Jegal Novel, UU KPK Baru: Penyidik Wajib Sehat Jasmani

Jum'at, 20/09/2019 21:28 WIB
Penyidik Senior KPK Novel Baswedan (Breakingnews.co.id)

Penyidik Senior KPK Novel Baswedan (Breakingnews.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Meski ditentang masyarakat sipil, DPR dan pemerintah kompak untuk mengesahkan UU KPK yang baru.

Beberapa pasal perubahan di undang-undang tersebut berpontensi melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Selain soal pembentukan dewan pengawas, aturan mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), termaktub juga aturan mewajibkan penyidik harus sehat jasmani dan rohani.

Hal ini memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib penyidik senior Novel Baswedan? Penglihatan Novel terganggu akibat diserang air keras orang tak dikenal. Hingga detik ini polisi masih belum bisa menangkap pelakunya.

Melansir dari Merdeka.com, Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mencurigai undang-undang tersebut juga bertujuan menyingkirkan Novel. Selama ini sepak terjang Novel memang mengerikan. Sejumlah kasus kakap ditangani, seperti simulator SIM Korlantas Polri, suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan megakorupsi e-KTP.

"Ya kan betapa ditakutinya Novel itu, jadi cara menyingkirkannya dengan memasukan pasal tersebut dalam undang-undang," ujar Adnan kepada merdeka.com, Kamis (19/9/2019).

Jika dilihat, aturan sehat jasmani dan rohani spesifik menyasar penyidik baru masuk dalam revisi ini (pasal 45A). Di undang-undang sebelumnya, ketentuan itu hanya berlaku bagi pimpinan KPK, hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung (pasal 29, 57 dan 60).

Menurut Topan, syarat-syarat dalam undang-undang mengenai sehat jasmani dan rohani itu hal yang tidak penting untuk diatur oleh Undang-Undang KPK. Ia juga mengatakan hal itu bertentangan dengan prinsip harus menghormati disabilitas.

"Orang-orang disabilitas harus diberikan haknya sama untuk berperan membangun bangsa ini. Kalau bicara syarat-syarat sehat jasmani dan rohani kenapa harus dibuat dalam undang-undang," tegasnya.

Menurutnya, kasus yang dihadapi Novel adalah kejahatan luar biasa. Namun, sampai saat ini kasusnya masih belum terungkap.

"Ya inti kita tidak bisa dan tidak boleh melarang orang karena punya keterbatasan fisik. Prinsip kita itu kan menghargai dan menghormati soal kekurangan fisiknya," tutup dia.

Aturan soal penyidik wajib sehat jasmani dan rohani tertuang dalam Pasal 45A ayat 1:

Pasal 45A

(1) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. berpendidikan paling rendah S1 (sarjana strata satu) atau yang setara;

b. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;

c. mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyidikan;

d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan

e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

Dalam undang-undang sebelumnya:

BAB V

PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Pasal 29

Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. warga negara Republik Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;

e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima)

tahun pada proses pemilihan;

f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;

h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;

i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;

j. tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan

k. mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pasal 57

(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;

b. berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi;

c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya; dan

d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin.

(2) Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. warga negara Republik Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman

sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum;

e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada proses pemilihan;

f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;

h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan

i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.

Pasal 60

(1) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh)

hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.

(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Majelis Hakim berjumlah 5

(lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. warga negara Republik Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun di bidang hukum;

e. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun pada proses pemilihan;

f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;

h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan

i. melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar