Politik Gagasan Digadang Jadi Akhir Era Politik Pencitraan

Jum'at, 04/10/2019 19:29 WIB
Mengenal Politik Gagasan (Okezone)

Mengenal Politik Gagasan (Okezone)

law-justice.co - Perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 sudah rampung. Namun ada sisa "perpecahan" yang masih terbawa di tengah masyarakat akibat dari ketatnya persaingan pesta demokrasi tersebut.

Hal itu, disebut oleh banyak pakar politik sebagai imbas dari maraknya politik identitas dan politik pencitraan yang digunakan banyak partai politik dalam meraih atensi publik. Akibatnya, masyarakat hanya melihat pilihannya sebagai sesuatu yang baik, dan lawannya sebagai sesuatu yang buruk, perpecahan pun tak terhindarkan.

Dilansir dari laman okezone, Politik identitas hingga politik transaksional di tengah masyarakat menyulut kondisi bangsa yang makin memburuk, dan menjauhkan Indonesia dari esensi utama demokrasi, yakni kesejahteraan masyarakat.

Kini, muncul banyak desakan dari masyarakat agar politik lebih menonjolkan sisi gagasan, dan tak hanya `jual omongan dan janji-janji`. Namun, memunculkan gagasan, dan mengemasnya dengan program kerja hingga memunculkan citra partai politik yang dekat dengan masyarakat.

Dosen ilmu politik Universitas Paramadina, Djayadi Hanan menjelaskan, fokus ke politik gagasan adalah memilah cara agar menghadirkan partai di tengah-tengah masyarakat.

"Bukan soal ada atau tidak ada gagasan, tapi membangun jembatan kepercayaan antara partai dan masyarakat, saya setuju itu harus dimulai dari partainya," kata Djayadi.

Dia melihat, politik gagasan haruslah ditanamkan lebih komprehensif. Seperti bagaimana partai memulai analisis praktikal tentang gagasan selama tiga tahun ke depan. Di tahun keempat dan kelima, partai bisa melihat gagasan apa yang diterima masyarakat.

Hal tersebut, kata dia, pertama memunculkan pertanyaan lebih awal tentang model gagasan yang bakal diterima masyarakat. Artinya, partai perlu menginventarisasi gagasan-gagasan apa saja yang dibutuhkan konstituen.

Kedua, bagaimana mengemas gagasan itu dalam rumusan yang lebih konkret. Misalnya melalui kebijakan publik. Djayadi mencontohkan dari segi pendidikan, mengenai presentase buta huruf yang kecil, tetapi tingkat pendidikan masih rendah.

"Artinya reformasi model pendidikan apa yang mau digagas partai. Jadi kebijakan publik macam apa yang mau diadvokasi," kata dia.

Partai Nasdem, melalui Ketua DPP bidang Komunikasi dan informasi publik Willy Aditya menjelaskan bahwa partainya mulai serius dalam menggarap ide dan gagasan dalam berpolitik dalam suatu kajian yang lebih bersifat ilmiah, bukan sebatas pencitraan.

Tema besar ini akan dibawa Nasdem dalam Kongres II Partai Nasdem pada November 2019. Dia menilai, esensi politik tidak hanya terus menerus berbicara tentang kemenangan. Sebaliknya, politik justru harus merealisasikan tujuan pembangunan dan kemajuan bangsa.

"Politik gagasan itu tak sekadar instalasi kemewahan, bukan hanya gimik," ujar Willy dalam acara diskusi terbuka bertajuk "Politik Gagasan di Era Post Ideologi" yang digelar di salah satu cafe di Jakarta Pusat.

"Sampai ke Gedung Senayan yang harusnya membicarakan kebijakan namun orang hanya bicara kemenangan. Hanya berpikir how to defend my position," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengapresiasi konsep politik gagasan yang dikembangkan Partai Nasdem. Salah satunya karena hal tersebut membuat biaya politik lebih murah.

"Melalui politik gagasan yang tak diterjemahkan secara intelektual, tapi diterjemahkan melalui rencana aksi," katanya menambahkan.

Menurut Yunarto, Nasdem memikiki modal kuat untuk mengimplementasikan hal itu. Sebab dalam Pilkada 2017, Nasdem punya banyak perwakilan yang menjadi kepala daerah.

(Hidayat G\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar