Kisruh Status Tanah Central Park (Tulisan-3)

Sertifikat Tanah Podomoro Bodong, Ahli Waris Tuntut BPN Batalkan

Kamis, 17/10/2019 21:07 WIB
Poryek Podomoro City (ilustrasi: Republika)

Poryek Podomoro City (ilustrasi: Republika)

Jakarta, law-justice.co - Sengketa tanah di kawasan Tanjung Duren yang kini di atasnya berdiri bangunan mewah milik pengembang Agung Podomoro Land, seperti kawasan serba guna Central Park, Apartemen Mediterania, Neo Soho shopping mall, bahkan kantor Polsek Tanjung Duren, masih menyisakan persoalan pelik. Para ahli waris tanah seluas 12,5 hektar meyakini kepemilikan sertifikat tanah tersebut tidak sah alias bodong. Untuk itu mereka meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera membatalkan sertifikat yang kini dikuasai pihak Agung Podomoro.

“Kemauan kita ringan saja, agar BPN melaksanakan putusan pengadilan dengan membatalkan sertifikat itu. Kita tidak minta dimediasi atau dibayar. Sertifikatnya Podomoro batalkan saja dulu. Masalah itu dibayar atau tidak, itu urusan nomor dua. Yang penting batalkan dulu. Kalau gak mau batalkan, ya bayar,” kata Agus, salah seorang kerabat ahli waris saat menemani mereka menyambangi kantor Law-justice.co beberapa waktu lalu.

Putusan pengadilan yang dimaksud adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat no. 350/Pdt.G/2001/PN.JKT.BAR, tanggal 16 juli 2002. Dalam putusan yang diperkuat Putusan PK Mahkamah Agung RI no. 320 PK/PDT/2007, tanggal 17 Desember 2007, disebutkan: sertifikat-sertifikat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tanah tersebut seharusnya dikembalikan kepada ahli waris.

“Itu sudah inkracht atau memiliki kekuatan hukum tetap,” kata Agus, kerabat dari ahli waris mendiang Munawar bin Salbini.

Putusan pengadilan juga menyatakan, bahwa: “tanah-tanah hak Penggugat (ahli waris) yang merupakan peninggalan dari Alm. Munawar Bin Salbini dan Alm. Naseri bin Munawar selama hidup, mendiang H Munawar bin Salbini dan Naseri bin Munawar maupun para penggugat, tidak pernah dialihkan kepada siapapun baik sebagian maupun seluruhnya.”

Para ahli waris datang ke redaksi Law-justice.co setelah membaca liputan investigasi kami tentang sengketa tanah Central Park. Barangkali istilah mestakung atau seMesta menduKung tepat menggambarkan bagaimana perjumpaan kami dengan ahli waris. Mereka mengaku sebenarnya belum ingin berbicara kepada pers karena masih mengupayakan jalur penyelesaian lain. Tetapi karena sudah terlanjur ditulis, mereka pun merasa perlu merespons.

“Tulisan muncul, saya langsung kumpul sama ahli waris. Ini belum waktunya kita nyerang, tapi sudah diserang duluan. Ya sudah, kita ke sana (kantor redaksi Law-justice.co) saja,” jelas salah seorang wakil ahli waris. Mereka yang datang adalah anak-anak dari istri pertama dan kedua almarhum Munawar bin Salbini. Menurut Agustina Munawar, putri istri kedua almarhum Munawar bin Salbini, mereka kembali bangkit ‘bergerak’ sejak November tahun lalu. Belasan tahun berjuang untuk mendapatkan kambali hak waris, namun selalu kandas.

“Sakit, sakit sekali,” kata Agustina atau biasa disapa Ibu Titin. “Keluarga ini sudah ‘berdarah-darah’ memperjuangkan hak, namun terus saja dikalahkan.”

 

Ibu Titin (berkerudung hijau, ketiga dari kanan) (foto: Deni Hardimansyah/Law-justice.co)

Menyadari bahwa yang mereka hadapi adalah kekuatan besar, para ahli waris yang kini berjumlah 48 orang memutuskan untuk menggandeng ormas keagamaan Nahdlatul Ulama. Kebetulan juga keluarga Munawar sejak dulu sudah terdaftar sebagai anggota NU. “Bapaknya kan menghibahkan masjid untuk NU, lokasinya di samping Central Park. Namanya Masjid Al Munawaroh. Ini masjidnya keluarga ini yang dihibahkan,” kata Agus.

Masuknya NU untuk membantu menyelesaikan masalah sengketa tanah Central Park ini dibenarkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Eman Suryaman. “Saya ditugaskan langsung oleh Ketua Umum KH Said Aqil Siraj untuk membantu meneyelesaikan masalah ini,” katanya kepada Januardi Husin dari Law-justice.co.

“Kejahatan itu ada di BPN”

Penyelesaian kasus tanah Central Park sebenarnya tidak rumit dan tak perlu berlarut-larut seandainya semua pihak tunduk pada putusan pengadilan yang menyebut bahwa tanah di kawasan Tanjung Duren tidak pernah dialihkan kepada siapapun. Ahli waris juga mengklaim tidak pernah menerima bayaran atas tanah yang kini dikuasai Agung Podomoro. Sayangnya, BPN yang seharusnya mengeksekusi putusan pengadilan justru menerbitkan sertifikat HGB atas nama Agung Podomoro. Posisi BPN di kasus ini lemah dan tidak netral.

“Jadi, kejahatannya itu ada di BPN,” tegas Ibu Titin. Menurutnya BPN sebagai pihak tergugat justru melawan putusan pengadilan dengan menolak mencabut sertifikat HGB.

“Kan, tinggal dipanggil saja semua yang bersangkutan, ditanya sudah bayar atau belum? Kalau sudah bayar, mana buktinya. Yang jelas, itu tanah sudah dibangun tapi ahli waris merasa belum dibayar. Kan zalim namanya itu. menempati haknya orang lain yang belum dibayar,” kata Eman Suryaman.

Saat awak Law-justice.co mengonfirmasi kepada pihak Agung Podomoro soal status tanah Central Park, mereka menyangkal melakukan pelanggaran. Menurut corporate secretary Justini Omas yang disampaikannya via WhatsAPP kepada Yudi Rachman dari Law-justice.co, “Podomoro bukan merupakan pihak dalam perkara tersebut. Sebagai perusahaan publik, APLN (Agung Podomoro) selalu menjalankan bisnis sesuai tata kelola perusahaan yang baik dan patuh terhadap regulasi yang ada.”

Mereka menegaskan tanah milik APLN di Tanjung Duren, Jakarta Barat, diperolehnya melalui prosedur pengalihan yang sah dan perusahaan telah memiliki bukti kepemilikan yang sah. “Seluruh transaksi yang dilakukan APLN telah mengikuti perundang-undangan yang berlaku dan setiap tahun telah diaudit oleh lembaga independen dengan standar internasional.”

Jika yang dimaksud bukti kepemilikan tanah oleh Agung Podomoro adalah sertifikat HGB yang diterbitkan BPN, maka ahli waris menegaskan itu tidak sah. Karena penerbitan sertifikat tersebut tidak ada dasar hukumnya. Oleh sebab itu mereka menuntut agar sertifikat tersebut dibatalkan. Apalagi tanah-tanah tersebut masih terdaftar di BPN sebagai milik keluarga H. Munawar bin Salbini. Tidak pernah sekalipun dialihkan kepemilikannya kepada siapapun, baik sebagian maupun seluruhnya.

“Jadi, mau diutak-atik kayak gimana, verponding masih di tangan kita. BPN aja belum mengubah. Itu aja kuncinya,” kata Titin.

 

Kantor BPN di Jakarta (foto: rumah)

Keterangan ini dikuatkan seorang sumber yang juga pejabat di lingkungan BPN. Dia mengatakan BPN secara internal telah melakukan tiga kali gelar kasus tanah Central Park. “Itu (ahli waris) sudah menang.” Dia bahkan menyarankan agar para ahli waris berpegang teguh pada posisi saat ini. “Sudah, pokoknya jangan diubah-ubah. Itu saja,” jelasnya. Seorang staf di bagian arsip kantor BPN pun menguatkan hal itu. Menurut sumber yang mengetahui masalah ini, sang pegawai tegas mengatakan bahwa belum pernah terjadi mutasi kepemilikan tanah di Tanjung Duren. “…saya mau dikasih duit berapapun, tidak mau mengubah nama selain Pak Munawar. Karena memang belum pernah terjadi mutasi,” tuturnya sebagaimana dikutip dari seorang narasumber.

Anehnya, meski belum pernah terjadi pemutasian kepemilikan tanah di Central Park, BPN sudah menerbitkan sejumlah sertifikat kepada Agung Podomoro. Inilah yang mengusik para ahli waris karena siapapun tidak berhak untuk mengubah nama kepemilikan tanah di Tanjung Duren tersebut.

Apalagi hal itu ditegaskan dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk perkara No.350/PDT.G/2001/PN.JKTBAR, tanggal 16 Juli 2002. Ini adalah perkara gugatan ahli waris kepada sejumlah pihak yang mengklaim atas tanah Tanjung Duren tersebut. Pihak tergugat ada tujuh, yakni PT SInar Slipi Sejahtera, Gubernur DKI, Kepala BPN, PT Bank Dewa Rutji, PT Bapindo, BPPN, dan PT Ray Wahid Lelang.

Dalam putusan pengadilan tersebut jelas dinyatakan bahwa tanah yang terdaftar sebagai Verponding Indonesia itu adalah milik penggugat atau ahli waris Munawar bin Salbini. “…tanah penggugat merupakan peninggalan dari Alm. Munawar bin Salbini dan Alm. Naseri bin Munawar. Selama hidup mendiang H. Munawar Bin Salbini dan Naseri Bin Munawar, maupun para penggugat, tidak pernah mengalihkannya kepada siapapun, baik sebagaian maupun seluruhnya.”

 “BPN Itu kan sebenarnya turut tergugat, tapi tidak pernah melaksanakan putusan pengadilan. Malah melawan putusan pengadilan,” kata salah seorang kerabat ahli waris yang enggan disebutkan namanya.

Bertemu Sofyan Djalil

Menurut Eman, dirinya sudah dua kali bertemu Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Kepala BPN, mempertanyakan status tanah Central Park. “Belum lama ini, beberapa bulan lalu.”

Hal itu diakui sang menteri. “Pak Eman pernah datang, tapi itu masalahnya kan saya belum tahu,” katanya kepada Bona Siahaan dari Law-justice.co.

Ketua PB NU Eman Suryaman juga mengaku sudah bertemu salah satu direktur di BPN. “Katanya, mereka mau bantu untuk dipelajari dulu dan ditindak lanjuti, supaya segera selesai. Memang harus segera, saya bilang…Tanah itu belum dibayar, sudah dipakai dan tiba-tiba terbit sertifikatnya. Kalau tidak bayar, segera dibatalkan sertifikat milik APLN (Agung Podomoro Land) yang ada sekarang ini,” imbuhnya.

Terkait tanah Central Park, Sofyan Djalil menyangkal akan ada pembatalan sertifikat Agung Podomoro. “Siapa bilang (ada pembatalan). Belum, belum ada…ya arah ke situ.”

Ini tentu bertentangan dengan putusan pengadilan yang jelas-jelas menyatakan agar BPN mencabut atau membatalkan sertifikat HBG tanah di Tanjung Duren tersebut.

“Itu pun tidak dilaksanakan, (yang terjadi) malah dia (BPN) terbitkan lagi yang baru. Kan gila, padahal kan keputusan pengadilan itu tidak memiliki kekuatan hukum. Kan seharusnya dibatalkan mengikuti putusan pengadilan,” kata seorang sumber Law-justice.co yang mengerti duduk perkara ini.

Lalu, bagaimana BPN bisa menerbitkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) no. 2457, 2696, 2996 atas nama PT Sinar Slipi Sejahtera berserta turunan dan pecahan – pecahannya atas nama PT Tiara Metropoitan Jaya serta sertifikat no. 2845 yang dipecah menjadi sertifikat HGB no. 227, no. 228 atas nama PT Bank Dewa Rutji beserta turunan dan pecahan-pecahannya atas nama PT Tiara Metropolitan Indah. Sedangkan ahli waris merasa tidak pernah mengalihkan kepemilikan tanah tersebut. Lalu, apa dasarnya penerbitan sertifikat HGB itu?

Law-justice.co berupaya menghubungi pihak terkait termasuk BPN dan Agung Podomoro, namun tidak mendapat jawaban memuaskan. Untuk itu, menurut Eman Suryaman pihak-pihak bersengketa sebaiknya dipanggil untuk menjelaskan duduk persoalan. “Jika benar tanah tersebut sudah dibayar, mana buktinya.” Masalahnya, menurut Eman kendalanya justru adanya keberpihakan dari pemerintah, dalam hal ini BPN.

 

Eman Suryaman, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) (Foto: Januardi Husin/Law-Justice.co)

“BPN harus segera membatalkan sertifikat yang sudah dimiliki oleh Agung Podomoro. Kalau tidak mau dibatalkan, ya bayar itu harga tanahnya. Simple saja sebetulnya.” Ini terkait penegakan hukum. “Ada hak orang yang dicuri harus ditegakkan hukumnya. Sekarang sudah menang, ya dikembalikan haknya kepada pemilik tanah itu. Atau dibayar.” kata Eman.

Berapa bayarnya? Sesuai Putusan pengadilan Pengadilan Negeri Jakarta Barat no. 350/Pdt.G/2001/PN.JKT.BAR, tanggal 16 juli 2002 yang diperkuat Putusan PK Mahkamah Agung RI no. 320 PK/PDT/2007, tanggal 17 Desember 2007, disebutkan: “Penggugat…menuntut bunga sebesar 6% per tahun dari harga tanah dengan perhitungan: Harga tanah saat ini di lokasi tanah sengketa Rp. 8.000.000 per m2. Harga seluruh tanah = 120.499 x Rp. 8.000.000 = Rp. 963.992.000.000.” Atas dasar perhitungan tersebut pihak ahli waris mengklaim total ganti rugi yang harus dibayar pihak Agung Podomoro sampai dengan hari ini menjadi Rp 1,9 triliun. Angka itu sudah termasuk denda 6% per tahun selama 17 tahun.

“Itu putusan pengadilan loh, yang tidak pernah ditengok oleh mereka,” kata Titin.

“Kalau mau, gelar perkara saja. Silakan dibuka. Kan sudah menang di pengadilan. Sudah inkracht,” kata Eman yang juga bertindak sebagai pemegang kuasa ahli waris.

Saat ini sebagian keluarga besar almarhum Munawar bin Salbini hidup memprihatinkan. Ibu Titin sendiri tinggal di sebuah rumah bersama 3 keluarga lain, sebagian sudah yatim piatu. Di antara mereka ada juga yang sakit-sakitan, bahkan menderita down syndrome. “Kumpul di situ, ada yang sakit, ya sakitnya kayak apa ya Pak. Kayak idiot kayak gitu,” kata seorang kerabat. Sebuah ironi kehidupan. Ahli waris tanah Central Park yang valuasinya kini sudah mencapai Rp 6,5 triliun, justru hidup penuh keprihatinan.

Ahli Waris Hidup Memprihatinkan

Nasib ahli waris tanah seluas 12.5 hektare di kawasan Tanjung Duren sangat mengenaskan. Mereka hidup di gang dengan lebar 3 meter  di kawasan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Berada di pemukiman padat, belakang Universitas Trisakti dan berjarak 150 meter dari terminal Grogol.

Salah satu ahli waris, Agustina Munawar atau Ibu Titin mengatakan, dirinya hidup bersama 3 orang saudara kandungnya. Tinggal di rumah dengan luas sekitar 200 meter persegi. Rumah bergaya lama itu memiliki 4 kamar tidur. Bercat putih, di pintu masuk, ada tangga berundak, karena daerah tersebut rawan banjir sehingga posisi rumah lebih tinggi 100 sentimeter dari muka jalan.

"Tinggal di Tawakal ini sudah lama, untuk istri kedua. Untuk istri pertama di seberang dekat empang bahagia," jelasnya.

Cat bangunan berwarna putih, di selasar depan terdapat sedikit tanaman hias menggantung di pagar. Tidak ada perabot mewah terlihat di rumah tersebut. Hanya ada kursi tamu, itu pun seperti sudah lebih dari 5 tahun tidak diganti kainnya. Ada lukisan foto H. Munawar dan Istri di ruang tamu utama dan hiasan dinding bermotif kupu-kupu.

 

Sebagian ahli waris mendiang Munawar bin Salbini (foto: Deni Hardiansyah/Law-justice.co)

Memasuki area tengah rumah hanya ada kursi panjang tua terbuat dari kayu yang terlihat antik dan sudah lama dan televisi tabung. Terdapat foto hitam putih H. Munawar menggunakan peci dan jas. Sekilas wajahnya mirip dengan proklamator Ir. Soekarno. Di ruang tengah terdapat dua kamar dan langsung bersebelahan dengan dapur.

Tanah yang kini dikuasai PT Agung Podomoro Land Tbk, dulunya milik Munawar, seorang tentara divisi intelijen yang menjadi kepercayaan Presiden Pertama RI Soekarno. Agustina Munawar mengatakan, tanah yang ditempatinya kini, dulu sering dikunjungi oleh Ir. Soekarno, Jendeal Polisi Hoegeng dan beberapa petinggi kepercayaan Ir. Soekarno.

"Dulu Hoegeng dan Gubernur Jakarta sering datang ke sini. Berdiskusi untuk pembangunan dan pengamanan," ujarnya.

Bahkan kata dia, tanahnya yang dulu dikuasai oleh PT Podomoro Land Tbk, sering digunakan bapaknya untuk menampung pasukan-pasukan yang akan berangkat ke daerah.

"Jadi dulu, kalau ada polisi atau tentara mau dikirim ke daerah, di Tanjung Duren dulu dikumpulkan, disamarkan dari perhatian Belanda. Setelah aman baru diberangkatkan ke daerah,"ungkapnya.

Menurut Agustina, untuk menghidupi keluarganya, terpaksa tambal sulam. Beberapa tanah warisan ayahnya sudah dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“Dulukan tanah bapak saya ada di beberapa tempat. Kita jual untuk biaya hidup,” jelasnya.

Sekarang, di rumah itu hanya mengandalkan penghasilan dari anak-anaknya yang menjadi PNS dan pegawai swasta.

Di rumah itu juga mengasuh, anak-anak dari keturunan Munawar lainnya yang berkebutuhan khusus. Ada anak dari adik Agustina Munawar yang berkebutuhan khusus, ada juga yang stroke dan harus menjalani cuci darah seminggu sekali.

Kontribusi laporan: Yudi Rachman, Bona Siahaan dan Januardi Husin

(Tim Liputan Investigasi\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar