Tarif Cukai Rokok Naik, Pabrikan Siap-siap PHK Massal?

Rabu, 18/09/2019 19:17 WIB
Karyawan pabrik rokok (medcom.id)

Karyawan pabrik rokok (medcom.id)

Jakarta, law-justice.co - Kenaikan cukai rokok sebesar 23% langsung berdampak kepada harga eceran yang melambung hingga 35%.

Kenaikan harga yang drastis dapat menyebabkan turunnya konsumsi rokok yang berimbas pada kemungkinan penurunan penjualan. Akibatnya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah risiko yang nyata.

Melansir dari CNBC Indonesia, Rabu (18/9/2019), harga rokok yang naik drastis dapat menurunkan daya beli masyarakat yang ujung-ujungnya konsumsi rokok jadi turun. Mau tidak mau produsen rokok harus cari jalan untuk memangkas ongkos produksi rokok yang bisa mencapai 80% dari total penjualan.

Salah satu skenario yang mungkin adalah pemutusan hubungan kerja karyawan terutama untuk segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang padat karya.

Pasalnya selama periode 2009-2018, pangsa pasar rokok SKT terus menurun. Menurut studi yang dilakukan Nielsen, pangsa pasar segmen rokok SKT pada 2009 mencapai 30,6%, tetapi turun drastis hingga 23,9%

Pada 2013, studi lain yang dilakukan oleh Mirae Aset Sekuritas menyebutkan bahwa pangsa pasar rokok SKT terus menurun. Hingga kuartal III-2018, pangsa pasar SKT tinggal 17,3%.

Hal tersebut salah satunya diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan rokok yang mulai bergeser ke segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM). Produk SKM lebih menguntungkan karena biaya produksinya yang lebih efisien.

Satu mesin rokok memiliki kapasitas seperti 4.500 karyawan. Dengan adanya mesin tersebut tentu dapat memangkas ongkos tenaga kerja secara signifikan.

Akibat pergeseran tren tersebut, jumlah PHK pada industri hasil rokok meningkat. Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Sudarto, selama lima tahun terakhir ini sudah ada lebih dari 32.000 karyawan industri hasil tembakau yang dirumahkan.

Itu jumlah yang tercatat dalam organisasi, yang tidak tercatat jumlahnya kemungkinan besar lebih banyak. Kebanyakan dari karyawan yang dirumahkan adalah mereka yang bekerja sebagai pelinting SKT yang notabene adalah perempuan dengan tingkat pendidikan rendah.

Harga Rokok Naik Picu PHK & Rugikan Petani Tembakau

Oleh karena itu, ketika harga rokok naik maka ancaman PHK untuk pekerja di segmen SKT semakin berada di depan mata. Sebagai contoh, pada 2014 ketika pangsa pasar rokok SKT turun drastis hampir 3 basis poin banyak perusahaan rokok yang PHK karyawannya.

PT Gudang Garam Tbk (GGRM) melakukan program pensiun dini untuk 1.200 karyawannya, PT Bentoel Internartional Investama Tbk (RMBA) juga melakukan langkah serupa dengan menawarkan pengunduran diri sukarela untuk 1.000 karyawannya pada September 2014. Hal yang berbeda ditempuh oleh PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang memilih untuk menghentikan kegiatan produksi SKT di Jember dan Lumajang yang berdampak pada PHK 4.900 karyawan.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Heru Pambudi, mengatakan pemerintah telah mempertimbangkan ancaman PHK dari ketetapan kenaikan cukai rokok 2020. "Pasti dengan average 23% itu sigaret kretek pada prinsipnya akan diberikan tarif yang teringan. Sigaret kretek tangan ya," ujarnya

"Jadi kalau ditanya tarif cukai naik nggak takut ada PHK? Itulah kenapa kita memberi perlakuan yang lebih ringan terhadap SKT," lanjut dia.

Sejauh ini, menurut Peraturan Menteri Keuangan No 146/2017, rokok jenis SKT dikenakan cukai sebesar Rp 365/batang untuk harga jual eceran terendah per batang Rp 1.261. Memang cukainya tergolong kecil jika dibandingkan dengan SKM yang mencapai 52,9%.

Walaupun cukai untuk SKT ditetapkan yang paling ringan, skenario PHK bukan berarti tidak akan terjadi. Pasalnya ketika konsumsi rokok masyarakat yang turun tentu berdampak pada turunnya penjualan.

Turunnya penjualan ini akan mengakibatkan pelaku maupun pengusaha rokok meninjau ulang portofolio bisnisnya dan akan mengambil langkah penghematan biaya. Penghematan biaya dapat dilakukan dengan meningkatkan proporsi portofolio dan menurunkan porsi SKT yang berpotensi lagi-lagi ya PHK.

Bagaimanapun juga, menurut data Kementerian Perindustrian, sektor industri hasil tembakau telah menyerap sekitar 5,9 juta pekerja. Rinciannya adalah 4,28 juta di sektor manufaktur dan distribusi sedangkan 1,7 juta di sektor perkebunan.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar