Refly Harun soal Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP: Kemunduran

Kamis, 19/09/2019 16:28 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun (Repelita.com)

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun (Repelita.com)

Jakarta, law-justice.co - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menganggap dengan tetap dimuatnya pasal penghinaan presiden/wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP merupakan sebuah kemunduran.

Pasalnya kata dia, pasal itu tak sesuai dengan perspektif konstitusionalisme hari ini.

"Perspektif konstitusionalisme hari ini kan kepala negara tidak dieksklusikan. Ini setback menurut saya," kata Refly seperti melansir Tempo.co.

Refly mengatakan, dalam RKUHP asli peninggalan Belanda, atau Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, pasal semacam ini digunakan untuk melindungi gubernur Hindia Belanda. Pasal tersebut juga digunakan di negara dengan sistem kerajaan yang menganut prinsip the king/queen can do no wrong.

Namun dalam demokrasi, kata Refly, pasal ini tak kompatibel. Dia mengingatkan bahwa dalam demokrasi tak ada orang yang lebih tinggi ketimbang yang lainnya.

"Yang membedakan hanya hak dan kewajibannya, tugasnya. Tapi bukan kemudian dilindungi secara khusus," katanya.

Menurut Refly, presiden dan wakil presiden sebenarnya tinggal menggunakan delik umum seperti yang berlaku untuk warga negara lainnya, misalnya pasal penghinaan. Selain itu, ada pula Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dapat dirujuk.

"Kalau kontennya elektronik kan itu bisa digunakan. Intinya tidak perlu eksklusif," kata Refly.

Pemerintah dan DPR tetap berkukuh memasukkan pasal penghinaan presiden / wakil presiden dalam RKUHP yang telah disepakati kemarin, Rabu, 18 September 2019. Padahal

Pasal-pasal terkait penghinaan presiden/wakil presiden ini tertuang dalam Pasal 218-220 RKUHP, berikut bunyinya.

Pasal 218
(1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar