Riset: Buzzer Ancam Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi
Pasukan siber atau buzzer (Jakartaberita.com)
Jakarta, law-justice.co - Kehadiran Buzzer (pendengung) atau pasukan siber di Indonesia yang sengaja membelah opini publik ternyata bukan omong kosong belaka.
Dalam riset terbaru dari Oxford Internet Institute (OII) tentang disinformasi–informasi palsu yang sengaja dibuat dan disebar untuk menipu banyak orang–dalam skala global dan manipulasi informasi di ruang media sosial menunjukkan bahwa di Indonesia ada partai politik dan politikus serta kontraktor swasta membentuk pasukan siber.
Paradoks media sosial
Fenomena global
Ada dua konsep yang harus dibedakan antara pasukan siber dan pendengung (buzzer) dan bagaimana mereka bekerja mengancam demokrasi.Konsep pertama mengacu kepada lembaga yang terorganisasi dan penggunaan strategi untuk melakukan propaganda disinformasi. Sedangkan pendengung merupakan orang terkenal dan punya banyak pengikut yang dibayar untuk menyebarluaskan propaganda melalui media sosial.Hal ini menjadi fenomena global, bahkan terjadi di negara demokrasi maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.Kiprah mereka dalam ruang media sosial terjadi di 70 negara, termasuk Indonesia, pada 2017 dan 2018.Temuan riset Oxford menunjukkan propaganda via media sosial ini dijalankan secara terorganisasi oleh pasukan siber di lima platform sosial media yang berbeda: Facebook, Twitter, YouTube, WhatsApp, dan Instagram.Gugus tugas siber ini dibentuk oleh lima kategori organisasi: pemerintah, politikus dan partai politik, kontraktor swasta, lembaga nirlaba, dan individu dan tokoh berpengaruh (influencer). Pasukan siber ini kemudian menggunakan akun media sosial palsu baik yang berbentuk manusia, algoritme robot (bot), gabungan manusia dan algoritme robot (cyborg), dan akun hasil peretasan. Dari akun-akun inilah propaganda dikemas dan dikelola untuk kepentingan mengarahkan opini dan pengetahuan publik.Pesan propaganda ditujukan untuk: (1) kampanye pro-pemerintah atau pro-aktor politik, (2) menyerang oposisi, (3) mengalihkan isu, (4) memecah masyarakat, dan (5) menekan partisipasi melalui serangan terhadap individu.Selain menciptakan pesan yang efektif untuk propaganda, pasukan siber menggunakan lima strategi berbeda untuk mencapai tujuan komunikasinya:a. Menciptakan disinformasi dalam bentuk meme, video, situs berita palsu, dan manipulasi konten media untuk menyesatkan publik.b. Secara massal melaporkan sebuah konten atau akun (mass reporting) dengan tujuan sebagai sebuah sensor agar konten atau akun ditutup oleh pengelola platform.c. Internet troll (trolling) atau meretas identitas sebuah akun dan menyebarkan informasi personal akun tersebut kepada publik (doxing).d. Menggunakan data (data-driven), pasukan siber menargetkan segmen pengguna tertentu dengan bantuan hasil analisis data, sehingga disinformasi bisa semakin efektif.e. Amplifikasi pesan, yakni pasukan siber berfungsi untuk membuat sebuah pesan menjadi topik pembicaraan di sosial media, misalnya dengan mempromosikan tagar agar menjadi populer.Tingkat propaganda
Strategi pesan dan komunikasi yang tepat akan menentukan keberhasilan sebuah propaganda. Apalagi ketika organisasi pelaku memiliki kapasitas tinggi untuk melakukan kegiatannya, terutama ketika pasukan ini berbentuk permanen dan memiliki dukungan infrastruktur dan pendanaan yang memadai.Sebagai contoh, negara otoritarian, baik yang berbentuk monarki seperti Arab Saudi atau republik seperti Cina, yang membentuk pasukan siber secara formal dan permanen akan memiliki tingkat probabilitas keberhasilan yang tinggi dalam menjalankan propaganda.Hal inilah yang menjadi kekhawatiran global, bahwa media sosial digunakan oleh rezim otoriter untuk menekan perbedaan dalam opini publik demi melanggengkan kekuasaan. Kebebasan berekspresi juga terancam karena pendapat yang berlawanan dengan pemerintah diserang balik dengan disinformasi dan akun media sosialnya diretas dan disebar.Dalam konteks Indonesia, tingkat manipulasi propaganda di Indonesia masih dalam kapasitas rendah karena pelaku utama bukan negara. Tipe karakteristik pesan dan strategi komunikasi belum mencapai tingkat yang kompleks, sehingga sebenarnya masalah ini masih bisa diantisipasi oleh negara dan publik.Pentingnya literasi
Pendidikan politik dan literasi informasi bisa menjadi kunci untuk memerangi propaganda melalui sosial media. Selain itu aktor-aktor politik, baik politikus maupun partai politik, harus bisa menahan diri untuk tidak mengerahkan pasukan siber untuk memenangkan perebutan kekuasaan dalam pemilu.Saat ini perusahaan pemilik platform sosial media secara global melakukan tindakan preventif dengan menutup akun-akun palsu, termasuk di Indonesia.Upaya bersama dari masyarakat, pemerintah, dan pengelola sosial media menjadi keniscayaan untuk membuat ruang sosial media menjadi arena diskursus rasional, dan bukan alat propaganda politik.
Share:
Tags:
Komentar