RUU Pemasyarakatan Akan Disahkan, Denny Indrayana: Remisi Diobral

Jum'at, 20/09/2019 08:50 WIB
Wamenkum Denny Indrayana (Foto:ist)

Wamenkum Denny Indrayana (Foto:ist)

Jakarta, law-justice.co - DPR dan Pemerintah telah bersepakat merevisi Undang-Undang (UU) Pemasyarakatan.

Dalam revisi tersebut syarat-syarat pemberian hak-hak, seperti remisi dan pembebasan bersyarat, bagi terpidana kasus korupsi kembali mengacu pada KUHAP.

Revisi tersebut nantinya akan menghapus PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan secara khusus remisi terhadap terpidana korupsi.

Mantan Wakil Menkum HAM Denny Indrayana mengatakan revisi UU tersebut berpotensi mengobral remisi bagi narapidana korupsi. Denny menyebut PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak melanggar UU yang ada karena sudah sering diuji di Mahkamah Agung (MA).

"Itu menunjukkan ada politik hukum yang berbeda. Saya ulangi itu menunjukkan itu ada politik hukum yang berbeda dari masa sebelumnya. Dari awalnya dengan PP 99 itu pengetatan pemberian remisi, persyaratan dan lain-lain. Sehingga napi korupsi tidak mudah mendapatkan hak-haknya itu. Bukan tidak ada ya, tidak mudah, menjadi politik hukum yang lebih longgar. Karena syaratnya, kalau tidak dengan PP 99 itu lebih mudah. Yang kedua adalah pengesahan undang-undang ini menunjukkan politik hukum yang berubah. Dari awalnya mengatakan revisi napi korupsi menjadi lebih longgar. Sehingga ada potensi obral remisi," kata Denny seperti melansir detik.com.

Denny menegaskan PP Nomor 99 Tahun 2012 sudah sering diuji di MA. Hasilnya, menurut Denny, argumen yang dibawa oleh penggugat selalu ditolak.

"Upaya napi korupsi untuk menghilangkan PP 99, melalui MA dan MK itu patah, ditolak argumennya. Jadi argumentasi ini hak napi dan melanggar HAM itu sudah basi. Sudah dimentahkan oleh keputusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang mengadakan PP 99 tidak melanggar UU," jelas Denny.

Meski demikian, Denny mengakui revisi UU Permasyarakatan merupakan hak konstitusional dari Presiden dan DPR. Dia menilai jika penetapan revisi UU Permasyarakatan itu sah.

"Perubahan atau pengesahan UU pemasayarakatan itu adalah hak presiden dan DPR. Jadi secara konstitusional sah," ucapnya.

Selain itu, Denny membantah adanya PP Nomor 99 Tahun 2012 membuat lembaga permasyarakatan semakin penuh. Dia menilai narapidana korupsi tidak banyak. Pengguna narkoba yang dinilai menjadi penyebab lembaga permasyarakatan menjadi penuh.

"Napi korupsi itu berapa sih. Ini yang membuat penuh itu pemakai narkoba, kalau pemakai narkoba harusnya tidak kena PP 99. Yang kena PP 99 itu napi korupsi, itu bandar. Persoalannya pemakai dianggap bandar, jadi penuh. Lapas kita penuh karena narkoba. Karena pemakai, pemakai harusnya korban, jangan dimasukkan lapas. Jadi itu argumentasi yang menyesatkan. Harusnya dihitung, dampak PP 99 itu tidak sebesar itu," tutur Denny.

Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Herry mengatakan, dengan disahkannya revisi UU Permasyarakatan, maka PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak berlaku. Dalam revisi tersebut syarat-syarat pemberian hak-hak, seperti remisi dan pembebasan bersyarat, bagi terpidana kasus korupsi kembali mengacu pada KUHAP.

"Tidak lagi (peraturan pemerintah). Otomatis PP 99 (Tahun 2012) menjadi tidak berlaku karena semua dikembalikan ulang," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Herman Herry kepada wartawan, Rabu (18/9).

Sebelum revisi UU Pemasyarakatan direvisi, pemberian remisi ataupun pembebasan bersyarat dilakukan dengan mengacu pada PP Nomor 99 Tahun 2012. Dalam PP tersebut, pemberian hak-hak untuk terpidana korupsi harus berdasarkan rekomendasi lembaga terkait.

Herman menjelaskan, dengan adanya revisi tersebut, PP Nomor 99 Tahun 2012 menjadi tidak berlaku. Begitu juga PP Nomor 32 Tahun 1999.

"(Dalam PP 99 Tahun 2012) iya ada sejumlah persyaratan, termasuk harus ada rekomendasi dari KPK," ujar Herman.

"Jadi PP 99 Tahun 2012 tidak berlaku. Tidak ada PP-PP," tuturnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar