Arif Putra Wicaksono, CEO Nine Sport:

Kalau Terus Pakai Duit, Ketua PSSI Tak Akan Memikirkan Sepak Bola

Rabu, 09/10/2019 07:50 WIB
Arif Putra Wicaksono, calon ketua PSSI (law-justice.co/ Reko Alum)

Arif Putra Wicaksono, calon ketua PSSI (law-justice.co/ Reko Alum)

law-justice.co - Nama Arif Putra Wicaksono muncul di awal bursa pencalonan ketua umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), jauh sebelum Komite Pemilihan akhirnya mengumumkan 10 bakal calon lainnya. Saat itu, Arif menantang pesaingnya yang juga telah mendeklarasikan diri, yakni Komjen. Pol. Mochamad Iriawan alias Iwan Bule.

Arif termasuk berani, melirik kursi langganan para politisi atau perwira tinggi dari kalangan militer. Padahal ia sudah pernah gagal menjajal jabatan tesebut pada 2016, karena terganjal syarat minimal aktif lima tahun di dunia persepakbolaan.

Tidak sulit membuat janji bertemu dengan pria 39 tahun itu. Ia membalas pesan singkat law-justice.co dengan cepat dan ramah. Ia setuju ditemui di kawasan Blok S, Jakarta Selatan, 20 September 2019 lalu.

Seperti apakah sosok Arif, CEO Nine Sport yang ulung dalam mendatangkan klub-klub Eropa ke Indonesia?

Arif memulai ceritanya dengan memperkenalkan diri sebagai orang yang awalnya tidak menggemari dunia sepak bola. Lahir di Jakarta, 21 Oktober 1980, ia justru tumbuh dalam masa remaja yang sangat menggandrungi olah raga basket. Terlebih lagi, Arif melanjutkan studi sekolah menengah atas di Canada, negara yang juga unggul dalam olah raga basket.

Selama hidup di negara Barat, Arif berkisah, belum banyak orang mengenal Indonesia. Bahkan pada 1994, ia justru kerap menemui perilaku rasis dari warga setempat yang anti dengan kulit berwarna.

“Saya pernah melihat ada nenek-nenek, dia memilih untuk berdiri dengan susah payah di kereta hanya karena tidak sudi duduk di sebelah orang Asia. Saya juga pernah berkenalan dengan seorang kawan, dia heran mengapa orang Indonesia bisa pakai sepatu,” tutur Arif.

Pengalaman itu terus membekas sampai Arif pulang ke Indonesia dan melanjutkan studi di perguruan tinggi swasta di Jakarta.

Tahun 2002 bisa dibilang sebagai awal perkenalannya dengan dunia persepakbolaan. Ia melihat besarnya antusiasme dari masyarakat Indonesia terhadap Piala Dunia 2002 yang diselenggarakan di Korea Selatan dan Jepang. Hampir semua kalangan: tua-muda, miskin-kaya, di kota atau di desa, semua orang melebur dalam sepak bola tanpa sekat.

Usai Piala Dunia 2002, Arif heran, mengapa banyak klub Eropa dan Tim Nasional (Timnas) Eropa kerap berkunjung ke negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura? Tapi tidak satu pun yang singgah ke Indonesia.

“Padahal, orang kita banyak yang rela pergi ke sana hanya untuk nonton langsung klub idola mereka bermain di negara tetangga,” ujar Arif.

Sebagai seorang lulusan Komunikasi Advertising, naluri marketing Arif muncul. Ia tertarik dengan bisnis di sektor sepak bola, karena pangsa pasarnya pasti tidak terbatas. Kepada seorang kawan, Arif pernah bertanya:

“Kenapa tidak kita datangkan saja klub eropa ke Indonesia? Pasti yang nonton banyak,”

“Enggak bakalan mau,” kata temannya.

Mendengar jawaban itu, ingatan Arif tiba-tiba kembali pada pengalamannya saat hidup di Eropa. Bahkan setelah Piala Dunia 2006, belum ada klub atau timnas Eropa yang tertarik menggelar tour pra musim di Indonesia. Apakah sebegitu tidak menariknya Indonesia di mata klub-klub eropa?

“Aku merasa sangat tertantang untuk mendatangkan mereka ke Indonesia,” kata Arif.

Ia lalu menjatuhkan pilihan pada klub-klub asal Spanyol. Arif pun mulai menyurati ratusan promotor sepak bola di negeri matador, menawarkan untuk datang menggelar tut pra musim atau pertandingan persahabatan di Indonesia.

Ia masih ingat betul, saat itu hanya tiga promotor sepak bola yang merespon surelnya. Bisa dibilang, mereka adalah promotor-promotor pemula yang juga menjajal bisnis sepak bola.

Tapi itu tidak mengecilkan niat Arif. Ia serius, terbang ke Spanyol dengan uang pribadi, menggelar rapat dan meyakinkan mereka bahwa masyarakat Indonesia sangat menggandrungi sepakbola.

“Saat itu sangat sulit mencari sponsor di Indonesia. Seperti telur dan ayam. Mereka mau mensponsori, tapi harus ada deal terlebih dahulu dengan klub yang mau datang. Sementara klub selalu meminta bayaran di muka,” kenang Arif.

Setelah berkali-kali terbang ke Spanyol, Arif akhirnya mendapatkan kesepakatan dengan Valencia, klub yang menjuarai Liga Spanyol pada musim 2001/2002 dan 2003/2004. Klub berjuluk Kelelawar Hitam itu bersedia datang pada tahun 2007, menggelar pertandingan persahabatan dengan Timnas Indonesia.

Celakanya, saat itu sedang terjadi konflik di internal PSSI sehingga ada dualisme kepemimpinan. Arif merasa ia masih terlalu muda untuk terlibat dalam konflik para petinggi PSSI. 

“Beruntung, saat itu Valencia membatalkan tur ke Indonesia karena dapat tawaran main di Belanda. Di satu sisi, saya bisa dibilang gagal mencari sponsor. Tapi di sisi lain nama saya tidak menjadi buruk di mata mereka,” kenang Arif.

Kegagalan itu sempat membuat Arif trauma dan memilih banting setir ke industri permusikan. Namun euforia Piala Dunia 2010 kembali membangkitkan ambisinya di dunia sepak bola. Saat itu belum ada yang berubah, klub-klub eropa masih enggan mampir ke Indonesia. padahal, demam bola di Indonesia semakin menggila.

Arif kembali mengontak rekan-rekannya di Spanyol. Pada tahun 2014, ia berhasil membuat sebuah acara kuis SMS (Short Message Service) berhadiah makan malam dengan David Villa, pemain yang turut mengantarkan Timnas Spanyol juara dunia 2010.

Setelah itu, Arif mencoba untuk mendatangkan Timnas Spanyol ke Indonesia. Tanpa diduga, tawaran itu diterima. Iker Casillas dan kawan-kawan bersedia menggelar pertandingan persahabatan dengan Timnas Indonesia.

Sialnya, PSSI lagi-lagi bermasalah dengan dualisme kepemimpinan. Persoalan di internal persepakbolaan Indonesia akhirnya mengurungkan niat Timnas Spanyol berkunjung ke Indonesia. Begitu pula dengan rencana Arif menjalin kerja sama dengan akademi Barcelona FC, gagal karena masalah sponsor.

Walau begitu, tentu saja tidak ada usaha yang sia-sia. Di tengah banyaknya kegagalan, setidaknya Arif dan perusahaannya, PT Dava (yang kemudian berubah nama menjadi Nine Sport), sudah punya nama di tingkat internasional sebagai promotor yang berpengalaman menjalin kerjasama dengan industri sepakbola di Spanyol.

Tawaran yang benar-benar realistis akhirnya datang dari Timnas Belanda, finalis Piala Dunia 2010. Mereka bersedia menjalin kerja sama, bukan semata-mata komersil, tapi juga untuk membantu mengembangkan persepakbolaan di Indonesia.

“Aku enggak tahu kenapa. Mungkin karena mereka merasa punya sejarah yang panjang dengan Indonesia,” ucap Arif.

Pertandingan persahabatan Timnas Indonesia vs Timnas Belanda akhirnya benar-benar terwujud pada 7 Juni 2013. Animo pecinta sepak bola di Indonesia sangat tinggi, suporter memadati stadion Utama Gelora Bung Karno.

Keberhasilan membawa Timnas Belanda semakin melambungkan nama Arif. Bersama Nine Sport, tawaran kerja sama dari klub-klub Eropa terus berdatangan. Selama periode 2013 sampai dengan 2015, Arif telah menjalin kerja sama dengan klub-klub ternama seperti Chelsea, Ajax Amsterdam, Barcelona, AS Roma, Valencia, Real Madrid, dan Juventus. Nine Sport juga yang menginisiasi program training 4 bulan Evan Dimas di klub Espanyol, pada tahun 2016.

Mencalonkan Diri Menjadi Ketua Umum PSSI

Berbekal pengalaman-pengalaman itu, membuat Arif berani untuk maju dalam bursa bakal calon ketua umum PSSI periode 2016-2019. Tapi ia gagal karena dianggap tidak memenuhi kriteria aktif di sepak bola minimal lima tahun.

“Saya bisa menerima itu,” kata Arif.

Ketika bursa calon ketua umum kembali dibuka, menjelang kongres PSSI November mendatang, Arif kembali mencoba peruntungannya. Kali ini ia ditemani oleh CEO Bandung Premier League, Doni Setiabudi.

Ditanya soal peta masalah persepakbolaan Indonesia, Arif mengatakan, “Kita tidak terlalu taat pada aturan. Terbiasa dimudahkan dengan uang. Hal itu sebetulnya hampir terjadi di segala lini.”

Mengurus sepak bola, lanjut Arif, butuh orang-orang profesional yang jauh dari kepentingan politik dan kelompoknya. Harus benar-benar konsentrasi pada setiap usaha membenahi tata kelola iklim sepak bola di Indonesia.

Menurut Arif, hal pertama yang harus dilakukan adalah membenahi persoalan di tingkat klub dan turnamen dalam negeri. Harus ada upaya serius untuk membuat klub mandiri secara finasial. Suporter klub harus benar-benar diberdayakan untuk meminimalisir kekerasan. Badan usaha dan basis suporter yang kuat bisa jadi modal utama.

Ketika tingkat klub sudah baik, ia yakin hal itu akan berdampak langsung pada prestasi di tingkat Timnas. Pelatih Timnas tinggal memilih pemain yang memang sudah matang di klub.

“Dimana-mana seperti itu alurnya. Kalau kita saat ini terbalik, punya program di level Timnas, pemain yang bagus lalu dibeli klub. Itu tidak akan berkelanjutan,” ujarnya.

Lalu bagaimana dengan peluang Arif dalam bersaing dengan calon-calon lainnya? Bukankah butuh banyak biaya untuk meraih suara votter?

“Betul. Saya selalu ditanya seperti itu. Tapi begini, kalau yang dipilih adalah orang yang paling banyak mengeluarkan uang, setelah terpilih, bohong jika dia memikirkan sepakbola. Dia pasti akan memikirkan berapa banyak uang yang sudah habis dan bagaimana cara mengembalikannya,” jawab Arif.

(Januardi Husin\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar