Pendeta Yoman: Penguasa & Aparat Indonesia Rasis & Fasis

Rabu, 02/10/2019 11:05 WIB
Pendeta Dr. Socratez Yoman (Youtube)

Pendeta Dr. Socratez Yoman (Youtube)

Jakarta, law-justice.co - Tokoh Agama terkemuka di Papua Pendeta Dr. Socratez S. Yoman menilai penguasa negara Indonesia dan aparat keamanannya berwatak dan berjiwa rasis serta fasis.

Kata dia, mereka disebut sebagai pemilik dan penyebar hoaks, pelaku tindakan anarkis, pencipta konflik membantai dan memusnahkan orang asli Papua dengan watak kriminalnya.

Menurutnya seperti melansir Jubi.co.id, aparat keamanan memakai pendekatan etnisitas untuk memelihara hubungan dengan berbagai kelompok dalam masyarakat.

Hubungan dengan kelompok tertentu dipelihara dengan cara pandang yang mengarah kepada rasisme dan dapat mengembangkan rasa kebencian rasial.

Kelompok tertentu ini dibiarkan melakukan persekusi bahkan tindakan kriminal terhadap kelompok masyarakat yang lain.

Kelompok yang menurutnya sengaja dipelihara itu, dilindungi dan diberikan doktrin-doktrin rasis, fasis dan kebencian. Kelompok ini cenderung leluasa melakukan tindak kekerasan, bahkan di depan mata aparat keamanan sendiri.

“Sebaliknya para pejuang keadilan, perdamaian, hak hidup dan kesamaan derajat dan demo damai yang melawan rasisme Indonesia ditangkap, disiksa, dipenjarakan dan ditembak mati. Nilai Pancasila semu dan hampa tanpa roh yang dimiliki dan dibanggakan para penguasa. Tidak ada keadilan. Tidak ada kemanusiaan. Tuhan Allah juga dilawan..,” ujar Pendeta Dr. Socratez S. Yoman.

Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua ini mengatakan rasisme telah menjadi musuh utama dan musuh bersama rakyat Papua, Indonesia dan komunitas internasional.

“Senjata penguasa telah dan akan berhasil membunuh tubuh rakyat dan bangsa Papua, tapi tidak pernah membunuh roh ideologi dan nasionalisme dan harapan rakyat dan bangsa West Papua,” katanya.

Mahasiswa Papua, Alleb Koyau mengatakan, periode pertama pemerintahan Jokowi-JK negara ini seolah panen raya korban kriminalisasi hanya karena menuliskan atau mengatakan sesuatu.

“Tetapi dikriminalisir oleh aparat keamanan terutama polisi berdasarkan ‘like’ dan ‘dislike’,” ujar Alleb Koyau.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar