Meski Ditekan Profit Taking, Pasar Keuangan Tetap Menguat

Senin, 28/10/2019 13:45 WIB
Karyawan melintas di dekat monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta - (ANTARA)

Karyawan melintas di dekat monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta - (ANTARA)

Jakarta, law-justice.co - Baik Indeks Harga Gabungan (IHSG) nilai tukar rupiah, hingga harga obligasi semuanya mencatatkan penguatan sepanjang perdagangan pekan kemarin.

Bursa saham acuan Tanah Air tercatat menguat 10 hari beruntun, sebelumnya akhirnya finis di zona merah pada penutupan perdagangan Jumat (25/10/2019), di mana pada pekan lalu total kenaikan yang dibukukan IHSG mencapai 0,98% ke level 6.252,35 indeks poin.

Sayangnya seperti melansir CNBCIndonesia.com, perolehan tersebut tidak dapat membuat IHSG menduduki posisi top 3 indeks saham dengan cuan tertinggi di kawasan Benua Kuning.

Bursa saham utama Ibu Pertiwi kalah dari indeks Straits Times (Singapura) yang melesat 2,29%, diikuti oleh indeks Nikkei (Jepang) dan indeks Kospi (Korea Selatan) yang masing-masing mencatatkan penguatan sebesar 1,37% dan 1,32%.

Kemudian, serupa dengan IHSG, Mata Uang Garuda juga mampu finis di zona hijau dengan membukukan penguatan 0,77%, di mana US$ 1 dihargai pada level Rp 14.030.

Sejatinya, sepanjang pekan lalu, rupiah mencoba menembus level di bawah Rp 14.000/US$. Namun, apresiasi rupiah yang cukup signifikan membuatnya diterpa aksi ambil untung (profit taking).

Sementara itu, harga obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun menguat seiring dengan koreksi imbal hasil (yield) yang tercatat turun 4,4 basis poin (bps).

Untuk diketahui pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitu pun sebaliknya.

Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan resiko dalam satu angka.

Lebih lanjut, euforia penguatan pasar keuangan Indonesia yang dicatatkan sepanjang pekan kemarin didorong oleh katalis positif dari dalam negeri.

Pelaku pasar menyambut baik jajaran "Kabinet Indonesia Maju" yang diisi oleh nama-nama tersohor dari kalangan profesional dan terpilihnya kembali beberapa menteri dengan performa oke pada kabinet Joko Widodo sebelumnya.

Beberapa nama dari kalangan profesional, seperti Pendiri Gojek Nadiem Makarin, CEO NET Wishnutama, serta Pendiri Mahaka Group Erick Thohir.

Sedangkan nama-nama dengan rekam jejak baik yakni, Sri Mulyani, Basuki Hadimuljono, dan Retno LP Marsudi.

Selain itu, hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang kembali memangkas tingkat suku bunga acuan juga memantik aksi beli di pasar keuangan Indonesia

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Oktober 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (24/10/2019).

Suku bunga Deposit Facility juga turun sebesar 25 bps menjadi 4,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,75%.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan diharapkan dapat membantu Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%-5,4% pada tahun ini.

Pasalnya, melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Dengan dipangkas kembalinya tingkat suku bunga acuan oleh BI, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi.

Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsi. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar