, partai politik dan politisi yang ada di kabinet akan berkompetisi mewujudkan program-program Jokowi demi mendapatkan apresiasi politik.  Selain itu koalisi dan kabinet yang gemuk dapat menguatkan posisi pemerintah selama lima tahun ke depan. Sebab, kritik yang biasa dilancarkan dari kubu oposisi akan jauh berkurang. Selama ini kita melihat Jokowi banyak yang mengganggu. Oleh karena itu dia memperkuat pemerintahannya dengan merangkul kaum oposisi.

Hanya saja, Jokowi bakal menghadapi tantangan menghadapi koalisi dan kabinet gemuk di masa akhir kepemimpinannya. Sebab, partai dan politisi di kabinet berpotensi berjalan sendiri-sendiri demi memuaskan kepentingan masing-masing. Jokowi harus bisa mengkoordinasikan menteri dari partai politik agar tidak merugikan pemerintahannya. Jangan sampai pecah sendiri-sendiri. Tidak mudah menjadi dirijen sebuah kabinet yang gemuk.

Dengan adanya koalisi “gemuk” saat ini maka kebijakan kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat bisa lolos tanpa kendala. Sebagai contoh revisi UU KPK begitu mulus menggelinding tanpa halangan suatu apa, dan Presiden Jokowi tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyikapinya.  Selanjutnya RUU KUHP, Migas, Pertanahan, dan sebagainya juga nyaris menggelinding dengan pola yang sama jika para mahasiswa dan sebagian rakyat tidak bergerak menggeruduk gedung dewan yang terhormat.

Nyaris tak ada perlawanan terhadap kebijakan yang dihasilkan oleh DPR oleh pemerintah maupun partai yang berseberangan. Semua seia sekata seirama untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus menumpuk pundi-pundi tanpa takut terhalangi lagi oleh OTT, semua jadi OTW sesuai rencana. Jokowi yang seolah tanpa beban pada periode kedua ini justru semakin berat beban di pundaknya oleh para partai pendukung alias koalisi yang bakal menggandulinya selama lima tahun ke depan.

Beban pertama sudah jelas, bagaimana mengakomodasi orang-orang parpol di kabinet kerja yang jumlahnya maksimal hanya 34 kursi menteri plus sekitar 20-30 kursi lembaga pemerintah non kementerian.  Konsekuensi Menteri yang berasal dari Parpol adalah para menteri bakal lebih tunduk pada partainya ketimbang membantu presiden.

Mereka akan lebih sibuk mengurusi konstituen partainya melalui kewenangan yang ada di kementeriannya daripada menaati perintah presiden. Pada periode pertama yang masih mengedepankan profesional saja sudah terjadi beberapa kali reshuffle kabinet akibat para menterinya mulai tak sejalan dengan kebijakan presiden, apalagi para periode ini. Presiden mungkin juga tak berani lagi sering melakukan reshuffle karena besarnya tekanan partai, namun dampaknya kinerja kabinet akan menjadi lamban.

Beban kedua adalah kelanjutan mega proyek seperti kereta cepat, jalan tol trans Sumatera, dan lain sebagainya di tengah beban utang yang semakin menumpuk, sementara hasil investasi yang sudah selesai tak seperti yang diharapkan. Jalan-jalan tol yang sudah jadi ternyata sepi pengguna dan hanya ramai saat lebaran dan libur panjang tiba, selebihnya kosong melompong.

Bandara Kertajati tak kunjung naik okupansinya walau sudah ada beberapa kebijakan yang "memaksa" penumpang untuk terbang dari bandara tersebut. Bandara Kulonprogo juga belum mampu menggantikan Adisutjipto karena letaknya yang terlalu jauh dari kota.Hal ini tentu harus menjadi perhatian apakah mega proyek tersebut harus tetap dilanjutkan atau sebagian ditunda dulu.

Pemerintah perlu mengkaji mana investasi yang menguntungkan mana yang tidak, jangan hanya karena keinginan saja. Tidak semua daerah harus dibangun infrastruktur, tapi lebih penting menjaga sumber daya alamnya agar tak terjamah investor yang belum tentu ramah lingkungan. Tidak semua masyarakat membutuhkan infrastruktur, tapi lebih kepada bagaimana hidup bahagia bersama alam semesta.

Beban ketiga adalah tak kunjung menyatunya masyarakat di akar rumput, walau di antara elite sudah saling "potong kue" bersama. Kasus Wiranto kemarin seolah membangunkan ular tidur, bahwa masih ada masyarakat yang belum move on dengan hasil pilpres. Mereka seperti tak peduli para elitnya sudah tertawa riang, sementara grass root masih tetap harus membanting tulang di tengah merosotnya daya beli dan krisis ekonomi global yang sudah mulai terbayang di depan mata. Strategi beliau menggandeng para elite untuk berkumpul dalam satu kubu rupanya sama sekali belum berpengaruh terhadap para pendukungnya.

Beban keempat adalah dominasi partai melalui parlemen dan menterinya sendiri yang akan memasukkan program-programnya dalam kabinet kerja jilid dua, yang belum tentu sesuai keinginan rakyat pada umumnya dan presiden sendiri.  Masalahnya program dari partai A belum tentu sejalan dengan partai B sehingga rawan konflik di antara mereka sendiri untuk menggolkan programnya. Mampukah presiden meredam keinginan partai-partai yang belum tentu sejalan itu?

Beban kelima adalah kasus-kasus pelanggaran HAM yang mungkin tak akan pernah tuntas namun malah bertambah terutama sejak demo dan kerusuhan yang berlangsung akhir-akhir ini. Berbagai pembatasan mulai terjadi seolah kembali seperti zaman orde baru. seperti pembatasan akses internet, pelarangan demo mahasiswa dan pelajar, hingga kekerasan yang terjadi selama demonstrasi. Rasanya sulit berharap banyak terhadap perubahan radikal, apalagi revolusi mental yang seharusnya menjadi ikon gerakan pembangunan SDM yang selama ini digadang-gadang akan dilaksanakan pada periode kedua ini.

Sebagaimana kita saksikan bersama, Jokowi akhirnya menyerah pada kenyataan, mengikuti pendahulunya SBY yang lebih memilih merangkul semua pihak terutama elite politik ketimbang berperang melawan korupsi dan tancap gas seperti pada periode sebelumnya. Seharusnya periode kedua SBY bisa menjadi pelajaran bahwa keinginan merangkul semua pihak justru semakin rawan konflik kepentingan. Cobalah perhatikan di periode kedua beliau justru semakin banyak yang tertangkap oleh KPK dibanding periode sebelumnya.

Hal ini terjadi karena banyaknya kepentingan yang harus diakomodasi sementara ruang gerak mereka semakin sempit. Itulah makanya mengapa revisi UU KPK dipercepat agar tidak mengganggu lagi stabilitas politik di periode kedua seperti yang dialami oleh SBY. Jadi bukannya tak ada beban lagi dalam bertindak, malah justru sebaliknya semakin banyak beban yang harus ditanggung dalam periode kedua pemerintahan beliau.

Beliau tak lagi leluasa seperti periode sebelumnya, bahkan konon menteri-menteri yang terbilang `berani` bakal dilengserkan diganti oleh orang-orang dari partai yang lebih "santun" yang dihasilkan dari koalisi gemuk tadi. Koalisi gemuk yang nyaris tanpa oposisi malah menghasilkan beban besar ketimbang peningkatan kinerja.

Jokowi akan kesulitan dalam mengambil keputusan, khususnya kebijakan yang dinanti-nantikan rakyat, tapi ditentang partai koalisi pendukung pemerintah. Sebagai contoh polemik Perppu KPK. Di satu sisi, Jokowi mempertimbangkan menerbitkan Perppu KPK setelah didemo mahasiswa di sejumlah daerah. Namun, keinginan Jokowi itu justru ditentang oleh sejumlah parpol koalisi pendukung pasangan Jokowi-Ma`ruf.

Ketua Umum Nasdem Surya Paloh bahkan pernah menyingung soal pemakzulan bila Jokowi menerbitkan Perppu KPK. Masalah seperti itu merupakan konsekuensi dari koalisi gemuk pendukung pemerintah. Akibatnya, Jokowi sendiri akan kerepotan mengambil keputusan yang dikehendaki publik, tapi ditentang partai koalisi. Ada banyak kepentingan didalamnya. Jokowi tidak mungkin bisa berdiri sendiri dan pasti kebingungan mengambil jalan tengah dalam sebuah kebijakan.

Tidak hanya itu, sebenarnya ada bahaya lain yang sedang mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini ketika kita melihat kondisi koalisi Indonesia maju, yakni menyeberangnya partai oposan pemerintah seperti Gerindra menjadi salah satu faktornya. Banyaknya koalisi pemerintah di parlemen menjadikan nilai demokrasi tergerus dan membahayakan. Ditambah lagi Presiden Joko Widodo yang menunjuk Prabowo Subianto untuk menjadi Menhan lima tahun ke depan. Fakta itu seolah meniadakan makna pemilihan presiden 2019 yang penuh gejolak sebagai nadi demokrasi.

Presiden memang mempunyak hak prerogatif  untuk menentukan siapa yang akan menjadi Menterinya namun hal itu tidak dapat dimaknai bebas lepas sepenuhnya kewenangan presiden. Pasalnya terdapat rasionalisasi demokrasi, moralitas publik di dalamnya yang harus dicermati sebelum menggunakan hak istimewanya tersebut. Dengan bergabungnya Prabowo ke pemerintahan, otomatis koalisi pendukung Jokowi semakin membengkak sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara integralistik.

Pada dasarnya konsep negara integralistik cukup baik. Namun dengan kondisi politik sekarang ini, hal itu justru membahayakan demokrasi bangsa Indonesia. Model negara integralistik adalah model negara kekeluargaan yang  sangat mengancam demokrasi kita. Dalam hal ini seharusnya Presiden Jokowi tidak perlu mengajak Prabowo ke dalam kabinet. Demikian  juga dengan Prabowo, seharusnya menolak ajakan presiden.

Dengan masuknya Prabowo ke kabinet Jokowi dan ketika mayoritas fraksi di DPR RI menjadi pendukung pemerintah, maka  demokrasi tak akan berjalan dengan baik dan sistem pengawasan atau check and balances hanya akan sekadar formalitas saja. Kekuatan oposisi yang masih bertahan pun akan diredam oleh pemerintah dan parlemen yang saling mendukung. Padahal, dalam kehidupan demokrasi yang sehat, peran kelompok oposisi sangat  dibutuhkan. Karena oposisi bukan hanya sebagai penyerang pemerintah, tapi juga sebagai pemberi alternatif kebijakan.

Jika mayoritas parpol sudah menjadi koalisi pemerintah, maka masalah selanjutnya DPR hanya akan menjadi ruang jual beli kepentingan politis saja. Tidak akan ada dinamika pengawasan kinerja kementerian dan lembaga negara yang independen. Yang akan terjadi kongkalingkong, saling mengamankan, dan jual beli kepentingan. Juga akan semakin menguatkan oligarki dan dinasti politik.

Sebenarnya masih ada harapan oposisi tetap ada jika kubu SBY dengan Partai Demokrat, PAN dan PKS yang memang jelas tidak mendapatkan kursi di kabinet. Tetapi ketiga partai ini juga tidak secara tegas dan berani menyatakan sebagai oposisi pemerintah. Kalau ketiga partai ini bersatu dan konsisten menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif maka mereka bisa mendapat kepercayaan publik yang memang ingin ada partai yang bisa mengkritisi pemerintah. Kerja keras dan konsistensi mereka sebagai partai oposisi akan mendapat panen dari penambahan konstituen dalam pemlu 2024. 

Bila tak ada oposisi,  tak akan ada pengawasan yang objektif lagi dari parlemen terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga yang akan terjadi, semakin tumbuh suburnya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Karena kekuasaan itu akan cenderung korup atau disalahgunakan. Dan kekuasaan yang absolut, maka akan korup secara absolut pula. Menggenaskan dan miris memang. Tapi itulah realita politik Indonesia hari ini!

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar