ULMWP Ungkap Insiden Wamena: Mari Buka Topeng Politik di Papua

Sabtu, 12/10/2019 06:03 WIB
Kerusuhan di Wamena (harianaceh.co.id)

Kerusuhan di Wamena (harianaceh.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) buka suara terkait insiden berdarah di Wamena.

Dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Law-Justice.co, Jumat (11/10/2019), tertanda Markus Haluk Direktur Eksekutif di West Papua dan Edison K. Waromi Ketua Komite Legislatif, ULMWP secara lengkap terkait kronologi kejadian sebenarnya pada aksi demo berujung kerusuhan yang terjadi di Wamena.

ULMWP pun membantah terkait tuduhan memobilisasi massa terkait kerusuhan.

Selain itu dalam keterangan resmi mereka menulis data lengkap korban jiwa dan kerugian material karena kejadian tersebut. ULMWP juga memberi pernyataan sikap terkait tudingan yang dialamatkan kepada mereka.

Berikut rilis ULMWP lebih lengkap:

Prolog

Nama sekolah Tempat kejadian SMU PGRI Wamena, Kabupaten Jayawijaya West Papua, yang berlokasi Jalan Bayangkara No. 132 Wamena di kelas XI IPS-2 (Ilmu Pendidikan Sosial), jurusan ekonomi dengan jumlah siswa 31 orang.

Peristiwa terjadi pada hari sabtu, 21 September 2019, pukul 10.00 Waktua West Papua. Inisial pelaku R.T.P, S.Pd (Sarjana Pendidikan) dengan status guru honorer, korban siswa rasisme berinisial, A.P. Sekolah ini dikepalai oleh Drs. Herry Max Kasiha.

Ibu Guru yang berinisial R. T. P, S.Pd, status sebagai guru honorer – mengisi sementara waktu – menggantikan, Ibu Guru Elfrida Panjaitan, S.Pd yang sedang mengikuti sertifikasi di Makassar untuk bidang Study Ekonomi.

Pengangkatan guru honorer Ibu yang berinial R.T.P dilakukan oleh guru bagian kurikulum yaitu pa Marden Saragih, S.Pd. Pengenalan Ibu guru R.T.P sebagai guru honorer SMU PGRI (Sekolah Menengah Umum-Pendidikan Guru Republik Indonesia) Wamena dilakukan pada hari Selasa, 17 September 2019 dihadapan guru-guru.

Setelah pengenalan ibu R.T.P langsung masuk mengajar di kelas dengan bidang study Ekonomi. Ibu R.T.P sebagai guru baru, mengajar dari tanggal 17-21 September 2019. Ia mengajar siswa selama 5 hari sampai hari kejadian tanggal 21 September 2019.

Kronologi

Pada hari Sabtu, tanggal 21 September 2019, jam kedua mata pelajaran sekitar pukul 10.00 Waktu West Papua di Kelas XI IPS 2, sedang berlangsung kegiatan belajar mengajar terhadap 31 siswa dengan mata pelajaran ekonomi yang diajar oleh seorang Ibu Guru R.T.P.

Ibu guru sedang mengajar di kelas XI IPS 2 (Ilmu Pendidikan Sosial), dengan menulis beberapa paragraf di papan tulis lalu salah satu siswa berinisial  A.P disuruh membaca tulisannya. Siswa tersebut membacanya agak lambat atau putus-putus, kemudian ibu guru menegur siswa dengan kata “Kamu baca seperti monyet.”

Ucapan “Kamu Baca Seperti Monyet” didengar juga oleh seluruh siswa yang ada dalam kelas XI IPS 2. Mendengar ungkapan rasisme tersebut, secara spontan siswa melakukan protes kepada ibu guru, mengapa saya dikatakan baca seperti monyet. Protes ini disambut oleh siswa se-kelasnya.

Situasi semakin ramai, tidak bisa terkendali dan memanas untuk melanjutkan pelajaran, sehingga perkara dilimpahkan bagian kesiswaan di sekolah. Dengan tujuan untuk memediasi sekaligus klarifikasi secara tenang dan damai apa yang terjadi dalam Kelas XI IPS 2.

Masalah ini langsung ditangani bagian kesiswaan oleh Ibu Guru Debora Agapa, S.Pd. Saat dimediasi, pertama ditanyakan kepada Ibu Guru R.T.P yang diduga mengeluarkan kata-kata rasis, dan Ibu Guru menjelaskan saya tidak katakan kepada siswa, “kamu baca seperti Monyet”, tapi saya sampaikan” kamu baca tersendat-sendat”.

Untuk memastikan kebenaran, Ibu Debora menanyakan kepada para siswa dari kelas XI IPS 2, mereka serentak menjawab bahwa Ibu Guru sampaikan, “kamu baca seperti monyet” kami semua mendengarnya. Ibu Debora mendengar tapi tidak puas, sehingga Ibu Debora memanggil 2 siswa non Papua (dari Indonesia).

Dua siswa tadi masuk dalam ruangan khusus lalu Ibu Debora bertanya kepada mereka, apa yang kamu dengar kata-kata yang diucapkan Ibu Guru R.T.P,  ke 2 siswa non Papua saling memandang dan ragu-ragu, lalu menunduk dengan sikap panik tidak menjawab. Sehingga Ibu Debora menganggap hal sepeleh dan perkara hanya di dalam sekolah saja, kemudian secara inisiatif melalukan permintaan maaf antara guru dan siswa sekalipun masalah tidak tuntas karena saling bertahan pendapat antar Ibu Guru R.T.P dan para siswa.

Selanjutkan aktivitas belajar mengajar tidak bisa dilanjutkan, karena dalam sekolah, seluruh siswa secara spontanitas mulai memobilisasi. Melihat situasi demikian, pihak sekolah mengambil kebijakan untuk memulangkan seluruh siswa sebelum jam pulang.

Pada 22 September 2019, sekitar pukul 02.00 Waktu West Papua, orang tak dikenal masuk di dalam lingkungan sekolah SMU PGRI Wamena, kemudian kaca-kaca ruangan telah dihancurkan. Sekolah SMU PGRI memiliki 17 ruangan, baik ruang kelas, ruang guru, ruang tata usaha dan ruang perpustakaan. Sebagian ruangan kaca-kaca retak dan dihancurkan. Pelaku belum diketahui.

Kejadian ini didengar oleh warga yang tinggal disamping Sekolah, jikalau sekitar pukul 02.00 Waktu West Papua terjadi kerusakan di SMU PGRI.

Pada hari Senin 23 September 2019, seluruh SMU di Wamena dilaksanakan ujian tengah semester (UTS).  SMU PGRI ikut UTS, sehingga para guru sudah siapkan soal ujian datang ke sekolah sesuai jam sekolah untuk memberikan ujian kepada siswa, namun pagi hari, sebelum pukul 07.30 Waktu West Papua pagar sekolah dipalang oleh para siswa dan guru-guru dilarang masuk dan ditahan diluar pintu sekolah dengan tujuan untuk tuntaskan atau selesaikan masalah rasisme yang diucapkan oleh Ibu Guru R.T.P kepada siswa A.P, karena  menurut mereka penyelesaian pada hari sabtu belum diselesaikan dengan baik.

Para siswa menuntut Ibu Guru yang telah mengeluarkan kata-kata rasis harus dikeluarkan dari sekolah dan diproses hukum.

Menanggapi tuntutan siswa, pihak sekolah mengatakan, kami tidak punya kewenangan, yang berwenang adalah pihak kepolisian. Pada saat mediasi dengan siswa sedang berlangsung, situasi semakin ramai dan tegang, karena ada dari siswa sekolah lain secara spontanitas mulai mobilisasi.

Maka pihak sekolah minta bantuan ke pihak kepolisian Polres Jayawijaya. Pihak kepolisian datang  di SMU PGRI, untuk memediasi guru dan siswa, namun tidak bisa karena situasi tambah tegang. Melihat situasi yang semakin tegang, pihak kepolisian mengarahkan para siswa ramai-ramai jalan kaki ke Polres untuk selesaikan masalah dengan Ibu Guru Honorer baru tersebut.

Siswa dari SMU PGRI Wamena sampai dijalan Bayangkara untuk menuju ke Kantor Polres, para siswa dari sekolah lain secara spontan mulai mobilisasi.  Pihak aparat mulai panik, namun tetap dalam pengawalan. Siswa SMU PGRI yang ikut jalan Bayangkara, tepat di perempatan Jalan Bayangkara dan Jalan Sudirman, situasi tidak bisa terkontrol. Banyak  siswa mulai sulit terkendalikan.

Untuk meredam situasi tersebut, pihak aparat keamanan mengeluarkan tembakan dengan tujuan semua bisa tenang. Namun yang terjadi sebaliknya, para siswa semakin gencar dan tambah semangat. Para siswa dengan spontan mengucapkan bahwa bunyi tersebut bukan bunyi senjata tapi itu bunyi petasan.

Tembakan peringatan ini dikeluarkan sekitar  pukul 08.00 Waktu West Papua.

Sekitar pukul 09.00 Waktu West Papua, secara spontan para siswa terkonsolidasi di seluruh SMU di Wamena. Hampir semua sekolah SMU, SMP dan Perguruan tinggi terkonsolidasi.

Pada saat yang bersamaan, terdengar tembakan sudah dimana-mana, namun para siswa lebih agresif maju dan mulai berhamburan kuasai mata Jalan dibeberapa titik di Wamena Kota.

Bunyi tembakan oleh aparat keamanan dan aksi para Siswa ini mengakibatkan orang Asli Papua mapun non Papua mulai panik. Bahkan rentetan bunyi tembakan oleh anggota TNI/POLRI didengar di beberapa lokasih mulai dari  SMU Negeri, Depan Kantor Bupati, Depan Kampus II Uniyap (Universitas Yapis) Wamena dan Pasar Potikelek. Para siswa sebagian, diarahkan oleh Bupati Jayawijaya supaya ke halaman kantor Bupati untuk menyampaikan aspirasinya.

Dan sebagian palang jalan di jalan hom-hom tepat di depan Kampus II Uniyap. Karena disana sudah ada korban penembakan oleh anggota BRIMOB terhadap abang becak. Mayatnya Abang Becak diletakan di jalan raya hom-hom, tepatnya jalan masuk kampus II Uniyap.

Melihat adanya korban dipihak masyarakat Papua (Abang Becak), massa bukan lagi siswa, tapi mahasiswa dan masyarakat. Mereka  mulai bakar kendaraan, rumah, kios/ruko dan bahkan lakukan perlawanan dan berjatuhan korban pembunuhan. Dari hom-hom ke pertigaan pasar Jibama, yang lain lewat jalan Papua tembus jalan Wenas sampai dikantor kampung (Desa) Kama.

Para siswa yang sudah kumpul dikantor Bupati Jayawijaya, semuanya tertib dan duduk di halaman, sampaikan aspirasi mereka tentang rasisme. Pada kesempatan tersebut, para siswa menuntut kepada Bupati supaya segera Ibu Guru R.T.P di Hukum.  

Setelah mendengar tuntutan siswa sekitar pukul 11.00 Waktu West Papua, Bupati John R. Banua arahkan siswa diantar pulang melalui jalan ke arah Wouma semua, karena mata jalan masuk dan keluar  arah kantor bupati sudah tutup (blokade) oleh aparat TNI/Polri dan massa.

Dalam kepanikan sebagian siswa sudah sampai di depan Gereja Katolik Kristus Jaya Wamena, yang lain masih di Kantor Bupati. Di depan Gereja Katolik, aparat Brimob tahan siswa kemudian mereka disuruh tiarap, dengan melakukan tembakan peringatan.

Di kantor Bupati, Bupati, Wakil Bupati dan Dandim sementara berdiri dihalaman kantor Bupati, asap besar mulai mengepul di bagian belakang kantor Keuangan, dan dalam hitungan menit seluruh bangunan kampleks kantor Bupati semua terbakar.

Melihat siswa SMU yang sementara tiarap oleh aparat tadi, massa dari arah Wouma marah dan secara spontan mereka mulai bakar kios di sebelah Jembatam Wouma sampai masuk di Pasar rata dengan tanah. Pada sore hingga malam terjadi pembakaran dan penyerangan di daerah pasar baru ke arah Pikhe sekitarnya.

Korban pun berjatuhan oleh timah panas apara keamanan TNI/Polri dan oleh warga dengan senjata pisau/parang. Seluruh situasi tidak bisa di kendalikan sampai korban mulai berjatuhan dibeberapa lokasih.

Menyikapi situasi demikian pihak aparat dan penguasa memproduksi hoaks, ucapan Monyet di rubah menjadi kata tersendat-sendat dan terakhir keluar dipublik kata Bicara Kurang Keras menjadi Kera.

1. Reaksi Warga Non Papua dan TNI/POLRI

Pada pukul 12.00 waktu West Papua, warga non Papua mulai  mobilisasi kelompok nusantara/paguyuban. TNI/Polri di duga turut bermain dibelakang kelompok non Papua tadi.

Senjata tajam seperti, badik, parang kikis diaspal sambil berteriak  “Mana dorang, kamu orang Wamena keluar sudah. Wuii kamu dimana? Kamu keluar sudah.”  

Salah satu Kepala Dinas yang juga orang Wamena, dikejar saat ia keluar dari kantor untuk melihat situasi sekitarnya. Beberapa warga non Papua mengejarnya hingga di rumah. “Saya hampir dipotong dan dibunuh oleh orang pendatang, untung baik saya lari masuk rumah dan langsung mengungsi pintu. Tetapi kalo saya terlambat, maka saya sudah korban.”

Pada saat yang bersamaan, aparat keamanan TNI dan Polri melakukan penembakan beruntun kepada para siswa dan masyarakat Papua. Akibatnya banyak terkenah tembakan dan mulai berjatuhan korban.

Menyadari reaksi, warga non Papua dan pasukan TNI/Polri yang mulai menyerang orang Papua (Gunung/Wamena), yang sebagian besar adalah para siswa SMU/SMP sehingga secara spontan sebagai bentuk self divent mempertahankan diri orang Papua (Wamena) mulai melakukan pembalasan terhadap warga non Papua.

2. Tidak ada Mobilisasi oleh Komponen Perjuangan Papua Merdeka

ULMWP, secara tegas menyampaikan bahwa dalam peristiwa Wamena, tidak terjadi mobilisasi orang dari gunung-gunung atau diluar Distrik Wamena kota dan sekitarnya yang masuk terlibat dalam peristiwa Wamena.

Namun apa yang terjadi pada peristiwa ini merupakan sebagai bentuk self divent mempertahankan diri serta tindakan kemarahan spontanitas oleh para siswa dan warga Distrik Wamena kota dan sekitarnya yang menyaksikan penembakan dan korban yang berjatuhan terhadap anak-anak Pelajar.

Sesuai dengan hukum adat orang Melanesia, secara khusus suku Hubula di Lembah Agung Balim-Wamena, Suku Yali, Walak, Lanny, Meek, Nduga dan sekitarnya, apabila anak-anak atau kaum perempuan tersimpah darah, siapapun menyaksikannya akan tetap tergerak hatinya melakukan protes perlawanan.

Dalam bahasa Wamena disebutnya,“ Humi yukurugi wene inyokodek,” bahwa kaum perempuan dan anak-anak tidak tau masalah. Oleh sebab itu, mereka mesti dilindungi. Namun sebaliknya, apabila ibu-ibu dan anak-anak yang menjadi korban, inyawim hiam-hiam ninane uok…. bahwa kita akan lakukan pembelaan dan perlawanan pada sore-malam.

Situasi yang terjadi di Wamena, murni pembalasan ketika menyaksikan korban berjatuhan pada orang Wamena. Sekurang-kurangnya 15 orang Wamena dan sekitar ditembak mati dan lebih dari 44 orang telah menjadi korban karena luka-luka tembak.

Melihat jatuhnya korban, mengakibatkan terjadinya protes perlawanan secara spontanitas oleh masyarakat.

Sebaliknya, warga non Papua berlindung dibalik senjata aparat keamanan hingga mengungsi di kantor TNI/Polri terdekat di Kota Wamena. Pada saat yang sama aparat keamanan melakukan penembakan terhadap warga sipil orang asli Papua yang sebagiannya adalah siswa sekolah. Jadi dengan kata lain, warga non Papua bersatu dan bersandar pada aparat keamanan sedangkan orang Papua Melanesia khususnya orang Wamena sendirian menghadapi TNI/POLRI bersama warga nusantara yang telah mempersenjatai diri dengan senjata tajam.

Sekalipun marah atas jatuhnya korban di pihak masyarakat Papua, namun sebaliknya dengan hati kasih sebagian warga non Papua dilindungi dan diselamatkan oleh warga setempat dari Suku Hubula, Yali, Lanny, Walak, dan Nduga.

Tindakan perlindungan dan penyelamatan yang terjadi sejalan dengan pesan tetuah adat bahwa ‘Sely wim meke uma ukiaga halok mege bisap nen hanom apema buu, ‘Kendatipun mereka adalah musuhmu, tetapi kalo sudah masuk di rumah harus melindungi mereka. Berikan juga rokok sebagai tanda larang/perlindungan kepadanya.’ Pesan luhur para leluhurn ini senantiasa dipegang serta diwariskan oleh setiap orang Melanesia khususnya dari Suku Hubula Lembah Balim serta Suku-Suku sekitarnya.

Laporan Korban

Akibat peristiwa perlawanan rasisme siswa di Wamena mengakibatkan korban jiwa, luka-luka berat dan harta benda. Berikut ini adalah rincian sementara jumlah korban akibat peristiwa ini:

1. Korban Jiwa, 40 orang warga sipil yang terdiri dari: 15 orang Papua/Melanesia dan 25 orang non Papua Indonesia.

2. Korban luka-penembakan dan penikaman 82 orang: 44 orang Papua/Melanesia dan 38 orang non Papua/Indonesia.

3. Pembakaran Ruko-ruko: 351 unit

4. Pembakaran Rumah :27 Unit

5. Pasar : 1 Unit

6. Kendaraan : Roda Dua: 150 Unit dan Roda Empat: 100 Unit

7. Perkantoran: 10 Unit

8. Pengungsian saat kejadian: 6.584 orang

9. Pengungsian yang mendaftarkan diri untuk keluar Wamena/Pulang Ke Indonesia: kurang lebih 15.000 orang.

Pernyataan Sikap

1. Kami menyampaikan Turut Berduka Cita yang mendalam atas jatuhnya Korban Jiwa warga sipil dalam Peristiwa di Wamena.

Pada kesempatan ini, kami juga menyampaikan Turut Berduka Cita atas jatuhnya korban pada 23 September di Ekspo Waena Jayapura Papua yang mengakibatkan 4 orang Mahasiswa dan 1 anggota TNI Meninggal Dunia, korban dalam peristiwa Kabupaten Deiyai, Puncak Papua, kota Jayapura, 30 Agustus-1 September 2019 dan Warga Nduga.

2. Menegaskan bahwa aksi Wamena berdarah adalah murni tindakan spontanitas para pelajar/siswa terhadap ungkapan Rasisme yang dikeluarkan oleh Ibu Guru Honorer berisinial R.T.P yang adalah orang Indonesia, ras melayu kepada A.P, asli Wamena Papua, ras Melanesia.

3. Anggota TNI/Polri dan Kelompok Nusantara/Milisia Indonesia yang telah dengan sadar melakukan tembakan terhadap Warga Sipil  di Fak-fak, Jayapura, Deiyai, Timika, Wamena untuk Proses Hukum.

4. Menolak semua tuduhan Pemerintah Indonesia yang terus mengkambinghitamkan ULMWP dan  KNPB.

5. Menolak Keras tuduhan Kepolisian Republik Indonesia yang mengkriminaliasi ULMWP dan KNPB. Ini sebagai bukti ketidakmampuan Polisi menyelesaikan kasus rasisme terhadap Bangsa Papua.

6. Rakyat Papua dan organisasi perjuangan Papua untuk tidak terprovokasi aparat keamanan yang sedang memprovokasi kelompok Milisia Sipil Indonesia dan kini negara membekengi serta memfasilitasi kelompok garis keras Islam untuk ke West Papua.

7. Membebaskan 94 orang yang dijadikan tersangka dan sebagian besar sedang ditahan di tahanan Kepolisian di West Papua dan Indonesia serta mengembalikan 7 orang Tahanan Pejuang Harga diri dan Rasisme Papua ke West Papua:

1). Wakil Ketua II Komite Legislatif ULMWP, Tuan Buctar Tabuni,

2). Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat, Agus Kossay,

3). Ketua KNPB Wilyah Timika Steven Itlay,

4). Presiden Mahasiswa UNCEN, Ferry Gombo,

5). Presiden Mahasiswa USTJ, Alexander Gobay

6). Hengky Hilapok dan

7). Irwanus Uropmabin.

8) Menyampaikan Ucapan Selamat Datang Kepada Para Mahasiswa Eksodus kembali ke West Papua setelah ancaman nyata dan diskriminasi rasial yang dialami selama 2 bulan ini secara masif di asrama, kontrakan/kos-kosan, perguruan tinggi oleh apara keamanan, organisasi reaksioner dan warga setempat.

9) Mendesak Tim Investigasi Independen Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk berkunjung ke West Papua dalam rangka melihat, mendengar dan meneliti akar kejahatan kemanusiaan dan diskriminasi rasial Pemerintah Indonesia selama 57 tahun pendudukan di West Papua.

10) Kami menegaskan bahwa perjuangan kami bukan melawan warga non Papua di Papua dan Indonesia, Perjuangan nasional bangsa Papua melalui ULMWP juga tidak dilandasi oleh sentimen SARA (Suku, Agama, dan Ras) melainkan terus menuntut kepada pemerintah Indonesia dan para pihak yang terlibat dimasa lalu untuk memberikan Refrendum sebagai solusi demokratis, adil dan beradap untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat bangsa Papua sebagaimana segenap rakyat Indonesia memperolehnya melalui proklamasi pada 17 agustus 1945 dari Kekuasaan Jepang dan Belanda.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar