Pemerintah Akan Hapus IMB, Bisnis Properti Mulai Bergairah

Kamis, 19/09/2019 19:03 WIB
Ilustrasi bisnis properti (reqnews.com)

Ilustrasi bisnis properti (reqnews.com)

Jakarta, law-justice.co - Saham di sektor properti mulai bangkit setelah pemerintah berencana untuk menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dinilai menjadi salah satu penghalang masuknya investasi ke Indonesia.

Hal itu dapat dilihat dari data pasar saham pada 11:08 WIB, harga saham PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) menguat 1,27% menjadi Rp 318/unit, saham PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) naik 0,74% ke Rp 680/unit, lalu saham PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) naik 0,36% ke Rp 1.410/unit.

Adapun, saham PT Lippo Cikarang Tbk (LPKR) justru anjlok 3,7% menjadi Rp 260/unit. Kemudian disusul oleh PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA) yang masing-masing terkoreksi sebesar 2,02% dan 1,75%. Lalu, saham PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) melemah 0,81% ke Rp 246/unit saham.

Melansir dari CNBC Indonesia, pernyataan terkait IMB disampaikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang & Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil dalam Rapat Koordinasi Kadin Bidang Properti, Rabu (18/9/2019).

Menurut Sofyan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat kesal dengan banyaknya perizinan di Indonesia yang menyebabkan investasi jadi terhambat. Alhasil, perlu ada perubahan paradigma dengan tidak terlalu banyak mewajibkan lisensi atau izin, tapi ketat pada penerapan standar.

"Tapi yang penting standar. Misalnya, mau bikin gedung silahkan bikin gedung, ini standarnya. Kalau tidak punya standar kita bongkar gedung ini. Ini tanggungjawab," kata Sofyan.

Selain itu, pada kesempatan yang sama Sofyan juga menyampaikan pemerintah menghapus ketentuan pajak progresif bagi pemilik lahan yang lebih dari satu bidang, dalam RUU Pertanahan. Poin tentang pajak progresif ini sempat menuai protes dari dunia usaha, karena merugikan.

Sebelumnya, penerapan pajak progresif ini merupakan bagian dari upaya mengendalikan lahan yang bertujuan agar penggunaan lahan dapat lebih maksimal. Kalau aturan ini diterapkan bagi pengembang, akan memberatkan karena tanah yang sudah dibayarkan pajaknya belum tentu laku dijual.

Lebih lanjut, sejatinya pada Juni pemerintah juga telah memberikan kelonggaran untuk pelaku usaha di sektor properti, yakni memberikan relaksasi atas Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dengan menaikkan nilai threshold-nya menjadi di atas Rp 30 miliar.

Sayangnya dengan begitu banyak stimulus yang diberikan, pelaku pasar belum sepenuhnya yakin dengan prospek industri properti tahun ini. Hal ini terlihat dari pergerakan saham para emiten pengembang properti yang bervariatif.

Investor Asing Tak Sambut Baik Stimulus Sektor Properti

Meskipun data perdagangan menunjukkan bahwa saham emiten properti bervariatif, investor asing justru mayoritas melepas saham-saham tersebut.

Tercatat 6 dari 7 saham emiten yang disebutkan di atas dilego oleh investor asing di mana SMRA mencatatkan aksi jual bersih terbesar dengan nilai mencapai Rp 29,38 miliar. Lalu, hanya APLN yang masih dikoleksi dengan membukukan aksi beli bersih senilai Rp 344,08 juta.

Sepertinya investor asing kurang menghargai kebijakan pemerintah karena dianggap kurang mampu mendongkrak permintaan di sektor properti yang sejak tahun 2015 tumbuh stagnan, cenderung lesu.

Kepala BKF Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Suahasil Nazara, dalam paparan APBN 2019 di kantor Kemenkeu, mengatakan pertumbuhan sektor properti pada 2018 hanya tumbuh 3,58% atau di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.

Sejak 2015, pertumbuhan sektor properti selalu lebih rendah dibandingkan geliat ekonomi. Bahkan kontribusi sektor properti terhadap ekonomi selama lima tahun terakhir selalu di bawah 3%.

Selain itu, dalam riset tebaru Fitch Ratings per 17 September, Indonesia termasuk salah satu negara dengan konsentrasi utang properti yang relatif kecil di antara negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik.

Porsi utang properti atas aset perbankan stabil di kisaran 9% sejak tahun 2012. Fitch menganalisa. perolehan tersebut disokong oleh ketatnya kriteria kredit properti dari bank besar di Indonesia.

Alhasil, secara tidak langsung laporan Fitch juga menegaskan rendahnya permintaan kredit perbankan untuk sektor properti.

Dengan demikian, dapat disimpulkan stimulus-stimulus yang diberikan pemerintah atas industri properti belum dapat mendongkrak permintaan mengingat konsumen masih dihantui kecemasan atas ancaman potensi resesi di negeri-negara maju. Belum lagi situasi geopolitik di Timur Tengah, Asia, dan Eropa yang belum stabil semakin menekan permintaan pasar.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar