ICW Temukan Potensi Kecurangan dalam Aktivitas BPJS

Senin, 14/10/2019 21:02 WIB
BPJS Kesehatan (Kiblat.net)

BPJS Kesehatan (Kiblat.net)

Jakarta, law-justice.co - Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan potensi praktik fraud (kecurangan) yang dilakukan pengguna, pihak pendukung, dan penyelenggara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Temuan ini didapatkan dari sejumlah riset yang dilakukan lembaga antikorupsi independen tersebut sejak 2017 hingga 2019. Dalam penelitian itu, ICW fokus pada tiga sisi praktik fraud setiap tahun, yakni pada pelayanan, dana kapitasi dan tata kelola obat.

Melansir dari CNN Indonesia, peneliti ICW Dewi Anggraini menyatakan praktik fraud dilakukan sejumlah pihak seperti oleh pengguna Kartu Indonesia Sehat (KIS), pihak puskesmas atau rumah sakit, maupun penyedia obat.

"Di 15 kota, temuannya hampir sama, jadi kami menemukan ada 49 jenis fraud yang dilakukan oleh pasien,FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama), FKTL (Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut), BPJS, dan penyedia obat," kata Dwi dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2019).

Dwi menjelaskan kasus ini merupakan gunung es yang terjadi di sebagian besar puskesmas di Indonesia. Menurutnya pada 2016, diperkirakan 9.767 puskesmas dan FKTP lainnya di Indonesia menerima dana kapitasi sebesar Rp13 triliun.

Besarnya dana ini, lanjut Dwi mendorong kesempatan bagi para pejabat dan pemegang wewenang untuk melakukan manipulasi.

Dwi menjelaskan sejumlah praktik fraud ditemukan terlalu kompleks, seperti pada bagian pendataan yang tidak valid dan akurat. Pada 2017, ICW menemukan banyak peserta yang mestinya tidak masuk kategori penerima bantuan iuran (PBI) malah dapat menggunakan hak PBI atau sebaliknya.

Pada 2018, Dwi menemukan potensi fraud yang dilakukan oleh pihak puskesmas, mulai dari kepala bendahara puskesmas, kepala dinas kesehatan, bahkan kepala daerah.

"Kita lihat 2018, kami melakukan kajian awal mulanya karena ada OTT (operasi tangkap tangan)," ungkapnya.

"Dana kapitasi korupsinya karena anggarannya begitu besar juga terus terjadi, tidak ada perbaikan, tidak ada tindak lanjut hanya diterima laporannya begitu saja," jelasnya.

Sementara itu, pada 2019, Dwi juga menemukan praktik fraud di sisi tata kelola obat. Hal ini ditemukan dari riset di 4 kota yakni Banda Aceh, Medan, Banten dan Blitar.

Penyebab kekosongan obat di empat kota itu, menurut Dwi, adalah lambatnya distribusi obat oleh perusahaan farmasi, penyusunan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) yang tidak sesuai dan hutan fasilitas kesehatan (faskes). Dwi juga menyebut potensi fraud pada sisi tata kelola obat sangat kompleks bermula dari perencanaan, pengadaan hingga pengelolaan.

"Pemantauan ICW ada di empat daerah, dan dari empat ini menyatakan hampir di semua pemantauan yang dilakukan obat itu selalu selalu harus membeli," ujarnya.

"Dari harga Rp10 ribu sampai Rp750 ribu, itu rata-rata uang yang harus dikeluarkan oleh pasien," tambah dia.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar