Dokter Mangku: Saya Tidak Menerima Sepeser pun dari Pasien

Minggu, 29/09/2019 19:33 WIB
Dokter Mangku Sitepoe (law-justice.co/ Nikolaus Tolen)

Dokter Mangku Sitepoe (law-justice.co/ Nikolaus Tolen)

law-justice.co - September tahun ini, dokter Mangku genap 84 tahun. Setengah abad sudah ia mengabdi bagi sesama, sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1963.

Dokter bernama lengkap Mangku Sitepoe ini telah memberikan lebih dari separuh hidupnya untuk aksi sosial dengan terjun langsung merawat orang tak mampu, tanpa pamrih. Dia mengaku tidak menerima uang sepeser pun dari pasien yang dirawatnya.

Ia hanya meminta 10 ribu rupiah dari setiap pasien yang datang, untuk membayar tenaga administrasi yang membantu kegiatannya sehari-hari di klinik.

“Perlu diluruskan, kami, dan khususnya saya, tidak menerima sepeser pun uang dari hasil perawatan pasien. Uang 10 ribu itu untuk yayasan, agar orang yang menjaga pendaftaran itu bisa dibayar,” katanya tegas, menanggapi pemberitaan bahwa dirinya memasang tarif 10 ribu dari setiap pasien yang dirawat.

Untuk biaya hidup sehari-hari, Mangku hanya mengandalkan uang pensiunan sebesar tiga juta rupiah, bantuan dari anak-anaknya serta hasil  penjualan buku yang ditulisnya.

Hingga di usia senjanya saat ini, dia terus bekerja demi melayani pasien yang membutuhkan bantuannya. Tak tanggung-tanggung, Mangku selalu menyediakan waktu kapan saja untuk  melayani pasien.

Dalam seminggu, Mangku masih bisa melayani di dua poliklinik. Hari Rabu dan Sabtu dia praktik di Klinik Pratama Bhakti Sosial kesehatan Santo Tarsisius  di Kebayoran Lama,  Jakarta Selatan. Sedangkan Kamis, Jumat, dan Minggu di Klinik Gereja Santo Yohanes Penginjil di Kawasan Melasai, Blok M, Jakarta Selatan.

Hari Senin dan Selasa, ayah dari tiga anak ini beristirahat tidak terima pasien. Namun ia tetap datang melihat kliniknya yang berada di Kebayoran Lama.

Saat ditemui law-justice.co, dokter yang pernah mengenyam ilmu di Prancis dan Denmark ini sedang praktik di Klinik Pratama Bhakti Sosial kesehatan Santo Tarsisius Kebayoran Lama.

Dokter Mangku nampak sangat bugar di usianya yang sepuh. Jalannya masih tegap, suara dan kalimat yang diucapkanya terdengar sangat jelas dan lantang, begitu juga dengan penglihatannya, meski pun sudah dibantu kaca mata baca.

Satu-satunya yang menunjukkan bahwa dia sudah sangat berumur adalah kondisi kedua tangannya yang sudah mulai bergetar saat memegang atau mengambil sesuatu. Namun, kelamahan itu tak seberapa, karena dia menganggap  hal itu sudah biasa, dan tidak mempengaruhi aksi sosialnnya.

Rajin berolahraga dan berbuat baik terhadap sesama adalah kunci dari kebugaran tubuhnya itu. Dia mengaku saat ini masih sering berenang, karena saat melakukan olahraga itu, semua otot di tubuh ikut bergerak.

Setelah berkenalan, Mangku langsung mengajak law-justice.co ke ruangannya. Sepanjang perjalanan dari pojok kiri ke kanan bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 6700 meter persegi itu, dia memperkenalkan beberapa ruangan kepada saya. Saat itu, pasien yang datang ke klinik baru sedikit, karena pelayanan baru dimulai pada pukul 14.00-17.00 WIB.

“Di sini juga ada dokter lain yang merawat pasien. Mereka di bagi-bagi di beberapa ruangan. Ini yang tempat kita lewati ini ruang tunggu pasiennya. Kalau ruangan saya, ada tersendiri di pojok sana,” ceritanya sambil berjalan dengan menenteng tasndi tangan kanannya.

Sampai di ruangannya, dokter yang sangat memperhatikan penampilannya itu langsung merapikan ruangannya. Barang yang ada di atas meja langsung ditaruhnya di lantai, lalu kemudian dia merapikan jas dan stetoskop yang melingkar di lehernya.

“Saya harus rapikan dulu, biar bagus,” ujarnya.

Awal Mula Terjun ke Aksi Sosial dan Klinik Didirikan

Setelah beres semuanya, Mangku pun bercerita ihwal awal aksi sosial yang digalangkannya hingga kini. Ingatannya masih jernih. Dia  masih bisa menelusuri momen yang terjadi 1956,  saat baru lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) di Medan. Di tahun yang sama dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Gajah Mada (UGM)

Berdirinya klinik gratis  bermula saat Ulang Tahun RI ke-50 tahun 1995. Mangku menceritakan bahwa yang menggagas klinik sosial ini bukanlah dirinya. Adalah Wijanarko, ajudan Presiden Soekarno sebenarnya yang menjadi pencetus pertama kali lahirnya ide tersebut. Selain sebagai ajudan Soekarno, Widjanarko adalah Kepala Dewan Paroki Gereja Yohanes Penginjil Melawai, Jakarta Selatan.

“Dia bilang, ‘mari kita turun ke bawah mengadakan bakti sosial kesehatan. Waktu itu kami hanya berlima,  saya, dokter Widi, sisanya saya lupa namanya. Kita mulai tanggal 17 Agustus sampai September, itu berapa kali itu. Jadi Pak Widjanarko ini memersiapkan satu ruangan di gereja, dia Ketua Dewan paroki. Tetapi waktu itu, kita  baru tiga atau empat dokter yang baru bisa praktik di satu ruangan itu,” ceritanya.

Tapi, ternyata praktik satu kali dalam seminggu, dianggap tidak cukup. Profesor Iwan Darmawansyah, seorang Farmakolog (ahli obat) dari Fakultas Kedokteran Univeristas Indonesia (UI) yang juga menjadi perwakilan WHO di Indonesia, mengkritik langkah mereka. Iwan menilai, praktik hanya satu kali dalam seminggu dinilai tidak efektif. Maka dipanggilah Mangku untuk mengubah ritme kerja mereka.

“Misalnya sunatan masal, kamu buat, tapi setelah sunatan itu, kan dia masih diobati, kemana dia, itu contohnya. Harus dibuat namanya poliklinik yang bersifat permanen,” kata Mangku menirukan pernyataan Iwan.

Dari  semua itu, sebenarnya pernyataan kedua dari Profesor Iwanlah yang mengubahnya. Kalimat Iwan yang mengatakan  bahwa setiap individu yang berakal sehat, pasti ingin membantu sesama tanpa pamrih membuatnya terenyuh. Sejak saat itu dia bersama koleganya yang lain, tidak lagi memikirkan uang.

Bahkan salah satu kolega mereka yang menjadi pengusaha obat langsung bekerja ekstra keras untuk mengumpulkan obat untuk dikirim ke klinik di Melawai. Obat yang terkumpul pernah mencapai satu truk, dan diterima tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

Dengan fasilitas yang sudah lengkap itu, Mangku dan kawan-kawannya hanya menyiapkan alat bagi dokter untuk merawat pasien. Mereka pun tak memungut bayaran setiap kali pasien dirawat.

Namun, sebuah kejadian mengubah semuanya. Kebaikan mereka dimanfaatkan oleh sebagian pasien. Mereka berpura-pura sakit untuk mendapatkan obat gratis, kemudian menjualnya kembali.

Peristiwa itu langsung diketahui oleh Gunawan yang adalah seorang pengusaha yang memasukan obat ke klinik mereka. Akibatnya, mereka pun menetapkan tarif sebesar 2.500 rupiah hingga saat ini menjadi 10 ribu rupiah untuk administrasi dan pembayaran obat.

Mangku juga mengaku tanah yang saat ini menjadi lokasi Klinik di Kebayoran Lama diberikan dengan cuma-cuma oleh donator. Namun, kini dia mulai khawatir karena untuk memperpanjang proses perizinan syarat yang dipenuhi menjadi semakin banyak.

Lahan yang  batal didirikan gereja karena didemo Front Pembela Islam (FPI) itu terancam tidak akan berguna lagi jika perpanjangan izinnya tidak dikabulkan.

Sebelum terjun ke klinik sosial, Mangku sebenarnya mulai tertarik dengan aksi sosial saat berjumpa dengan seorang Mayor Jenderal TNI yang bekerja sebagai dokter psikiater di RSPAD Soebroto pada tahun 1992. Tentara itu memintanya untuk berpraktek di rumahnya, ketika dia baru saja pensiun dari Departemen Pertanian.

Ketertarikan Mangku makin mengakar ketika tentara tersebut mengajaknya bekerja sukarela di Klinik Paroki Bunda Karmel Tomang Slipi. Disana dia hanya dibayar 50 rupiah sekali perawatan. Hal itu berbeda sekali saat dia berpraktik di rumah tentara, semuanya serba ada dan mencukupi.

Dokter Hewan Tapi Merawat Manusia

Setelah lulus dari sekolah Belanda setingkat SMA di Medan pada Tahun 1956, Mangku memantapkan pilihan untuk menjadi dokter hewan. Salah satu alasan dia memilih untuk menjadi dokter hewan adalah, karena kecintaanya akan hewan. Selain itu dia juga mengaku memiliki kesamaan dengan hewan pemamahbiak.

Bermodalkan uang secukupnya, dia berangkat dengan menaiki kapal dari tanah Sumatera ke Tanah Jawa. Selama mengikuti tes dan menunggu kabar kelulusan dia menginap di hotel kecil di Yogyakarta. Selama disana, kisah menarik dan lucu pun mulai bermunculan. Mulai dari perbedaan  bahasa yang mengundang tawa teman-temannya.

Pada tahun kedua di UGM, Mangku terpaksa menarik becak selama dua bulan karena tidak  mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya. Namun, harapannya mulai terang ketika pada tahun ketiga dia mendapat ikatan dinas dari daerahnya. Hal itu pula yang membuatnya langsung ke Langkat, usai lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan tahun 1963.

Disana dia langsung menjadi kepala dinas kehewanan. Dia adalah dokter kedua dari tanah kelahirannya, satunya lagi adalah dokter umum.

Namun, karena kekurangan dokter umum, masyarakat pun tak ambil pusing untuk datang berobat ke dokter Mangku yang adalah dokter hewan. Dia mengaku sempat menolak, karena dia bukan dokter umum, tapi karena kasihan dia pun melayaninya. Dan hasilnya pun positif, pasien yang berobat kepadanya sembuh.

“Karena hewan dan manusia itu sebenarnya sama. Di Prancis dan Denmark, sebelum dicobakan ke manusia, obat terlebih dahulu dicobakan ke hewan. Yang membedakan itu hanya dosisnya saja,” katanya.

Pasien Membuat Mangku Bertekad Jadi Dokter Umum

Tak pernah terbersit dalam  benaknya untuk menjadi dokter umum. Namun, berbagaikejadian yang dialaminya itu membuatnya memutuskan untuk kuliah lagi di Universitas Sumatera Utara (USU) dan mengambil jurusan kedokteran umum pada tahun 1967.

Tak seperti saat kuliah waktu jadi dokter hewan,  Mangku harus menghadapi aturan baru, bahwa setiap mahasiswa harus hadir di kelas saat kuliah. Padahal dia saat itu bekerja di dinas pertanian dan perhewanan.

Alhasil untuk menyelesaikan tingkat empat dan lima dia membutuhkan waktu lima tahun, padahal normalnya hanya dua tahun. Akibatnya setelah 10 tahun, Mangku baru bisa menyelesaikan pendidikan dokter umumnya. Ia lulus pada 1978.

Lulus bukan berarti Mangku langsung bisa praktik. Karena baru mendapatkan gelar sarjana kedokteran, ia belum mendapatkan surat izin dokter (SID) dari departeman kesehatan. Berbeda saat menajdi dokter hewan, dimana ia bisa langsung berpraktik setelah lulus dari UGM.

Mangku baru mendapatkan SIP pada tahun 1979. Saat itu dia juga tetap bekerja di dinas kehewanan.

Tak lama setelah itu dia pindah ke Bojonegoro untuk menjadi kepala Dinas Keresidenan  Bojonegoro. Di Jawa Timur, Mangku dia tidak membuka praktik lagi, meski juga tetap melayani orang yang datang.

Selama menjadi dokter umum, dia tidak pernah melayani di rumah sakit. Statusnya terakhir adalah pensiunan dari Departemen Pertanian pada 1992. Setelah itu, dia lebih banyak memberikan waktunya untuk membantu sesama.

 

 

 

(Nikolaus Tolen\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar