Lembaga Asing: Risiko Gagal Bayar Utang Indonesia Meningkat Tajam

Rabu, 02/10/2019 21:32 WIB
Ilustrasi perekonomian Indonesia (Harianaceh.co.id)

Ilustrasi perekonomian Indonesia (Harianaceh.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Moody`s Investor Service, lembaga pemeringkat utang internasional menyebutkan bahwa berbagai perusahaan di Indonesia rentan terkena risiko gagal bayar utang.

Hal ini tercermin dari pendapatan perusahaan Indonesia yang kian menurun bisa mengurangi kemampuan korporasi Indonesia dalam mencicil kembali utang-utangnya.

Dalam laporan bertajuk Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen seperti dilansir dari CNN Indonesia pekan lalu, Moody`s mengungkapkan Indonesia dan India merupakan dua dari 13 negara di Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar tertinggi.

Laporan itu meneliti risiko kredit dari 13 negara Asia Pasifik, yakni Australia, China, Hong Kong, Jepang, Korea, Malaysia, Selandia Baru, Australia Singapura, Taiwan, dan Thailand, termasuk dua negara lainnya, yaitu India dan Indonesia.

Sejatinya, rasio utang korporasi Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki angka terendah dibanding negara-negara lainnya. Kemudian, rasio utang terhadap pendapatan perusahaan sebelum pajak, bunga, dan depresiasi (EBITDA) juga cukup aman.

Ini mengingat 47 persen utang korporasi di Indonesia memiliki skor rasio utang terhadap EBITDA berada di bawah 4. Angka ini jauh lebih baik dibanding 11 negara lainnya.

Hanya saja, Moody`s mengingatkan profil utang korporasi Indonesia sangat buruk karena memiliki Interest Coverage Ratio (ICR) yang sangat kecil. Bahkan, sebanyak 40 persen utang korporasi di Indonesia memiliki skor ICR lebih kecil dari 2.

Adapun, ICR dihitung dari EBITDA dibagi dengan beban bunga. Jika skor ICR rendah, maka terdapat dua indikasi. Yakni, pendapatan korporasi yang kian berkurang atau beban bunga yang bertumbuh lebih tinggi. Semakin rendah skor ICR menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar kembali utang pun ikut turun.

Dalam hal ini, risiko paling rendah dimiliki Jepang, di mana seluruh utang korporasinya memiliki angka ICR di atas 2. Diikuti, Korea Selatan, di mana sekitar 5 persen utang korporasinya memiliki ICR di bawah 2. Di sisi lain, India memiliki sekitar 40 persen perusahaan yang juga memiliki ICR di bawah 2.

"India dan Indonesia menjadi dua negara yang paling rentan jika kapasitas pembayaran kembali utang-utang korporasinya bertambah parah," jelas laporan itu dikutip Senin (30/9).

Moody`s kemudian melakukan uji tekanan (stress test) kepada rasio ICR Indonesia dengan menurunkan pendapatan korporasi domestik sebesar 25 persen. Alhasil, hampir 20 persen korporasi bisa memiliki skor ICR di bawah 1. Artinya, kemampuan gagal bayar utang korporasi Indonesia bisa meningkat.

Moody`s beralasan bahwa situasi perlambatan ekonomi yang melemah membuat risiko utang korporasi Indonesia di masa datang akan memburuk. Sebab, ketika ekonomi global melambat, maka permintaan akan hasil ekspor Indonesia juga akan berkurang. Hal ini akan menekan permintaan komoditas Sumber Daya Alam (SDA), di mana sektor tersebut merupakan salah satu debitur terbesar kredit korporasi di Indonesia.

"Di Indonesia, pendapatan melemah bagi korporasi yang bergerak di sektor komoditas dan membuncahnya persediaan beberapa komoditas tertentu, seperti minyak kelapa sawit. Di saat yang bersamaan, kemampuan membayar kembali utang korporasi di Indonesia memiliki utang valas tidak diproteksi dengan lindung nilai. Saat ini, utang valas memiliki porsi 18 persen dari total utang korporasi Indonesia," tulis laporan itu.

Meski demikian, Moody`s menilai perbankan Indonesia sudah mengantisipasi kemungkinan itu dengan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Hanya saja, rasio utang bermasalah terhadap CKPN dan ekuitas bank juga cukup tinggi, yakni di kisaran 30 persen.

"Menurut stress test kami, kenaikan kredit bermasalah akan menurunkan rasio permodalan perbankan sebesar 1 persen hingga 4 persen di Asia Pasifik, dan akan berdampak paling besar di India, Indonesia, Korea Selatan, dan Taiwan. Namun, tiga negara yang disebutkan belakangan ini memiliki rasio permodalan yang tinggi, sehingga amunisinya masih banyak," pungkas laporan tersebut.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar