Agung Nugroho, Ketua Relawan Kesehatan Nasional:

BPJS Amanat Undang-undang, Jangan Dibuat Seperti Asuransi

Selasa, 29/10/2019 19:12 WIB
Agung Nugroho, Ketua Relawan Kesehatan Nasional (Bona Ricki Siahaan/law-justice.co)

Agung Nugroho, Ketua Relawan Kesehatan Nasional (Bona Ricki Siahaan/law-justice.co)

law-justice.co - Masalah kesehatan di Indonesia, rupanya masih dipandang sebelah mata oleh para pemangku jabatan di negeri ini. Lihat saja, masih banyak masyarakat yang sakit, bahkan meninggal karena tidak mendapatkan perawatan yang seharusnya.

Akhirnya terkesan, negara menganggap persoalan kesehatan ini bukan sesuatu hal yang mesti dijadikan prioritas. Padahal kesejahteraan warga negara itu bisa diukur dari tubuh dan jiwa raganya yang sehat.  

Relawan Kesehatan Nasional (REKAN), sebuah organisasi nirlaba yang peduli dengan masalah kesehatan,  melihat persoalan ini sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Berangkat dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, membuat Agung Nugroho yang tak lain adalah Ketua REKAN, bersama kawan-kawannya membuat sebuah wadah yang bertujuan memperjuangkan para warga negara yang tidak bisa mendapatkan hak-haknya, terkait dengan pelayanan kesehatan. Sejak  tahun 2011, organisasi ini menyatakan bahwa kesehatan adalah prioritas mereka.

Kegiatan sosial dengan isu kesehatan menurut Agung memang tidak dianggap seksi seperti isu lain. Namun bagi REKAN memperjuangkan hak rakyat bukan perkara menarik atau tidak, tapi bagaimana manusia mau berjuang untuk sesama dan memiliki tenggang rasa.

Ditemui di sebuah kedai di Jakarta, Agung menceritakan perjuangannya bersama para anggota REKAN dalam mendampingi masyarakat, demi mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Berikut petikannya:

Masalah apa saja yang sering dihadapi oleh Relawan Kesehatan?

Kalau soal permasalahan variatif ya, karakter permasalahannya beda-beda. Kalau di Surabaya, misalnya soal kamar, karena fasilitas rumah sakitnya tidak sebanyak DKI Jakarta. Kalau di Palangkaraya itu soal ruang kebutuhan khusus, seperti ICU, PICU, dan lainnya. Di Papua, lebih ke soal transportasi ke rumah sakit yang masih sulit. Padahal rumah sakit, Papua itu sudah hebat tapi soal transportasinya yang selalu jadi masalah.

Selain kendala fasilitas, sumber daya manusianya ternyata juga bermasalah. Terkait dengan pelayanan itu kan lebih ke soal sikap atau attitude petugas. Kadang soal SOP (Standar Operasional Prosedur) itu hanya selesai di tingkat manajemen, ketika  sampai ke bawah tidak berjalan.

Misalnya seperti di IGD, SOP-nya adalah pasien masuk tidak perlu ditanya soal administrasi, melainkan harus ditangani lebih dulu, sesuai Permenkes No. 856 tahun 2009. Mereka harus dilayani, ditangani keadaan gawat daruratnya, setelah beres baru ditanya soal administrasi.

Tapi SOP tersebut kan banyak tidak berjalan, bahkan di seluruh Indonesia. Kalau mau masuk rumah sakit pasti ditanya dulu administrasinya. Padahal namanya orang sedang gawat darurat belum tentu membawa administrasi, entah itu karena terburu-buru atau panik.

Lalu berikutnya soal dokter, terutama di jam-jam malam, ada dokter yang tidur, bahkan ada yang pulang. Sukurlah di Jakarta itu tidak ada yang seperti itu. Di daerah yang masih sering kita temukan.

Rumahsakit yang melakukan kesalahan, apakah mendapatkan sanksi?

RSUD banyak yang kena sanksi oleh bupati atau walikotanya. Sanksinya itu bermacam-macam, ada yang berupa teguran, peringatan, bahkan sampai mutasi. Tetapi walau begitu, masih saja ada yang melakukan kesalahan.  

Kita juga sering menemukan masalah, misalnya sudah kita vokasi, dan saat kita rasa sudah ditangani dengan baik, ternyata rumah sakit itu kembali membuat masalah. Jadi memang harus diawasi terus.

Kalau ada kasus di sebuah rumah sakit yang viral di masyarakat, selama satu hingga empat hari mereka akan berkerja dengan benar. Tapi habis itu, ya balik lagi ke semula, mempersulit orang untuk mendapatkan pelayanan.

Bahkan saya pernah bilang dalam suatu kesempatan kepada Menkes Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih, jangan-jangan para pegawai rumah sakit mendapatkan pendidikan khusus  untuk mempersulit rakyat. Karena kasusnya sama semua dari Sabang sampai Merauke.

Lalu bagaimana soal pasien umum atau bukan pengguna BPJS? Apakah sama pelayanannya?

Sebenarnya kalau pelayanan sih sama ya, secara SOP. Cuma yang membedakan adalah ketika para petugas rumah sakit itu paradigmanya adalah pasien jaminan kesehatan itu tidak membawa uang tunai untuk membayar biaya rumah sakit. Mereka lalu beranggapan bahwa pasien jaminan kesehatan merugikan rumah sakit.

Satu sisi ada benarnya juga, karena seringnya BPJS terlambat membayar tagihan ke rumah sakit, maka otomatis operasional rumah sakit juga jadi terhambat. Tapi satu sisi, mereka salah juga seperti yang saya bilang tadi, ini kan sebenarnya konflik antara organisasi dengan organisasi, rumahsakit dengan BPJS. Pasien ini kan konsumen, jangan dong pasiennya yang dijadikan pelampiasan ketika permasalahannya ada di penjamin.

Jika kartunya aktif, artinya dia rutin membayar iuran, kewajibannya sudah dijalankan. Dan saat pemegang kartu sakit, haknya untuk mendapatkan pelayanan harus diberikan.

Soal REKAN, sejak kapan organisasi ini berdiri?

Kami berdiri pada tahun 2011. Itu dimulai saat dulu ada wabah TB (Tuberkulosis) di dua Rukun Warga (RW) Semanan. Saat itu kita investigasi dan banyak temuanlah disana. Salah satunya adalah ketidakpedulian warga terhadap warganya yang terkena TB. Sudah batuk tiga minggu berturut-turut, tetapi tidak ada yang mendorong untuk membawa ke rumah sakit. Padahal berobat TB ke puskesmas itu gratis.

Selain tidak peduli, pasien juga merasa malu kalau ada yang tahu dia menderita TB. Akhirnya  sungkan ke rumah sakit. Dari situ kita tergerak, karena melihat hilangnya rasa tepo seliro, rasa peduli. Kita lalu saling berkontak dengan teman-teman di daerah, waktu itu baru ada empat provinsi, yaitu DKI Jakarta, Sumatera Selatan, Papua Barat, dan Sulawesi Utara. Kebetulan kita semua adalah mahasiswa yang menyaksikan pergolakan pada tahun 98,  jadi kami ini sudah jenuh dengan politik.

Februari 2011 kita buat pertemuan di Bogor, setelah berembuk dan disepakati bersama, terbentuklah wadah yang diberi nama Relawan Kesehatan Indonesia. REKAN dideklarasikan pada 10 Desember 2011.  Setelah itu kita demo ke Balai Kota, terkait masalah tidak validnya verifikasi kemiskinan.

Setelah beberapa tahun berjalan, kendala-kendala apa yang masih dihadapi oleh REKAN?

Kendalanya itu kan karena kita semakin besar, semakin banyak kebutuhan, nah untuk memenuhi kebutuhan ini kita susah. Karena apa? Satu sisi kita masih mempertimbangkan apa kita perlu cari pendana atau tidak. Kalau kita cari founding nanti kita diminta untuk memperjuangkan kepentingan mereka, bukan lagi kepentingan kita bersama yang ada di REKAN. Kalau kita mau independen murni, ya berarti kita harus sabar karena kita harus terus menjaga marwah organisasi.

Selama perjalanan REKAN, siapa pemimpin DKI yang sangat peduli terhadap masalah kesehatan?

Kalau menurut kami, saat dipimpin Fauzi Bowo (Foke). Beliau itu kalau ada laporan warga yang dipersulit itu langsung cepat responnya. Pernah di sebuah rumah sakit swasta, ada bayi yang didiagnosa bocor jantung, malam itu juga diminta uang Rp. 50 juta sebagai deposit untuk operasi. Saat itu orangtua sang bayi tidak punya uang, dan orangtuanya minta besok pagi diusahakan tetapi rumah sakit tetap tidak mau. Bayi itu lalu didiamkan saja oleh pihak rumahsakit.

Akhirnya saat itu orangtua mengadu ke kami, lalu kita mediasikan ke rumah sakit, karena saat itu jam tiga pagi, dari mana orang bisa cari duit sebanyak itu. Kalau bisa bayinya ini dilayani dulu, tetapi rumahsakit tetap menolak melayani.

Akhirnya  kasus itu menjadi ramai, karena kita lapor ke Foke. Pukul setengah tujuh pagi disidak oleh Dinkes. Setelah disidak, ternyata rumahsakit itu banyak juga kasusnya, salah satunya soal perizinan. Akhirnya izin rumah sakit tersebut mau dicabut oleh Foke, tapi karena beritikad baik mau mengurus sang bayi, akhirnya dirujuklah oleh mereka ke RSIA Harapan Kita dengan tanggungan biaya oleh rumah sakit swasta tersebut.

Ternyata di Harapan Kita hasil diagnosis bukan bocor jantung, hanya klep jantungnya saja yang belum sempurna nanti seiring pertumbuhan akan sempurna sendiri. Sampai sekarang sudah besar anaknya. Coba bayangkan saat itu kalau ada duitnya terus dioperasi, jadi salah tindakan kan.

Apakah kasus-kasus salah diagnosa itu sering ditemukan oleh REKAN?

Jadi begini, yang namanya pasien belum diberikan hak untuk minta second opinion atau pendapat kedua. Kalau di luar negeri kan diberikan, misalnya pasien ragu akan diagnosa dokter ini maka dia pindah ke dokter yang lain untuk mencari opini kedua. Nah ini kan di Indonesia belum ada, jadi orang berobat ya disitu-situ saja.

Dan semua alat kesehatan di Indonesia tidak ada kalibrasinya. Yang ada hanya spesifikasi alat, standar SNI. Tapi kalibrasinya seperti ketepatan dia digunakan, ambang batas radiasinya masih normal atau tidak, itu tidak ada sama sekali. Karena kita belum ada regulasi yang mengatur kalibrasi alat-alat kesehatan. Sehingga wajar ketika dokter memeriksa dengan menggunakan stetoskop maka hasilnya salah karena tidak pernah dikalibrasi dari awal membeli alat tersebut.

Ketika ada kasus bayi gosong di inkubator karena panasnya kelebihan, itu karena tidak dikalbirasi alatnya. Contoh lainnya di RS Mintohardjo yang menimpa polisi sedang di uap, tabung gasnya meledak yang membuat pasien akhirnya meninggal, itu juga karena tidak dikalibrasi di alat-alat kesehatan. Itu makanya kenapa suka salah diagnosa. Rumah sakit itu berpikir selama alat bisa dipakai ya dipakai terus tidak pernah di cek kalibrasi.

Hal-hal ini yang sering luput untuk dibicarakan, karena masalah kesehatan itu dianggap kurang seksi, lebih seksi soal pilpres, pemilihan menteri atau lainnya. Coba, sangat riskan untuk soal nyawa orang tidak diperhatikan begini. Hanya sebatas soal melihat rumah sakit itu lengkap atau tidak alat kesehatannya. Alat lengkap tapi tidak akurat juga itu berbahaya.

Apa harapan REKAN untuk dunia kesehatan di Indonesia?

Harapan kita, yang pertama agar manajemen pelayanan BPJS diperbaiki, jangan bilangnya jaminan kesehatan tapi prakteknya adalah asuransi kesehatan. Jaminan dengan asuransi itu berbeda. Jaminan adalah kewajiban negara untuk menjamin kesehatan rakyatnya dan asuransi itu adalah kewajiban warga negara untuk melindungi dirinya sendiri.

Jaminan BPJS  adalah amanat undang-undang untuk menjamin kesehatan, sedangkan asuransi kesehatan adalah hak pribadi kita. Makanya jangan terus prakteknya jadi asuransi. Kalau sampai dibuat begitu, nanti yang dipakai kriteria asuransi. Lama-lama semua akan dibatasi misal orang perokok tidak dijamin, yang berat badannya sekian tidak dijamin, yang tingginya sekian tidak dijamin, yang sakit karena pengaruh alkohol tidak dijamin. Nah itu kan jadi asuransi, nanti itu akan jadi masalah dalam jaminan kesehatan.

Lalu yang kedua adalah pemerintah harus lebih fokus untuk menyadarkan dan menyosialisasikan pentingnya kesehatan di tengah masyarakat. Supaya apa? Agar yang namanya penyakit itu bisa dicegah dari dini sejak di lingkungannya. Bagaimana supaya pemerintah bisa membangun aksi partisipasi secara aktif masyarakat untuk melakukan pencegahan penyakit di lingkungannya masing-masing.

Lalu yang tidak kalah pentingnya, pemerintah juga harus menagih peran rumah sakit swasta yang berada di sekitar lingkungan warga. Mereka sudah bisnis bertahun-tahun tapi tidak ada kepedulian mereka kepada lingkungan warga di sekitarnya.

Coba saja cek, pasti di lingkungan sekitar rumah sakit itu lebih buruk. Tingkat penggunaan narkoba tinggi, HIV/AIDS tinggi, DBD  tinggi, TB tinggi; padahal ada rumah sakit swasta disitu. Ya mereka kan berarti cuma bisnis saja. Nah hal-hal seperti itu pemerintah harus tagih. Minimal mereka harus membenahilah kesehatan di sekitar mereka.

(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar