Kisruh Status Tanah Central Park (Tulisan-2)

Ada Jejak Mantan Jaksa Agung di Tanah Sengketa Central Park

Minggu, 06/10/2019 10:41 WIB
Centra Park Jakarta (foto: e-architect)

Centra Park Jakarta (foto: e-architect)

Jakarta, law-justice.co - Carut marut sengketa tanah di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, tak kunjung selesai. Sejumlah misteri masih menggantung. Tanah seluas 12,5 hektar yang kini dikuasai pengembang kelas kakap PT Agung Podomoro Land (APL) milik taipan Trihatma Kusuma Haliman, suatu saat bisa saja digugat balik para pihak yang merasa lebih berhak atas tanah tersebut. Di atas tanah ini kini berdiri Central Park yang merupakan kompleks serbaguna terdiri atas pusat perbelanjaan, perkantoran, apartemen, dan hotel.

Tanah ini pernah dinyatakan sebagai barang sitaan kasus korupsi Lee Darmawan Kertaraharja Haryanto alias Lee Chin Kiat, pemilik Bank Perkembangan Asia yang tersandung kasus kredit macet dan pelanggaran batas maksimum penyaluran kredit kepada kelompok sendiri. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1662K/Pid/1991 pada 21 Maret 1992 menetapkan Lee sebagai terdakwa. Atas putusan tersebut Lee dihukum kurungan penjara selama 12 tahun dan membayar uang pengganti kepada negara c.q. Bank Indonesia sebesar Rp 85 miliar rupiah.

Sesuai putusan maka ratusan aset tanah, rumah dan bangunan milik Lee serta kelompok usahanya ditetapkan sebagai barang rampasan yang dikuasai negara. Belakangan, tanah di Tanjung Duren ini justru beralih ke pihak ketiga yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara Lee.

Satu-satunya lembaga yang berwenang mengeksekusi putusan adalah Kejaksaan. Bank Indonesia hanya menampung penyerahan uang pengganti hasil eksekusi dari Kejaksaan untuk kemudian diserahkan pada negara. Posisi kejaksaan menjadi powerful karena dialah lembaga yang mempunyai hak menentukan sita-menyita aset terpidana korupsi.

“Ini udah duit. Yang punya tanah dan aset tentu akan bilang: ‘jangan dong’. Saat satu aset saja ditetapkan disita, sang koruptor sudah blank,” kata Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar kepada Law-justice.co. Dalam keadaan seperti itu peluang negosiasi antara oknum jaksa dengan terdakwa korupsi menjadi besar.

Dalam perkara tanah di Tanjung Duren, sejumlah sumber menyakini ada keterlibatan oknum jaksa sehingga penguasaan tanah tersebut bisa beralih ke pihak ketiga. Tanah yang dilengkapi dengan lima pucuk surat tanah berupa Verponding Indonesia (VI) itu terdaftar atas nama tuan tanah orang Betawi asli, Munawar. Rinciannya adalah satu dokumen atas nama M Naseri bin Munawar dan empat dokumen yang sama atas nama Munawar bin Salbini. Munawar dikenal dekat dengan Presiden Soekarno. Dia memiliki tiga istri dan sejak 1940an telah menguasai tanah tersebut, bahkan sudah terdaftar di Kantor Wilayah BPN.

 

Belajar dari kasus sengketa tanah Central Park (ilustrasi: Erwin Kalo)

Ketika perkara Lee Darmawan diputus, tanah tersebut dinyatakan sebagai milik PT Madona Sewing Machine Manufacturers Limited yang 15% sahamnya dimiliki Lee. PT Madona sendiri berkantor di lantai tiga Gedung Bank Perkembangan Asia milik Lee yang beralamat di Jl Hayam Wuruk 102, Jakarta Pusat. Rupanya dokumen tanah tersebut sudah beralih tangan setelah ahli waris Munawar Salbini dari isteri pertama menjualnya kepada PT Madona.

“Jadi tanah itu betul memang punya PT Madonna, Lee Darmawan hanya punya saham di PT itu 15 persen,” kata John Waliry, kuasa hukum Lee, kepada Nikolaus Tolen dari Law-justice.co.

Ketika kolaps, Bank Perkembangan Asia kemudian dibeli oleh Bank Universal milik kelompok Astra yang kala itu masih dikontrol keluarga William Soeryadjaya. Aset-aset bank kolaps tersebut termasuk tanah di Tanjung Duren otomatis beralih ke Bank Universal. Itu sebabnya mengapa dokumen surat tanah Verponding Indonesia berada di tangan Stephen Z Satyahadi, Dirut Bank Universal.

Bermula dari Surat Kejagung

Keadaan mulai menjadi ruwet ketika pada 15 April 2002 Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengeluarkan perintah melakukan penelitian dan inventarisasi harta benda istri, anak dan kelompok usaha Lee Darmawan. Karena dianggap sebagai salah satu aset Lee, Kejagung meminta Bank Universal mengembalikan dokumen tanah di Tanjung Duren tersebut. Maka pada 28 Agustus 2002, Bank Universal mengembalikannya ke Kejagung.

Hanya berselang sehari, seseorang bernama Lieo Nham Kiong alias Leo melayangkan surat ke Jampidsus agar dokumen tanah itu diserahkan kepada dirinya. Leo akhirnya berhasil mendapatkan kembali dokumen tersebut. Tepatnya pada 20 Maret 2003, Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi saat itu, Soewandi bersama Kasubdit Tindak Pidana Korupsi Kejagung Sofyan Nasution dan Leo menandatangani berita acara penyerahan aset-aset sitaan tersebut.

Penyerahan dokumen didasari atas hasil pemeriksaan termasuk, menurut klaim Kejagung terhadap terdakwa Lee Darmawan yang menyatakan bahwa aset tersebut tidak lah masuk sebagai barang sitaan.  Saat penandatanganan berita acara, Leo juga menyerahkan uang sebesar Rp 406 juta sebagai pengganti dana yang pernah diterima ahli waris dari Lee  Darmawan pada 1983 silam.

“Jadi ini bukan jual beli tanah. Saya bukan beli tanah dari Kejagung. Ini (Dana Rp 406 juta. Red) adalah mengembalikan uang DP Lee Darmawan yang pernah bayar kepada ahli waris Munawar. Bukan beli tanah dari Kejagung dengan harga murah. Salah itu,” kata Leo kepada tim Metro Realitas 16 Agustus 2009 silam.

Awak Law-justice.co berusaha menghubungi Leo yang kini menjabat sebagai Vice Chairman Marketing di World Taekwondo Federation (WTF). Namun tidak ada respons. Dalam komunikasi singkat via WhatsApp yang bersangkutan hanya menjawab: “Saya Belum Kenal Bapak.”

 

Lioe Nam Khiong jadi pengurus federasi taekwondo dunia (foto: JPPN)

Keterlibatan Leo dalam sengketa tanah Tanjung Duren ini berawal dari sebuah percakapan antara dirinya dangan istri pertama Munawar, Neneng Hadidjah. Menurut pengakuan Leo, mereka berteman sudah cukup lama. Nenenglah yang meminta bantuan Leo untuk menggarap apa yang dia sebut sebagai ‘proyek’ untuk mendapatkan kembali tanah seluas 12,5 hektar di Tanjung Duren, warisan sang suami yang meninggal pada 1970-an.

Untuk itu Leo kemudian menanyakan keberadaan surat tanah yang menurut Neneng berdasarkan keterangan sang mertua, Nasli, ada di Bank Universal. “Dulu pernah pinjam uang atau gimana, gak tau. Ada urusanlah dengan Direktur Bank Perkembangan Asia, Lee,” kata Leo kepada Metro TV.

Setelah mengetahu keberadaan dokumen itu, Leo lalu menyambangi pihak Bank Universal yang dijawab pihak Bank bahwa surat-surat itu telah tersita oleh Kejagung. “Tahu ada di Kejagung, sebagai pemegang kuasa ahli waris, saya memohon agar pihak kejaksaan menyerahkan aset-aset sitaan tersebut,” kata Leo.

Pada 20 Maret 2003, keluarlah berita acara penyerahan aset-aset ini kepada pihak Leo. Ternyata menurut peyidik di kejaksaan, surat verponding ini tidak ada kaitannya dengan perkara Lee Darmawan.

Perkaranya tidaklah sesederhana itu.

Menurut kuasa hukum Lee Darmawan pada waktu itu, John Waliry, seperti disampaikannya kepada Law-justice.co, ada ‘kongkalikong’ antara Jaksa Soewandi dengan Leo. Soewandi adalah direktur penyidikan di Kejaksaan pada Jampidsus, sedangkan Jampidsus-nya waktu itu adalah Hendarman Supandji. “Saya satu liting sama dia (Hendarman Supandji), dia dekat sama SBY (Presiden. Red), dia kemudian jadi jaksa Agung,” kata John yang menambahkan bahwa Soewandi adalah orang kepercayaan Hendarman.

Modus Operandi

Modusnya, menurut John, mereka bermain lewat Soewandi. Dialah yang memanggil Lee Darmawan dan menyampaikan rencana menjual tanah itu. “Dia bilang: ‘eh itu tanah (Tanah milik PT Madonna) mau dijual. Lee Darmawan bilang, itu tanah kan nggak disita kok (12,5) hektar….Lalu kata Soweandi: kalau kau nggak mau, you ditahan. Lee Darmawan bilang, saya nggak berani tanda tangan, karena saya punya saham cuma 15 persen, mestinya PT Madonna, aturannya begitu,” cerita John.

Belakangan diketahui dokumen-dokumen milik PT Madona bukan merupakan barang sitaan dalam perkara Lee Darmawan. Ternyata dalam perkara ini jaksa tidak mengajukan surat tanah Verponding Indonesia itu sebagai barang bukti di persidangan.

Sebenarnya pada 2003 silam, PT Madona pernah meminta dokumen-dokumen itu dari Kejagung. Namun, permintaan ini belum dikabulkan hingga kemudian terbetik berita bahwa Kejagung telah menyerahkan surat-surat Verponding Indonesia itu kepada ahli waris Munawar bin Salbini melalui Lioe Nam Kiong alias Leo. Penyerahan itu dilakukan dengan membayar pengganti kerugian negara sebesar Rp 406 juta atas nama Lee Darmawan.

Di sinilah pangkal skandalnya. Pasalnya, Lee Darmawan maupun PT Madona tak pernah merasa memberi kuasa kepada Leo untuk membayar ganti rugi. Lagi pula, dokumen berupa surat-surat tanah Verponding Indonesia itu bukan lagi merupakan barang bukti yang tercakup kerangka ganti rugi dalam perkara korupsi Lee Darmawan.

Menurut penjelasan Lee Darmawan yang terekam tim Metro Realitas lewat kamera tersembunyi, dirinya pernah ‘diundang’ ke Kejaksaan untuk wawancara. Saat itu dia ditanya soal pelunasan uang sekitar 406 juta terkait dokumen tanah di Tanjung Duren. “Dia (orang kejaksaan) bilang gimana kalo saya ganti uang 600 juta lebih. Saya jawab: ‘tidak bisa Pak, ini PT Madona bukan saya punya sendiri.” Apalagi Lee tahu saat itu (tahun 2003) harga NJOP tanah di Tanjung Duren sudah Rp 6 juta per meter persegi.

Selesai sesi ‘wawancara’ itu, Lee Darmawan pulang dan menemui Dirut PT Madonna, Syarif Hidayat di rumahnya untuk memastikan status tanah di Tanjung Duren. Sang Dirut tegas mengatakan: ” Tenang aja Pak Lee, ini tanah sudah bayar lunas.”

 

Oknum kejaksaan terlibat (foto: Merdeka)

Yang terjadi selanjutnya justru Lee ditahan, karena tidak mau menerima uang dan tanda tangani. “Jadi siapa yang tanda tangani 5 verponding yang diambil untuk dikasih kepada Agung Podomor? Lieo Nahm Kiong alias Leo ini hanya orang lewat aja, supaya jangan sampai kelihatan si Agung Podomoro ini terlibat,” jelas John.

Respons Kejagung

Atas kejanggalan tersebut, John Waliry pernah mengadukan kasus ini kepada bagian pengawasan Kejagung. Pada November 2006, John bertemu Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Togar Hoetabarat dan melaporkan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Soewandi serta beberapa penyidik di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat. John menilai, para penyidik telah melakukan kesalahan prosedur dalam menangani perkara Lee Darmawan, kliennya.

Dalam persidangan barulah terungkap telah terjadi pemalsuan surat bahkan pemberian keterangan palsu. “Mungkin jaksa ini menyuruh Haii Madrawi, dulu centengnya Lee, tukang pukulnya Lee, untuk memberi keterangan palsu yang seolah-olah Lee Darmawan memberi kuasa.”

John sempat meminta Madrawi menunjukkan surat kuasa yang ditandatangani Lee yang menyatakan bersedia menjual tanah tersebut. “Palsu ternyata, bukan tanda tangannya Lee.” Atas tindakannya tersebut Madrawi sempat meminta maaf pada John. “Dia sorong tangannya kepada saya, saya tarik tangannya langsung saya dorong ke bawah mau patahin, dia berteriak, sampai hakim kaget. Hakim bilang ‘kenapa dia, kemasukan setan ya?’,” kenang John. Madrawi telah memalsu tandatangan Lee. Dia juga yang membuat sendiri denah tanah. “Jadi bukan dari BPN atau kelurahan.”

John menduga kuat ada kongkalikong antara Leo, pemegang kuasa ahli waris, dengan Jaksa Soweandi yang merupakan orang kepercayaan Hendarman Supanji. Soewandi adalah Direktur penyidikan di Kejaksaan pada Jampidsus, Jampidsusnya pada waktu itu dijabat Hendarman Supandji. “Saya satu leting sama dia (Hendarman Supandji), dia dekat sama SBY, dia kemudian jadi jaksa Agung.”

Sayang, perkara ini tidak berlanjut jauh. Ketika ditanya tindak lanjut pelaporannya, John mengaku tidak mengetahui karena pihak kejaksaan tidak pernah memberikan laporan hasil penyelidikan. Bahkan hakim yang menangangi perkara ini, Ali Mari, hanya disanksi pindah ke Manado. “Sebab, apa yang saya minta dan kemukakan dalam persidanagn, tidak dia tanggapi. Dia anggap angin lalu saja. Masak menjadi hakim nggak ngerti, dan dia putus Lee penjara 7 tahun.”

Kejaksaan menuduh Lee telah menjual tanah yang merupakan barang bukti sitaan dalam kasus korupsi Bank Perkembangan Asia (BPA). Pada 6 Januari 2006 Soewandi telah melaporkan terjadinya penjualan tanah rampasan barang bukti perkara penggelapan lahan sitaan Bank Perkembangan Asia (BPA) oleh Lee Darmawan. Padahal, menurut John, kliennya sama sekali tidak pernah menjual lahan yang menjadi barang bukti kasus tersebut.

 

Hendarman Supandji (foto: Tempo)

Kala itu Hendarman Supandji yang menjabat sebagai Jampidsus membela anak buahnya. Dia menyangkal tuduhan pemindahtanganan aset Lee Darmawan. Yang terjadi menurut Hendarman adalah pengembalian aset kepada yang berhak, karena hasil penyelidikan ternyata tanah yang bersangkutan tidak memiliki hubungan dengan perkara Lee Darmawan.

"Saya sudah tanya kepada yang bersangkutan (Soewandi). Kalau saya lihat dari laporan sepihak, tidak ada penyimpangan,” kata Hendarman, dilansir dari Detik, Oktober 2006.

Perkara aset-aset milik Lee Darmawan sempat kembali muncul pada 2015 lalu. Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung kala itu melakukan pemblokiran beberapa aset miliki Lee, yang kemudian menuai polemik di interna Gedung Bundar.

Plt Jamwas Jasman Pandjaitan membenarkan bahwa saat itu ada penyelidikan menyuluruh terhadap anggota PPA terkait dengan pembekuan aset Lee Darmawan dan beberapa terpidana kasus BLBI lainnya. Kuasa hukum Chuck Suryosumpeno (mantan ketua PPA) Haris Azhar mengatakan, saat itu PPA tengah gencar-gencarnya memulihkan aset para terpidana BLBI untuk memberikan pemasukan kepada negara.

Sampai saat ini, hasil tentang pemeriksaan tersebut belum pernah dipublikasikan oleh kejaksaan. Jasman Pandjaitan pun mengaku tidak mengetahui detail tentang hasil pemeriksaan tersebut, termasuk aset-aset mana saja yang diblokir oleh PPA.

“Saya tidak tahu. Saya dulu cuma pelaksana tugas. Dulu itu kan yang memeriksa adalah tim. Coba tanya langsung kepada Jamwas yang menjabat saat ini. Mereka pasti masih simpan data-datanya,” kata Jasman saat dikonfirmasi oleh Law-justice.co.

Jamwas Kejaksaan Agung Muhammad Yusni pun enggan merespon tentang pemeriksaan tim PPA. Ia mengaku tidak mengetahui perihal pemeriksaan tersebut. “Kan itu 2015, saya baru menjabat 2019. Enggak tahu. Perlu cek-cek dulu,” kata Yusni kepada Law-justice.co.

Jadi masih banyak yang mungkin tersembunyi dalam kasus ini. Sementara itu Agung Podomoro Group melalui anak perusahaan PT Tiara Metropolitan Jaya terus mengembangkan kawasan itu menjadi proyek master piece, Podomoro City.

Akankah pihak lain kembali menggugat hak kepemilikan tanah tersebut? Bisa saja. Apalagi jika PT Madona bisa menunjukkan dokumen yang lebih kuat atas hak kepemilikan tanah disitu. Yang pasti, pihak Agung Podomoro pun tidak tinggal diam. Mereka kemungkinan besar sudah mengurus sertifikat ke BPN. “Pertanyaannya adalah apa dasarnya dia (Agung Podomoro) bikin sertifikat, sementara asal mulanya itu girik. Girik kalau masih ada tanda tangan Pak Syarif Hidayat (dirut PT Madona), atau di PT Madona, itu bisa dipertanyakan. Apa dasar bikin sertifikat,” Kata John Waliry.

Sebenanrya pihak kejaksaan bisa membantu membongkar carut marut sengkata tanah ini. Tapi masalahnya di sengketa tanah ini jaksanya justru ikut bermain.

Kontribusi laporan: Nikolaus Tolen, Bona Siahaan, Januardi Husin, dan Teguh Vicky Andrew

(Tim Liputan Investigasi\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar