Takut Pasal Zina RKUHP, Turis Batalkan Kunjungan ke Bali

Senin, 23/09/2019 10:30 WIB
Ilustrasi Turis Mancanegara (Elshinta.com)

Ilustrasi Turis Mancanegara (Elshinta.com)

Jakarta, law-justice.co - Turis mancanegara asal Australia membatalkan niatnya berlibur ke Bali gara-gara Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang rencananya akan disahkan DPR pada 24 September 2019 besok.

Aturan atau beleid ini memang menuai protes di dalam negeri lantaran sejumlah pasal yang dianggap bermasalah.

Elizabeth Travers, pengusaha Australia yang mengelola 30 vila di Bali, mengaku sudah menerima pembatalan perjalanan dari klien langganannya karena khawatir.

"Saya katakan kepada mereka (undang-undangnya) belum disahkan. Tapi saya sudah menerima pembatalan. Mereka bilang tidak mau datang ke Bali karena mereka belum menikah," ungkap Travers seperti melansir Viva.co.id.

Ia mengingatkan RKUHP bisa merusak industri pariwisata ketimbang isu terorisme dan letusan gunung berapi sekalipun.

"Saya sudah melalui dua kasus pemboman dan beberapa bencana alam. Saya berpikir jika pemerintah Indonesia serius dalam menegakkan aturan ini, maka industri pariwisata akan hancur," jelasnya.

Hal senada juga diungkapkan Prof. Tim Lindsay dari Universitas Melbourne mengenai dampak dari pasal perzinaan tersebut kalau diloloskan. "Apakah turis harus membawa surat nikah ketika mereka berkunjung ke Indonesia?" kata dia.

Pemerintah Australia juga telah memberi peringatan kepada warga negaranya dampak dari kemungkinan lolosnya pasal perzinaan tersebut adalah bahwa turis asing, termasuk dari Australia yang tidak menikah atau belum menikah, bisa dikenai pasal tersebut ketika mereka berlibur ke Bali atau daerah wisata Indonesia lainnya.

Kekhawatiran tersebut tampaknya nyata, dengan situs peringatan perjalanan di Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT), yang sudah diperbarui dengan memasukkan peringatan agar turis berhati-hati dengan kemungkinan pasal tersebut diloloskan pekan depan.

"Kami memperbaiki peringatan perjalanan dengan memasukkan informasi baru mengenai kemungkinan perubahan pada UU Hukum Pidana Indonesia. Perubahan UU itu akan mulai berlaku dua tahun setelah UU tersebut disahkan,” bunyi keterangan DFAT.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar