Juwita Hayyuning Prastiwi:

Penyebab Kemunduran Demokrasi di Indonesia: Pemerintahan Jokowi

Minggu, 20/10/2019 00:01 WIB
Tolak RUU KUHP-Revisi UU KPK, Mahasiswa Demo DPR (law-justice.co/ Deni Hardimansyah)

Tolak RUU KUHP-Revisi UU KPK, Mahasiswa Demo DPR (law-justice.co/ Deni Hardimansyah)

law-justice.co - Dua puluh satu tahun setelah reformasi, peneliti politik Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dari Australian National University di Canberra, Australia, mengatakan demokrasi Indonesia berada pada titik terendahnya. Salah satu penyebab kemunduran terbesar demokrasi Indonesia adalah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. 

Beberapa waktu lalu, Jokowi menyuarakan komitmennya dalam menjaga demokrasi.Tapi pada kenyataannya, banyak kebijakan serta tindakan pemerintah yang represif dan anti-demokrasi dihasilkan di bawah kepemimpinannya.

Diantaranya adalah keputusan Jokowi untuk mendukung pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) walau ditentang banyak pihak.

Sikap aparat keamanan dalam mengamankan aksi demonstrasi di berbagai kota yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP juga diwarnai tindakan represif anti-demokrasi.

Dua mahasiswa tewas setelah bentrok dengan polisi di Kendari, Sulawesi Tenggara; puluhan mahasiswa ditangkap, aktivis ditahan dan bahkan pemerintah akan memberi sanksi universitas yang mahasiswanya terlibat unjuk rasa.

Ini adalah rentetan dari beberapa kebijakan yang muncul pada era kepemimpinan Jokowi, yang telah mengikis demokrasi di Indonesia.

Sinyal-sinyal anti-demokrasi dari Jokowi sebenarnya sudah muncul jauh sebelum peristiwa di atas. Tanda-tanda ini seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak, terlebih masyarakat sipil untuk mawas diri terus menjaga demokrasi. 

Kebijakan Anti-Demokrasi

Beberapa kebijakan Jokowi yang menyumbang pelemahan demokrasi, bisa dilihat sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Perppu tentang ormas yang digunakan pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia, walau benar secara substansi tapi cacat secara prosedur karena mengeliminasi proses peradilan. 

Selain itu, perpres jabatan TNI juga dianggap berbenturan dengan undang-undang (UU) dan semangat reformasi.  

Kekhawatiran masyarakat sipil bukan tanpa sebab. Di masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI menjadi perangkat otoritarianisme yang memfasilitasi banyak pelanggaran HAM dan melanggengkan kekuasaan.

Pada 2019, ditangkapnya beberapa pendukung Prabowo Subianto - lawan politik Jokowi pada masa pemilihan umum - advokat Eggi Sudjana dan pensiunan jenderal Kivlan Zen atas tuduhan makar juga menjadi isu anti-demokrasi. 

Tuduhan makar seperti ini belum pernah dilakukan di masa pemerintahan pasca reformasi, kecuali pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memenjarakan aktivis Filep Karma karena mendukung kemerdekaan Papua Barat.

Pada era Jokowi, banyak tokoh-tokoh aktivis yang dikriminalisasi. Di antaranya seperti Verionika Koman karena tuduhan provokasi insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur; lalu Dandhy Dwi Laksono atas konten tentang Papua yang dia unggah dalam akun Twitter miliknya. Aktivis Ananda Badudu juga sempat ditahan karena mendukung demonstrasi mahasiswa minggu lalu.

Status Demokrasi Indonesia

Demokrasi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,58 poin dari tahun 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017 dan 2018 dalam Indeks demokrasi yang dikeluarkan The Economist Intelligent Unit. Dalam indeks tersebut Indonesia termasuk dalam kategori sebagai demokrasi tidak sempurna (flawed democracy).

Status ini artinya Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang relatif bebas dan adil dan menghormati kebebasan sipil dasar, namun memiliki beberapa persoalan seperti pelanggaran kebebasan media serta persoalan tata kelola pemerintahan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2018, Indonesia juga mengalami penurunan pada indeks aspek kebebasan sipil sebesar 0,29 poin, dan pada aspek hak-hak politik turun sebesar 0,84 poin dibandingkan tahun 2017. 

Kompak Melemahkan Demokrasi

Parahnya, para elit politik, baik yang mendukung pemerintah maupun tidak, terlihat semakin kompak dalam melemahkan demokrasi.

Pada seluruh RUU dan UU yang kontroversial, peta dukungan politik menyebar ke fraksi oposisi yang dimotori oleh lawan politik Jokowi, Prabowo Subianto. 

Ini terlihat dari tidak adanya penolakan dari kubu oposisi terhadap RUU dan UU kontroversial yang dibahas di DPR. Seluruh fraksi setuju.

Mengamankan Demokrasi

Demokrasi memang merupakan suatu sistem yang terus bergerak; ia dinamis dan tidak selalu linear dalam menuju demokrasi yang substantif. 

Karena itu, demokrasi sangat bergantung pada aktor-aktor demokrasi: mulai dari aktor pemerintahan hingga masyarakat sipil.

Angka indeks demokrasi Indonesia yang terus menurun tiap tahun adalah peringatan.

Demokrasi harus diamankan tidak terbatas lewat pemilihan umum, namun juga pada kontrol politik yang terbuka agar kecenderungan tirani mayoritas dapat ditekan.

Juwita Hayyuning Prastiwi, Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Sumber: The Conversation

 

 

 

 

(Liesl Sutrisno\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar