Aris Santoso, pengamat militer

Jabatan Sipil untuk Perwira TNI

Senin, 14/10/2019 14:59 WIB
Salam komando (Laras Post)

Salam komando (Laras Post)

Jakarta, law-justice.co - Dalam pidato memperingati HUT TNI pada beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menjanjikan akan menyediakan 60 jabatan baru bagi pati, dan sejumlah jabatan lagi bagi perwira berpangkat kolonel.

Pada pidato tersebut memang belum dijelaskan secara eksplisit apa saja posisi dimaksud.

Namun bisa jadi dari sekian jabatan itu, tidak semuanya masuk dalam struktur TNI, ada juga jabatan untuk lembaga atau instansi di luar TNI. Rasanya tidak mungkin, 60 posisi untuk pati tersebut diproyeksikan seluruhnya struktur TNI. Pada tahun ini TNI sudah membentuk dua satuan baru, yakni Komando Operasi Khusus (Koopssus) dan Kogabwilhan, yang unsur pimpinannya akan diisi oleh sejumlah pati. Namun tetap saja akan ada kelebihan pati, yang perlu penempatan, agar karier dan potensi pati tersebut tidak mandeg.

Salah satu caranya adalah dengan menempatkan pati (atau kolonel) pada posisi lembaga sipil. Sekitar dua hari setelah Hari TNI, tepatnya pada tanggal 7 Oktober lalu, Menteri PAN dan RB Komjen (Pol) Syafruddin, menerbitkan surat edaran soal kesetaraan pangkat anggota TNI yang akan menduduki posisi yang biasa diisi ASN. Semisal untuk pati bintang tiga, itu setara Pembina Utama, dan masuk eselon I, demikian seterusnya. Surat edaran itu bahkan sampai mengatur kesetaraan pada anggota TNI dari pangkat tamtama (prajurit dan kopral).

Kompetisi sejak dulu

Ketegangan atau kompetisi antara personel militer dan sipil dalam distribusi jabatan strategis sudah terjadi sejak lama. Terlebih di masa Orde Baru, keterlibatan figur militer dalam posisi di luar struktur Mabes TNI/Polri begitu besarnya, hingga nampak tak memberi ruang bagi ASN (d/h pegawai negeri sipil) yang sudah sedari awal membina karier di lembaga dimaksud untuk mencapai posisi puncak.

Kita bisa paham sekarang, bahwa sejak lama pihak TNI sebenarnya sudah mengetahui adanya kegelisahan tersembunyi dari pihak ASN (organik lembaga) tentang dominasi perwira militer di lembaga sipil. Kekhawatiran itu terjawab ketika pemerintahan Presiden Jokowi pada April tahun 2017, menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

Dengan terbitnya PP tersebut, perwira TNI menjadi tidak seleluasa era-era sebelumnya memasuki jabatan-jabatan sipil, terkecuali pada posisi pimpinan lembaga yang memang sudah diatur dalam UU TNI, misalnya Kepala BIN, Kepala BNPT, Kepala BNN, Kepala Basarnas, Kepala BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), dan seterusnya, yang secara tradisional memang selalu dipegang perwira (tinggi) TNI aktif. PP No.11 bisa pula ditafsirkan sebagai cara rezim Jokowi untuk mereduksi peran TNI di luar barak, yang sebelumnya nyaris tanpa batas. Namun kenyataan di lapangan lebih kompleks: masih saja terjadi ketergantungan dari masyarakat sendiri (utamanya politisi sipil) pada figur militer. Dengan kata lain, memang ada ruang yang disediakan bagi figur militer. Khusus bagi politisi sipil, bahkan tendensi ini sudah jadi sindrom: mereka kurang percaya diri bila tidak melibatkan figur perwira tinggi.

Terbitnya PP No. 11 merupakan peta jalan rezim Jokowi membebaskan bangsa ini dari residu Doktrin Kekaryaan. Doktrin Kekaryaan adalah turunan dari Dwifungsi ABRI (TNI), yang menjadi “regulasi” pembenaran penempatan militer pada birokrasi sipil. Dua puluh tahun pasca-reformasi, kita masih menyaksikan pengaruh militer yang masih sedemikian kuat. Selain karena aspirasi militer sendiri untuk terus berkuasa, kesempatan untuk itu juga masih tersedia.

Kesiapan personel TNI

Dari sekitar 300-an pasal pada PP tersebut, sebetulnya hanya ada sekitar empat atau lima pasal yang khusus mengatur penempatan perwira asal TNI/Polri (Pasal 155-159). Pasal-pasal ini pada intinya mengatur agar perwira TNI/Polri yang ingin masuk dalam formasi pimpinan lembaga negara atau lembaga sipil lainnya, mengundurkan diri terlebih dahulu atau pensiun dini. Setelah itu barulah mereka diperkenankan mengikuti proses seleksi terbuka, bersaing dengan kandidat lainnya.

Dan yang penting untuk dicatat, apabila gagal mengikuti seleksi, yang bersangkutan tidak dapat kembali lagi ke institusi sebelumnya. Bagaimana reaksi TNI sendiri atas terbitnya PP tersebut? Dalam pembicaraan informal dengan beberapa perwira TNI, PP tersebut dianggap bukan solusi bagi ketegangan terkait distribusi jabatan, namun bagian dari ketegangan itu sendiri. Ada anggapan pula bahwa PP ini memang sengaja didesain oleh elite sipil untuk menutup ruang bagi perwira TNI yang ingin melanjutkan pengabdian di luar lembaga TNI.Tentu pihak TNI sedikit kurang nyaman dengan terbitnya PP tersebut karena kemudahan untuk memperoleh jabatan (sipil) menjadi sirna. Namun selalu ada hikmah di balik sebuah peristiwa. PP bisa dibaca dengan logika terbalik, yang justru menjadi momentum bagi anggota TNI guna meningkatkan kompetensi di bidang teknis dan manajerial.

Begini gambaranny, SDM yang dibutuhkan dalam pembangunan, baik infrastruktur maupun pelayanan publik, semuanya sudah tersedia dalam kecabangan atau korps dalam TNI. Untuk pembangunan infrastruktur misalnya, ada korps zeni (CZI), korps peralatan (PAL), korps elektronika (LEK), dan seterusnya. Sementara untuk pelayanan publik, tersedia korps keuangan (CKU), korps ajudan jenderal (CAJ), dan korps administrasi (ADM). Kompetensinya hanya perlu ditingkatkan agar lebih kompetitif.

PP tersebut juga mengatur persyaratan bagi perwira TNI yang ingin mengikuti seleksi pimpinan lembaga negara, yakni memiliki kompetensi manajerial dan integritas. Dua hal ini sejatinya syarat generik bagi anggota TNI; artinya, apa yang diatur dalam PP hanyalah sekadar formalitas.

Salah satu pasal krusial PP No. 11 adalah Pasal 106, khususnya ayat 2, yang pada intinya memberi wewenang presiden untuk mengangkat seseorang pada posisi JPT (jabatan pimpinan tinggi) di bidang rahasia negara, pertahanan, keamanan, pengelolaan aparatur negara, kesekretariatan negara, pengelolaan sumber daya alam, dan bidang lain yang ditetapkan presiden. Pasal ini maknanya mirip-mirip dengan hak prerogatif presiden.

Saya kira pengangkatan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sebagai KSP atau Letjen Doni Munardo sebagai Kepala BNPB Pusat, bisa ditafsirkan sebagai praktik pertama Presiden Jokowi dalam menerapkan Pasal 106. Argumentasinya, dalam nomenklatur lembaga negara, KSP biasa disebut sebagai jabatan setingkat menteri. Dengan kata lain, bukan menteri penuh. Terlebih KSP adalah lembaga ad hoc, yang belum tentu ada pada setiap rezim. Artinya, pimpinannya lebih pas masuk kategori JPT utama, di mana presiden memiliki kewenangan intervensi, sesuai bunyi Pasal 106.

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar