Pimpinan Kembali Meminta Peninjauan Ulang Revisi UU KPK

Sabtu, 26/10/2019 07:35 WIB
Ketua KPK Agus Rahardjo dan wakil ketua Basaria Panjaitan (Foto: Robinsar Nainggolan)

Ketua KPK Agus Rahardjo dan wakil ketua Basaria Panjaitan (Foto: Robinsar Nainggolan)

law-justice.co - Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI agar meninjau kembali Undang-undang (UU) No. 19/ 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Revisi UU KPK telah resmi berlaku sejak 17 Oktober lalu. Ada beberapa poin yang dinilai mampu melemahkan upaya penindakan KPK dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Agus Rahardjo berharap, pemerintah dan DPR RI kembali meninjau ulang beberapa poin yang dikemudian hari terbukti mampu melemahkan kerja-kerja KPK.

“Kalau kita memang menginginkan semangat anti korupsi, tolong dipikirkan lagi agar menemukan jalan keluar dan membawa angin segar untuk pemberantasan korupsi,” kata Agus, Jumat (25/10).

Agus mengaku tidak kaget dengan revisi UU KPK, karena memang sudah sejak lama direncanakan oleh pemerintah dan DPR. Namun proses pengesahannya yang relatif cepat membuat pimpinan KPK seolah tidak bisa berbuat apa-apa.

“Usaha merivisi itu sudah lama, bahkan sebelum kami masuk pun usaha itu sudah ada. Tapi terwujud di era (kepemimpian) saya, itu yang kami juga tidak tahu kabarnya karena selesai hanya dalam waktu 13 hari. Itu sangat mengejutkan,” ucap Agus.  

Sementara itu, wakil pimpinan KPK Laode M. Syarif memberi perhatian khusus pada pasal yang mengatur tentang Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3. Pada Pasal 40 ayat (1) UU KPK yang baru, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Pasal 40 ayat (2) menambahkan, penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya SP3.

Laode mengatakan, adanya aturan SP3 bisa menjadi celah lolosnya kasus-kasus korupsi yang membutuhkan waktu penyidikan relatif lama. Misalnya tindak pidana korupsi transnasional, dimana KPK membutuhkan waktu untuk membangun komunikasi dengan otoritas di negara lain.

“Misalnya kasus Petral, Pertamina. Kalau diberi tenggat waktu hanya dua tahun, yang bikin UU itu enggak paham bagaimana susahnya petugas bekerja di lapangan,” kata Laode.

Aturan tentang SP3, lanjut Laode, lebih tepatnya tetap mengacu pada Kitap Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP Pasal 109 ayat (2), SP3 merupakan kewenangan penyidik yang dapat dikeluarkan dengan beberapa syarat seperti tidak memiliki cukup bukti, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, atau tersangka berhalangan tetap/meninggal dunia.

“Seperti kepolisian dan kejaksaan, mengacu pada KUHAP saja. Memang ada kata ‘dapat’ dalam UU KPK, tapi itu menimbulkan intervensi,” ujar Laode.

Karena itu, Laode beharap pimpinan KPK periode berikutnya memiliki kemampuan yang mendalam dalam menangan masalah korupsi lintas negara. Jika tida, perkara besar yang belum selesai dalam jangka waktu dua tahun, berpotensi dihentikan penyidikan dan penuntutannya.

“Kelihatannya hanya diplomasi. Padahal bukan hanya penyelidikan biasa. Meminta suatu negara untuk kooperatif dengan kita itu enggak gampang,” ucapnya.

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar