Dalam Ungkap Buku Merah, IndonesiaLeaks Selalu Diincar "Intel"

Jum'at, 18/10/2019 10:15 WIB
Logo IndonesiaLeaks (Twitter)

Logo IndonesiaLeaks (Twitter)

law-justice.co - Baru- Baru Ini Masyarakat dihebohkan dengan Pengungkapan bukti baru kasus yang menyeret Novel Baswedan, Tito Karnavian dan Buku Merah, Kasus Tersebut ditemukan bukti baru karena adanya laporan Indonesialeaks yang dimuat media Tirto dan Tempo soal temuan kasus perusakan "Buku Merah".

Dugaan perusakan barang bukti buku merah itu terjadi di Ruang Kolaborasi lantai 9 gedung KPK, tepat empat hari sebelum Novel Baswedan diserang. "Dugaan perusakan tersebut dilakukan oleh dua penyidik KPK dari kepolisian, yakni Harun dan Roland Ronaldy.

Aksi keduanya terekam CCTV. Selain itu, dalam rekaman CCTV, terlihat ada penyidik KPK lain. Mereka adalah Rufriyanto Maulana Yusuf, Hendry Susanto Sianipar, Ardian Rahayudi, dan Mujiharja," tulis laporan Indonesialeaks.

Indonesialeaks merupakan kanal bagi para informan publik yang ingin membagi dokumen penting tentang skandal yang layak diungkap. Mereka bisa merahasiakan identitas. Prinsip anonimitas ini bertujuan untuk menjamin keselamatan para informan. Rekaman CCTV ini adalah bukti baru perusakan buku merah yang didapatkan Indonesialeaks pada pertengahan tahun ini.

Mengacu pada platformnya di situs Indonesialeaks.id, pembentukannya diinisiasi oleh empat lembaga, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Tempo Institut, dan Free Press Unlimited. Mereka bermitra dengan lima organisasi publik: Auriga, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Indonesia Corruption Watch (ICW), Greenpeace, dan Change.org.

Saat ini ada sembilan media massa yang tergabung dalam keanggotaan Indonesialeaks, yaitu Tempo, Bisnis Indonesia, CNN Indonesia TV, The Jakarta Post, KBR, Liputan6.com, Suara.com, Independen.id, dan Jaring.id. 

Direktur Eksekutif PPMN Eni Mulia menerangkan, kehadiran platform Indonesialeaks merupakan buah dari diskusi bersama para pemimpin redaksi media massa di Indonesia pada Februari 2017. Kesimpulan dari diskusi tersebut menghadirkan wacana untuk membuat sebuah wadah yang mampu menjadi tempat para informan-informan publik yang ingin menjadi Whistleblower (orang yang ingin menjadi pelopor untuk membongkar suatu tindak kejahatan).

Setelah menyusun konsep, Indonesialeaks resmi dilaunching pada 14 Desember 2017. Sejak itu, publikasi dan sosialisasi tidak henti-hentinya dilakukan. Termasuk kepada KPK, yang menyambut baik keberadaan platform tersebut.

“Jadi kami bukan baru kemarin sore terbitnya,” kata Eni.   

Para inisiator memutuskan untuk membuat platform yang mampu menjaga kerahasiaan identitas Whistleblower. Sebab, menurut mereka, informan publik di Indonesia belum aman ketika berusaha membongkar skandal dalam skala yang besar.

“Kita tahu, kasus pajak terbesar di Indonesia diungkap oleh seorang Whistleblower. Tapi akhirnya dia juga mendekam di penjara,” kata Eni, mengacu pada kasus skandal pajak pengusaha Sukanto Tanoto pada 2007 lalu. Saat itu, Vincentius Amin Sutanto yang menjadi seorang Whistleblower.

Abdul Manan menegaskan, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) memberikan hak kepada wartawan untuk menyembunyikan narasumbernya, demi alasan keamanan. Selain itu, wartawan juga punya hak tolak ketika ada pihak-pihak yang meminta pengungkapan narasumbernya.

“Tapi dengan merahasiakan narasumbernya, tanggung jawab dialihkan kepada media. Itu konsekuensinya,” ujar Manan.

Pada setiap liputan investigasi, keamanan narasumber dan jurnalis menjadi perhatian utama. Terutama jika liputannya menyangkut tokoh-tokoh penting. Dalam investigasi skandal Buku Merah misalnya, law-justice.co menerima informasi bahwa kegiatan pihak-pihak yang terlibat sering mendapat pengawasan dari pihak-pihak yang tidak dikenal.

Seperti saat konferensi pers yang dilakukan oleh LBH Pers dan ICW di kantor AJI Jakarta, Senin (8/10/2018) lalu. Pengacara publik LBH Pers Gading Yonggar Ditya mengatakan, siang itu mereka kedatangan dua orang yang mengaku sebagai anggota intelijen dari Polda Metro Jaya.

“Lah gue heran kok intel ngaku. Terus kami tanya bagaimana perintahnya? Dia jawab Cuma disuruh memantau. Lalu kami larang masuk karena yang boleh masuk hanya wartawan,” cerita Gading kepada law-justice.co.

“Tapi kami melihat ada lah satu atau dua intel di dalam yang mengaku wartawan. Kelihatan kan, bisa diidentifikasi. Tapi enggak bisa kami larang karena mereka mengaku wartawan,” tambah Gading.

Sebab itu, Indonesialeaks berkomitmen menjaga anonimitas. Termasuk tidak ada nama-nama yang tertera di platform. Namun ketiadaan nama terang bukan berarti liputan investigasi dari tim Indonesialeaks tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Walaupun informasi dari Whistleblower disampaikan melalui Indonesialeaks, platform itu tidak menerbitkan sama sekali hasil liputan. Beban penerbitan dibebankan kepada media-media yang berkomitmen.

Dalam liputan skandal Buku Merah, awalnya ada tujuh media yang berkomitmen untuk kerja kolaborasi. Tapi akhirnya hanya ada lima media yang menerbitkan hasil liputan tersebut. Dua media lainnya, CNN TV dan Liputan 6, memilih untuk tidak menerbitkannya.

“Tentu saja, keputusan publikasi ada di masing-masing media. Kami menghormati keputusan internal masing-masing redaksi,” ujar Eni Mulia.

Direktur LBH Pers Imam Nawawi menambahkan, lembaga-lembaga yang tergabung dalam Indonesialeaks tidak memiliki kewenangan turut campur dalam urusan redaksi di masing-masing media. Termasuk dalam mengambil keputusan apakah media yang tergabung dalam anggota akan turut serta dalam penggarapan isu-isu tertentu.

Karena itu, tanggung jawab sebetulnya berada di media yang menerbitkan laporan tersebut. Setiap media tentu memiliki struktur redaksi yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. LBH Pers, kata Imam, telah memastikan bahwa awak redaksi dari kerja kolaborasi antar media itu telah sesuai dengan standar kode etik jurnalistik.

(Hidayat G\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar