Kehabisan Dana, Karyawan PBB Sepertinya Tak Gajian Bulan Depan

Kamis, 10/10/2019 11:10 WIB
Sekjen PBB Antonio Guterres pada jumpa pers di New York, Amerika Serikat (Reuters)

Sekjen PBB Antonio Guterres pada jumpa pers di New York, Amerika Serikat (Reuters)

Jakarta, law-justice.co - Karyawan dan staf Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terancam tidak bisa menerima gaji bulan depan.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, hal itu bisa saja terjadi jika negara-negara anggotanya tidak ada yang membayar utang mereka.

Guterres berbicara di hadapan komite anggaran Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 orang, Selasa (8/10/2019) lalu.

Dia mengaku, jika dirinya tidak berusaha sejak Januari untuk memotong pengeluaran maka PBB tidak akan dapat menggelar agenda pertemuan tahunan para pemimpin dunia bulan lalu.

"Bulan ini kita akan mencapai defisit terburuk dalam satu dekade. Kita mengambil risiko, memasuki November tanpa punya cukup uang tunai untuk membayar gaji," ujar Guterres seperti melansir Kompas.com.

"Pekerjaan dan reformasi kita mungkin dalam bahaya," tambahnya.

Guterres mengatakan, pihaknya telah memperkenalkan langkah-langkah luar biasa pada bulan lalu untuk mengatasi kekurangan dana tersebut.

Langkah yang diambil Guterres di antaranya hanya mengizinkan perjalanan penting, serta membatalkan atau menangguhkan sejumlah pertemuan yang memungkinkan.

Selama ini, Amerika Serikat masih menjadi kontributor terbesar PBB, dengan tanggung jawab untuk 22 persen dari total anggaran reguler pada 2019 sebesar lebih dari 3,3 miliar dolar AS (sekitar Rp 46,7 triliun).

Anggaran itu digunakan untuk membayar seluruh kegiatan dan pekerjaan PBB, termasuk urusan politik, kemanusiaan, perlucutan senjata, sosial ekonomi, dan komunikasi.

Namun dilansir Reuters, Washington masih belum membayarkan dana sekitar 381 juta dolar AS (sekitar Rp 5,3 triliun) untuk anggaran reguler PBB tahun lalu dan 674 juta dolar AS (sekitar Rp 9,5 triliun) untuk anggaran reguler 2019.

Utusan AS untuk PBB mengonfirmasi angka-angka itu, namun tidak segera menanggapi permintaan komentar untuk kapan kekurangan itu akan dibayarkan.

Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa Washington memikul beban yang tidak adil dari biaya PBB dan telah mendorong agar dilakukan reformasi terhadap badan dunia itu.

Sementara Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan bahwa sejauh ini sebanyak 129 negara telah membayarkan iuran mereka untuk 2019, yang berjumlah hampir 2 miliar dolar AS (sekitar Rp 28,3 triliun).

Kekuarangan dana di PBB ini mempengaruhi operasional badan negara-negara di dunia itu untuk wilayah New York, Jenewa, Wina, Nairobo, hingga di komisi-komisi regional.

Sementara untuk misi penjaga perdamaian PBB memiliki sumber dana yang terpisah, yang merupakan anggaran pemeliharaan perdamaian hingga akhir Juni 2019 sebesar 6,7 miliar dolar AS (sekitar Rp 94,9 triliun), serta sebesar 6,51 miliar dolar AS (sekitar Rp 92,2 triliun) untuk tahun ini hingga 30 Juni 2020.

AS tetap menjadi negara yang memegang tanggung jawab terbesar untuk misi penjaga perdamaian PBB, yakni dengan hampir 28 persen dari anggaran pemeliharaan perdamaian, meski kemudian berjanji untuk hanya membayar 25 persen, seperti yang disyaratkan oleh undang-undang AS.

Washington saat ini masih berutang sekitar 2,4 miliar dolar AS (sekitar Rp 33,9 triliun) untuk misi penjaga perdamaian PBB.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar