Kisruh Status Tanah Central Park (Tulisan-1)

Agung Podomoro Krisis, Gadaikan Central Park di Tanah Sengketa

Jum'at, 27/09/2019 13:18 WIB
Kawasan Perkantoran dan Mall Central Park (Foto:Jkt.go.com)

Kawasan Perkantoran dan Mall Central Park (Foto:Jkt.go.com)

Jakarta, law-justice.co - PT Agung Podomoro Land (APLN), perusahaan properti milik taipan Trihatma Kusuma Haliman, dilaporkan tengah mengalami kesulitan likuiditas. Bisnis properti yang melesu di sejumlah daerah terutama proyek high-rise di luar Jabodetabek, berdampak pada kinerja keuangan. Beberapa proyek APLN gagal mencapai target pre-sales sehingga perusahaan yang mulai dirintis sejak 1969 tersebut kerepotan menutupi biaya operasional, termasuk beban bunga serta modal kerja.

Kesulitan likuiditas membuat rating atau peringkat perusahaan diturunkan menjadi CCC- dari sebelumnya B- oleh Fitch Ratings. Laporan Fitch pada 17 Juli 2019 menunjukkan arus kas operasi APLN tercatat minus Rp 880,23 miliar. Ini menjadi indikasi rendahnya tingkat likuiditas perusahaan. Fitch bahkan memproyeksikan arus kas operasi perusahaan akan tetap negatif setidaknya dalam dua tahun ke depan.

Lihat saja kinerja perusahaan pada 2018. Menurut laporan keuangan, pendapatan dan penjualan usaha APLN turun sebesar 29% di angka Rp 5,035 triliun dari Rp 7,0430 triliun pada 2017. Sementara laba kotor turun 29,3% menjadi Rp 2,418 triliun dari sebelumnya Rp 3,4221 triliun. Laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun ke angka Rp 29,5 miliar dari Rp 1,371 triliun.

“Ya kalau bicara properti secara umum, memang lagi challenging. Suplai yang sudah begitu banyak, tidak dibarengi dengan permintaan yang sesuai,” kata Director konsultan properti Colliers, Bagus Adikusumo kepada Law-justice.co.

Apalagi menurut Bagus sekarang konsumen cenderung milih-milih sebelum memutuskan membeli hunian, baik itu apartemen maupun rumah tinggal. Mereka lebih tertarik membeli rumah tinggal yang lokasinya dekat sarana transportai umum seperti kereta api, LRT, atau MRT. “Jadi bukan enggak punya duit untuk beli mobil, tapi karena macet, mereka sekarang milih-milih.”

Pre-sales tidak lagi setinggi tahun-tahun sebelumnya. Banyak pengembang terutama grup-grup besar menjadi lebih hati-hati melakukan ekpansi dan pembangunan. “Keadaan memang cukup serius bagi para pengembang.”

Sementara itu lembaga pemeringkat utang Moody`s Investors Service juga menurunkan peringkat APLN beserta Senior Notes 2024 menjadi `B2` dari `B1` dengan prospek pada semua peringkat diubah menjadi peringkat `Dalam Pengawasan` dari `Negatif`.

"Penurunan peringkat ini disebabkan oleh apa yang diasumsikan oleh para pemeringkat mengenai meningkatnya risiko pembiayaan kembali dan likuiditas APLN yang disebabkan oleh keterlambatan dalam menerbitkan fasilitas pinjaman tahap kedua," jelas Sekretaris Perusahaan APLN F. Justini Omas dalam keterangan tertulisnya pada pertengahan Agustus lalu.

Agung Podomoro sebenarnya termasuk pemain lama di sektor properti. Perusahaan yang menguasai 50-60 persen pasar apartemen ini sempat menjadi salah satu pengembang paling aktif. Proyeknya tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan skala besar-besar. Sejak 2010 agresifitas APG makin menjadi. Melalui PT Agung Podomoro Land (APLN) yang merupakan entitas utama grup yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, mereka mengembangkan sejumlah proyek besar di Jakarta, Bogor, Karawang, Bandung, Balikpapan, Medan, dan Bali. Bersama Agung Sedayu, keduanya pernah dijuluki Dua Naga Properi. Sebagaimana dikatakan Bagus, keduanya merupakan market driven properti tanah air.

Bantah Isu Jual Central Park

Sempat beredar info terutama di kalangan pelaku pasar saham bahwa raksasa properti terbesar di Indonesia ini hendak menjual salah satu properti miliknya, yakni Central Park dan Senayan City untuk membayar utang. Nilai valuasi Central Park pada akhir 2018 sudah mencapai Rp 6,3 triliun. Isu ini sempat mengerek harga saham Agung Podomoro Land (APLN) 32,98% ke level Rp 250 pada pukul 11.34 WIB pada 3 September lalu, dari posisi saat pembukaan Rp 190. Meski kemudian saham APLN ditutup hari itu pada posisi Rp 238 per saham.

Sekadar informasi APLN adalah perusahaan publik yang melantai di Bursa Efek Jakarta pada 2010. Pada waktu itu perusahaan berhasil meraup Rp 2,24 trilin rupiah dari 6,15 miliar saham yang ditawarkan.

Kabar penjualan Central Park tersebut seolah menjadi katalis di tengah informasi yang menyebut bahwa perseroan memiliki risiko gagal bayar utang terkait fasilitas kredit sindikasi dari enam bank. Utang itu mencapai Rp 1,3 triliun yang jatuh tempo pada Juni 2020. Saat hal itu dikonfirmasi oleh awak Law-justice.co, pihak APLN lewat Sekretaris Perusahaan Justini Omas menjawab singkat melalui WhatsApp: ”Konfirmasikan saja dari yang kasih informasi itu ya.”

Central Park dan Senayan City merupakan sumber income paling menjanjikan bagi Agung Podomoro. Kedua tempat tersebut kerap ramai pengunjung apalagi saat weekend. Banyak keluarga menghabiskan waktu di sana karena fasilitasnya cukup lengkap. Central Park dikelilingi sejumlah apartemen di kawasan Tanjung Duren. Manusianya sudah berjubel di situ.

 

Agung Podomoro: Pengembang: raksasa property terbesar (foto: Ist)

Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi APLN untuk menjual superblock Central Park yang diresmikan pada tanggal cantik 09 September 2009 (09-09-09) lalu. Kawasan terintegrasi yang telah menggaet sejumlah penghargaan internasional tersebut terlalu bernilai untuk dilepas. Sejak dulu Central Park selalu menjadi jaminan bagi perusahaan untuk mendapatkan pinjaman. Dua obligasi terakhir senilai total Rp 550 miliar yang terbit pada 2015 lalu menggunakan Central Park Mall sebagai jaminan. "Valuasinya terakhir Rp 6,3 triliun," kata Justini Omas.

Demikianlah yang terjadi saat ini. Manajemen baru saja mengungkapkan sumber dana yang akan digunakan untuk membayar utang-utangnya. Perseroan kemarin (26/9) telah memutuskan untuk menjaminkan asetnya, Central Park Mall yang terdiri dari sertifikat hak milik atas rumah susun, piutang, pembayaran asuransi dan pengalihan perjanjian serta jaminan gadai atas rekening para pemegang obligasi senilai total Rp 550 miliar serta pinjaman dari PT Bank Maybank Indonesia.  

Jaminan tersebut akan digunakan untuk mendapatkan pinjaman sebesar maksimal US$ 127 juta atau Rp 1,77 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) yang telah diperoleh perusahaan dari Credit Opportunities II Pte. Limited dan kreditor lain yang difasilitasi oleh Madison Pacific Trust Limited. Demikian menurut informasi yang dirilis perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis malam (26/9).

Selain pinjaman itu, ada juga tambahan dana senilai Rp 800 miliar yang akan diperoleh dari hasil penerbitan saham baru rights issue. Pemegang saham pengendalinya, yakni PT Indofica dan pesaham lain, tapian Trihatma Kusuma Haliman (sang pemilik grup) telah siap berkomitmen untuk menyerap saham baru tersebut. Keduanya bahkan telah memberi uang muka setoran modal. Indofica sebesar Rp 769,33 miliar, sedangkan Trihatma memberi dana senilai Rp 30,66 miliar. Untuk rencana rights issue, perusahaan akan meminta persetujuan pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 5 November 2019 mendatang.

Menelisik Status Tanah Central Park

Central Park Mall yang dijadikan jaminan pinjaman memiliki luas lantai 188.077 meter persegi. Mall ini merupakan bagian dari kompleks superblock Podomoro City, Tanjung Duren, Jakarta Barat, dengan total lahan seluas 22 hektar.  Di sana terintegrasi bangunan apartemen, hotel, shopping centre, perkantoran, dan sarana pendidikan yang dipadu dengan ciri utamanya yakni ruang terbuka hijau berupa taman seluas 1,5 hektar.

Namun di balik megahnya proyek yang menjadi salah satu ikon APL – pengembang yang menguasai 50-60 persen pasar apartemen di Jakarta itu – ternyata menyimpan sejumlah sengketa. Status kepemilikan tanah di sana tak kunjung terang penyelesaiannya.

Tentang Central Park, seorang mantan Jaksa kepada Law-justice.co pernah mengatakan bahwa penguasaan tanah oleh Agung Podomoro yang kini di atasnya dibangun antara lain Central Park itu, sebetulnya bermasalah. Tanah itu pernah hendak disitia negara terkait kasus Bank Perkembangan Asia dengan tersangka Lee Darmawan. Saat Jaksa hendak menyita aset tersebut, ternyata banyak girik yang bodong. Dan karena tanah itu bukan dianggap sebagai barang bukti, maka dikembalikanlah kepada pemiliknya. Nah, menurut dia orang-orang ini lalu menjualnya ke Agung Podomoro.

Sang mantan Jaksa yang enggan disebut identitasnya itu mengatakan: “Yang nempatin sekarang (Agung Podomoro. Red) ya gini-gini (sambil memeragakan tangan kanannya sebagai gerakan detak jantung. Red)…kapan-kapan, suatu saat akan jadi sengketa karena yang pegang itu bukan orang pemilik tanah. Lee Darmawan (terdakwa kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Red) juga masih ingin tanahnya itu.”

Dia kemudian berujar, siapa sebenarnya pemilik tanah di kompleks Central Park? Kenapa kepemilikannya sampai ke Agung Podomoro? “Coba telusuri secara masif,” ujarnya.

Berdasarkan hasil telusuran awal Law-Justice.co, tanah di kawasan Tanjung Duren yang kini berdiri sejumlah bangunan termasuk Central Park Mall, semula dimiliki seorang tuan tanah penduduk asli Betawi Munawar bin Salbini. Dia adalah orang kepercayaan mantan Presiden Soekarno dan dikenal sebagai raja tanah. Tanahnya bertebaran di sejumlah pelosok Jakarta. Tanah tersebut telah dimiliki Munawar sejak 1940-an. Luasnya sekitar 12 hektare. Sebagai bukti, ia memiliki lima verponding Indonesia (VI) yang terdaftar di Kantor Wilayah BPN.

Seorang penduduk senior di Tanjung Duren yang ditemui awak Law-justice.co namun minta agar identitasnya tidak dimunculkan, mengungkapkan dulu ada seorang pria keturunan Tionghoa yang mengurusi tanah-tanah di sini, bernama Leo. “Dia orang Cina cuma Cina mana, saya tidak tahu. Waktu itu saya pernah diundang melalui camat ya, camatnya yang sekarang jadi Walikota (Jakarta Barat. Red), Pak Rustam (Effendi). Waktu itu soal tanah juga, dimana tanah mertua saya waktu itu diaku punya sertifikat oleh Pak Leo. Itulah permainan orang yang punya duit dengan pejabat, tanah belum dijual kok ada sertifikat,” jelasnya.

Sosok Leo (Lioe Nam Khiong) atau yang juga dikenal dengan nama William Leo bukanlah figur asing saat membicarakan soal sengketa tanah di kawasan Tanjung Duren. Pria bertubuh gempal ini pernah aktif mewakili ahli waris keluarga almarhum Munawar untuk memperebutkan kembali tanah warisan mereka di Tanjung Duren.

Munawar yang orang Betawi asli ini memiliki tiga istri. Semuanya pribumi. Ahli warisnya, kini ada 23 orang. Mereka mempercayakan perebutan warisan itu pada Leo yang mengaku berteman lama dengan istri pertama Munawar, Neneng Hadidjah. Persoalan kemudian menjadi tambah rumit karena ada juga sengketa antar para ahli waris atas tanah tersebut.

 

Oknum Jaksa terlibat penjualan aset pengemplang BLBI (Foto: aktual)

Tanah di Tanjung Duren itu juga sempat tercatat sebagai aset milik terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Lee Darmawan Kertarahardja Harijanto alias Lee Chin Kiat.

“Dulu ada Bank Perkembangan Asia, tersangkanya Lee Darmawan, pinjam kredit BI, gak terbayarkan. akhirnya jaksa sita, jaksa pada waktu mengusut itu, menyita surat, bukan sita barangnya,” ungkap seorang narasumber Law-justice.co.

Lee Darmawan adalah pimpinan PT Bank Perkembangan Asia yang terbukti mengemplang dana BLBI. Atas perbuatannya tersebut, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI nomor 1662/Pid/1991 pada 21 Maret 1992, Lee diwajibkan membayar uang pengganti Rp 85 miliar dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.

Kejaksaan telah menyita aset dan dokumen koruptor Lee Darmawan, termasuk dokumen berupa lima surat tanah Verponding Indonesia seluas 12,5 hektare di Tanjung Duren, Jakarta Barat, atas nama M Naseri bin Munawar (satu dokumen) dan empat dokumen yang sama atas nama Munawar bin Salbini. Dalam salah satu butir putusan MA disebutkan: sejumlah tanah, termasuk tanah verponding Indonesia (hak milik) seluas 12,5 hektare di Tanjung Duren, Jakarta Barat, harus dikembalikan kepada PT Madona. Lee adalah salah satu pemegang saham PT Madona.

Namun ahli waris Munawar, yakni istri pertamanya, Neneng Hadidjah, merasa dirinya lah yang lebih berhak atas tanah di Tanjung Duren tersebut. Untuk itu dia meminta bantuan Leo mengurus agar tanah tersebut dapat kembali ke tangan ahli waris. Yang pasti, Leo kemudian berhasil mendapatkan dokumen-dokumen itu dari Kejaksaan Agung pada Maret 2003. Menurut narasumber Law-justice.co yang akrab dengan perkara ini, ada oknum kejaksaan yang menjual barang sitaan tersebut ke pihak ketiga.

“Ibu Neneng datang ke saya, kebetulan dia juga teman lama saya, minta urus tanah itu. ‘Kalo bisa kita jual murah pun tak apa-apa…putus satu harga, Pak Leo lalu yang beli tanah itu,’ demikian penjelasan Leo saat wawancara dengan redaksi Metro Realitas yang ditayangkan pada 16 Agustus 2009 silam.

Belakangan diketahu, Leo mengalihkan lahan itu kepada Trihatma K Haliman, bos PT Agung Podomoro. Law-justice.co berusaha mengonfirmasi info tersebut tetapi hingga artikel ini diturunkan belum ada respons dari yang bersangkutan. Seorang narasumber membenarkan bahwa perusahaan tidak membeli tanah di Tanjung Duren dari pemilik langsung. "Oknum jaksa ini menyerahkan (tanah) ini pada orang-orang ini, lalu mereka menjualnya kepada Agung Podomoro." Sementara itu pihak Lee Darmawan pun diketahui masih akan terus memperjuangkan haknya.

Kontribusi Laporan: Yudi Rachman, Teguh Vicky Andrew, Bona Siahaan

(Tim Liputan Investigasi\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar