Cek Fakta, Suami Perkosa Istri Bisa Dibui Seperti di RUU KUHP?

Selasa, 01/10/2019 21:46 WIB
Ilustrasi selingkuh (serujambi.com)

Ilustrasi selingkuh (serujambi.com)

Jakarta, law-justice.co - Gelombang demo mahasiswa menolak RUU KUHP sampai saat ini belum surut.

Dengan demikian, KUHP peninggalan Belanda saat ini masih berlaku.

Salah satu pasal yang disoal adalah `suami perkosa istri`. Bisakah suami perkosa istri, fakta atau isu belaka?

"Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun," demikian bunyi Pasal 479 ayat 1 seperti dilansir dari Detik.com, Minggu (29/9/2019).

Dengan definisi di atas, maka bisa saja seorang suami memperkosa istrinya. Dengan syarat yaitu si istri sedang tidak mau berhubungan badan dan si suami melakukan kekerasan.

Apakah rumusan di atas hal yang baru? Ternyata tidak. Definisi serupa juga tertuang saat ini dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Hal itu sesuai dengan asas KUHP yaitu melakukan kodifikasi hukum.

Namun dalam UU PKDRT, tidak menggunakan istilah pemerkosaan, tetapi kekerasan seksual. Pasal 8 huruf a UU PKDRT berbunyi:

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Adapun Pasal 46 UU PKDRT berbunyi:

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta.

Dalam catatan, sedikitnya sudah ada 2 kasus yang dikenakan pasal tersebut. Kasus pertama terjadi di Denpasar pada 2015. Yaitu Tohari memperkosa istrinya yang sedang sakit-sakitan. Beberapa pekan setelah itu, Siti meninggal dunia. Atas hal itu, PN Denpasar menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara kepada Tohari.

Kasus kedua yaitu Hari Ade Purwanto memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur pada 2011. Hari beralasan sudah kewajiban istri melayani suami, sesuai agama yang ia yakini.

Namun pembelaan diri Hari ditolak dan akhirnya dihukum 16 bulan penjara. Putusan itu bergeming hingga tingkat kasasi dengan ketua majelis hakim Prof Komariah E Sapardjaja serta hakim anggota Suhadi dan Salman Luthan.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Adriana, memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual adalah bentuk pemerkosaan terhadap istri atau lebih tepatnya marital rape. Marital rape sering disebut kekerasan seksual. Marital Rape adalah hubungan seksual antara pasangan suami istri dengan cara kekerasan, paksaan, ancaman atau dengan cara yang tidak dikehendaki pasangannya masing-masing.

"Jadi KDRT itu dia memaksa istrinya untuk melakukan sesuatu tapi dia tidak mau. Itu bentuk pemerkosaan atau kekerasan seksual pada perempuan ekstrem yang dapat berakhir kepada kematian," ujar Adriana.

Dalam catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2018 yang dibuat Komnas Perempuan, kasus marital rape sudah ada dasar hukum dalam UU PKDRT, namun masih minim dilaporkan. Setidaknya terdapat 4 kasus yang dilaporkan ke KP, dan hanya 4 kasus yang ditangani Pengadilan Negeri (PN). Namun yang ditangani oleh Pengadilan Agama, belum terdata secara eksplisit.

"Marital rape dalam perspektif korban adalah kekerasan terhadap istri dalam bentuk persetubuhan paksa dengan cara tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan. Data yang dicatat Komnas Perempuan adalah pemaksaan hubungan saat menstruasi, memaksa berhubungan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan merusak kesehatan produksi," demikian laporan Komnas Perempuan `Korban Bersuara, Data Bicara: Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara`," demikian hasil temuan Komnas Perempuan.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar