Aris Santoso, peneliti militer

Mengurai Masalah Kelebihan Kolonel di Tubuh TNI

Senin, 14/10/2019 14:23 WIB
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (tni.mil.id)

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (tni.mil.id)

Jakarta, law-justice.co - Pertengahan April tahun lalu terbit Skep (surat keputusan ) KSAD Nomor 326/IV/2018, tentang mutasi 368 perwira menengah di lingkungan Angkatan Darat.

Adapun yang terkena mutasi sebagian besar (90 persen) berpangkat kolonel dan tidak satu pun berpangkat mayor.

Catatan penting dari Skep ini adalah, meski menyangkut mutasi lebih dari 300 kolonel, namun tidak satu pun yang dipromosikan pada posisi brigjen. Adapun promosi yang tersedia adalah dari posisi letkol menjadi kolonel, misalnya sebagai komandan brigade atau asisten kasdam (kepala staf daerah militer).

Skep tersebut lebih banyak mengatur soal pergeseran, yakni pindah jabatan pada pangkat yang sama, dalam hal ini kolonel. Selama ini memang sudah santer terdengar bahwa TNI (bukan hanya AD) sedang menghadapi problem surplus kolonel.

Skep ini bisa jadi salah satu indikatornya. Penjelasan paling sederhana dari problem ini adalah, pos untuk pati (khususnya brigjen) sangat terbatas, tidak sebanding dengan jumlah kolonel yang tersedia. Sehingga muncul kekhawatiran bakal terjadi gejala “leher botol” (bottleneck) dalam karir perwira.

Secara umum bisa dikatakan para kolonel tersebut adalah kelompok terdidik, sehingga perlu ada ikhtiar tanpa henti dari pimpinan, agar kompetensi mereka tidak sia-sia.

Kita pun kini paham ketika pimpinan TNI membentuk satuan baru dan validasi kepangkatan, tentu hal itu dimaksudkan untuk menyalurkan sejumlah kolonel tersebut, meskipun hanya sebagian.

Aspirasi sebagai Jenderal

Pimpinan TNI terus berusaha mencari jalan praktis atau kompromistis dalam mengatasi surplus kolonel. Pola karir di TNI memang rumit. Para perwira berpangkat kolonel ingin jadi jenderal, setidaknya jenderal bintang satu (brigjen).

Naskah Skep KSAD yang sedang kita bahas ini, telah memberi gambaran bahwa upaya mencapai level pati (perwira tinggi) adalah jalan yang tidak mudah. Tak semua isi dari Skep tersebut berisi kabar baik, ada juga yang kurang baik, atau di antara dua titik ekstrem tersebut, alias datar-datar saja.

Kabar baik yang dimaksud adalah bagi mereka yang disiapkan masuk pendidikan reguler di Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional) dan Sesko (Sekolah Staf dan Komando) TNI.

Sebagaimana pengalaman yang sudah-sudah, bagi kolonel yang sudah lulus pendidikan (kursusn reguler) Lemhanas, langkah menuju posisi pati menjadi lebih ringan.

Kabar yang kurang baik adalah ketika kolom nama mereka disertai catatan “dalam proses hukum”. Meski jumlahnya relatif sedikit, namun setidaknya bisa turut mengurangi atmosfer persaingan. Promosi bagi perwira yang bermasalah biasanya akan ditunda, bahkan bisa lebih jauh lagi, yakni dibatalkan—tergantung kasusnya. Terakhir, mereka yang masuk kategori “datar”, yakni perwira yang hanya berputar-putar di pos kolonel.

Dalam lampiran Skep, daftar nama perwira kategori ini jumlahnya paling banyak. Untuk sedikit memberi gambaran bagaimana berlikunya karir seorang perwira, ada baiknya saya memilih secara acak, dua perwira yang namanya tercantum dalam Skep tersebut.

Sekali lagi, ini sekadar contoh. Dua perwira yang saya pilih secara acak adalah Kol Inf Ardiheri (Akmil 1988B) dan Kol Inf Kartika Adi (Akmil 1991), yang kebetulan sama-sama berasal dari Kopassus. Karir dua perwira ini sempat beriringan. Saat Kol Inf Ardiheri menjadi Aspers (Asisten Personel) Kopassus (2010-2012), yang menjadi wakilnya adalah Letkol Inf Kartika.

Kartika pula yang menggantikan Ardiheri, ketika yang terakhir ini masuk pendidikan Sesko TNI pada 2012. Dalam posisi sebagai Aspers Kopassus inilah Kartika naik pangkat sebagai kolonel. Dengan demikian Ardiheri sudah sekitar delapan tahun menjadi kolonel, sementara Kartika sekitar enam tahun (sejak 2012), durasi yang boleh dikatakan cukup sebagai kolonel, sehingga sudah pantas untuk dipromosikan, setidaknya untuk posisi danrem.

Danrem adalah pos untuk kolonel senior, yang biasanya tinggal selangkah lagi menuju pos brigjen. Rata-rata danrem sekarang, khususnya bagi danrem dengan pangkat kolonel, umumnya berasal dari Akmi lulusan tahun 1991-1993. Jadi Ardiheri beserta rekan-rekan segenerasinya (Akmil 1988B) sepertinya tidak mungkin lagi menjadi danrem karena sudah terlalu senior.

Sementara danrem dengan pangkat brigjen, seperti Danrem Biak, Danrem Merauke, Danrem Kupang, dan seterusnya, biasanya harus “magang” dulu pada jabatan danrem pos kolonel. Dalam hitungan normal, umumnya perwira menyandang pangkat kolonel berdurasi lima atau enam tahun.

Di atas angka ini, pangkat kolonel dianggap sudah terlampau lama. Skemanya kira-kira sebagai berikut: dalam lima tahun menduduki setidaknya tiga posisi, yakni komandan brigade, asisten kasdam, kemudian ditutup sebagai danrem. Ditambah interval setahun mengikuti Sesko TNI, jadi total sekitar enam tahun.

Perlu Dukungan Politik

Penjelasan yang paling mudah, promosi adalah misteri, sehingga soal nasib (baik) turut berpengaruh. Di kalangan perwira sendiri ada istilah “garis tangan”, sebagai bentuk penghiburan bagi perwira yang karirnya masih melingkar.

Salah satu wujud nasib baik dimaksud adalah dukungan politis, atau ada pihak yang menyokong promosi sang perwira. Kasus paling gamblang adalah melesatnya karir Kol Inf Widi Prasetijono (Akmil 1993, kini Danrem Solo), usai diangkat sebagai ADC (ajudan) Presiden Jokowi.

Jelas sekali Kolonel Widi mendapat dukungan dari Jokowi, karena kebetulan pernah sama-sama dinas di Solo. Tanpa dukungan Jokowi, bisa jadi publik hari ini belum mengenal nama Kolonel Widi.

Begitu pun sebaliknya, tanpa dukungan politik memadai, karir seorang perwira tiba-tiba bisa berbelok. Pengalaman inilah yang pernah terjadi pada Letjen (Purn) M. Munir (Akmil 1983, terakhir Sesjen Wantanas). Munir adalah ajudan (ADC) mantan Presiden SBY pada periode pertama pemerintahannya (2004-2009).

Saat itu, ia sudah diperkirakan bakal menjadi KSAD kelak. Namun sayang rezim telah berganti. Di sisi lain, ketika masih berkuasa dulu, SBY tidak segera pula melantik Munir sebagai KSAD. Akhirnya nama Munir hilang dari peredaran, padahal tinggal selangkah lagi ia bisa menjabat KSAD. Fenomena Munir dan Kolonel Widi tersebut telah menunjukkan betapa pentingnya dukungan politik dalam karir perwira.

Promosi Menit Terakhir

Bila kita perhatikan, setahun terakhir ini ada tren promosi kolonel terjadi pada menit-menit terakhir (last minute)—menjelang yang bersangkutan pensiun. Sekitar tiga atau empat bulan menjelang pensiun, yang bersangkutan dipromosikan pada pos brigjen.

Cara seperti ini sangat membantu dalam memenuhi cita-cita para kolonel yang umumnya ingin jadi jenderal. Agar tidak terlalu membebani lembaga TNI, biasanya mereka ditempatkan di lembaga negara di luar struktur TNI, seperti BIN, Bakorkamla, Wantanas, BNPT, dan seterusnya.

Kiranya ini adalah skenario yang aman, mengingat pos brigjen dalam struktur TNI juga terbatas, sementara di lembaga lain masih ada peluang. Walhasil, jarang sekali promosi model last minute dilakukan pada satuan strategis di bawah TNI AD, seperti Kasdam, Kepala Staf Divisi Infanteri Kostrad atau Wakil Danjen Kopassus.

Asumsi nasib baik dalam promosi perwira memang cukup beralasan, mengingat latar belakang sejumlah kolonel, khususnya yang namanya tercantum dalam lampiran Skep di atas, bisa disebut setara, baik dari aspek penugasan (tour of duty), pengalaman operasi tempur, dan aspek pendidikan. Dari segi aspek pendidikan misalnya, tentu sebagian besar sudah mengikuti Seskoad dan Sesko TNI.

Promosi model last minute tersebut merupakan jalan tengah yang paling mungkin bisa dilakukan. Pangkat brigjen bisa dijadikan bekal bila mereka ingin melanjutkan karir sebagai eselon pimpinan lembaga negara, yang umumnya mensyaratkan ASN (aparat sipil negara) golongan madya—dan itu artinya setara dengan pati. Kompetensi dan latar belakang pendidikan mereka yang mumpuni tentu masih bisa dimanfaatkan oleh lembaga lain di luar TNI.

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar