Dwifungsi Polri, dari Urus Beras hingga KPK

Rabu, 18/09/2019 16:02 WIB
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (kiri) (Aktual.com)

Kapolri Jenderal Tito Karnavian (kiri) (Aktual.com)

Jakarta, law-justice.co - Masyarakat sipil dan internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak keras kehadiran Irjen Firli Bahuri sebagai ketua lembaga antirasuah tersebut.

Selain karena adanya tudingan pelanggaran etik yang pernah dilakukan, penolakan juga dikarenakan Firli berasal dari Polri.

Melansir dari Kompas.com, Rabu (18/9/2019), sebenarnya tak ada yang salah dengan Ketua KPK yang berasal dari Polri. Toh, Ketua pertama KPK, Taufiequrachman Ruki juga bekas perwira Polri. Begitu pula pimpinan lain dan para penyidik KPK yang sebagian besar dari unsur Polri.

Namun, 15 tahun perjalanan KPK yang diwarnai sejumlah konflik dengan Polri memancing tanya publik. Belum lagi soal penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan yang kasusnya tak kunjung terungkap di tangan kepolisian.

Polisi urusi beras hingga diplomasi

Terpilihnya Firli juga menimbulkan sentimen negatif terhadap Polri. Pasalnya, selama beberapa tahun terakhir, sejumlah jenderal polisi juga menduduki jabatan strategis di lembaga lain.

Salah satu yang kontroversial adalah kasus Jenderal (Purn) Budi Gunawan. Budi pernah jadi tersangka kasus rekening gendut Polri yang diusut KPK. Gagal menjadi Kapolri, Budi kini menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga dikepalai polisi, Komjen Suhardi Alius. Suhardi menjabat sejak 2016, menggantikan Tito Karnavian yang dilantik menjadi Kapolri. Sebelum di BNPT, Suhardi menjabat Sekretaris Utama Lemhanas.

Begitu pula Badan Narkotika Nasional yang saat ini dipimpin Irjen Heru Winarko. Sebelum di BNN, Heru pernah menjadi staf Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan bidang ideologi dan konstitusi serta Deputi Penindakan KPK Sebelum diisi Heru, BNN dikepalai Budi Waseso. Saat ini, Budi Waseso menjabat Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog).

Sejak dulu BIN, BNN, dan BNPT memang selalu dipimpin militer atau kepolisian. Namun kini, polisi juga ikut mengurusi lembaga lain yang tak terkait urusan kepolisian seperti Bulog, kementerian, hingga kedutaan besar.

Yang terbaru, mantan Wakapolri Komjen Syafruddin yang kini jadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Di Kementerian Hukum dan HAM, ada Irjen Ronny Sompie yang menjabat Dirjen Imigrasi. Kemudian Komjen Setyo Wasisto yang menjadi Irjen Kementerian Perindustrian.

Ada pula Irjen Pudji Hartanto sebagai Dirjen Perhubungan Darat Kementerian perhubungan. Di Kementerian Tenaga Kerja, ada Irjen Sugeng Priyanto yang menjabat Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Kemudian di Kementerian Perdagangan, ada Irjen Syahrul Mamma yang menjabat Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga. Di urusan diplomasi, ada Irjen Iza Fadri yang menjadi Dubes RI untuk Myanmar. Ada juga Irjen Amhar Azeth, Dubes RI untuk Moldova.

Gantikan TNI

Banyaknya pejabat polisi di lingkaran jabatan-jabatan publik mengingatkan kita pada konsep Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di Era Orde Baru. Dwifungsi ABRI adalah gagasan pemerintah Orde Baru yang menyebutkan bahwa tentara memiliki dua tugas yaitu menjaga keamanan Negara dan memegang kekuasaan untuk mengatur jalannya pemerintahan.

Di era Orde Baru, karir seorang tentara tidak hanya sebatas pangkat kententaraan tapi juga masuk dalam fungsi-fungsi jabatan publik di pemerintahan. Setelah Orde Baru tumbang, konsep Dwifungsi ABRI dihapuskan. ABRI berubah nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan "kembali ke barak".

Polisi dipisahkan dari struktur TNI dan berada di bawah presiden. Kuatnya peran polisi di pemerintahan sebenarnya bukan cerita baru. Sejak berdirinya Republik, pihak keamanan memang menguasai hampir seluruh sendi kehidupan. Dulu, polisi masih jadi satu dengan tentara. Dalam Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 (2005) dituturkan bahwa unsur militer berkuasa karena merasa punya peranan besar dalam memerdekakan negara.

Setelah merdeka pada 1945 dan terjadi agresi militer Belanda, tentara menjalankan pemerintahan. Pemberontakan yang muncul di berbagai daerah juga ditangani oleh tentara. Banyaknya tugas ini membuat tentara masuk lebih lagi dalam perkara politik, ekonomi, dan administrasi umum pengelolaan negara.

Pengamat militer Salim Said dalam bukunya Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000 (2002) menjelaskan, Presiden Sukarno memang memberi kesempatan tentara untuk mengurusi negara melalui golongan fungsional.

Sebabnya, elite politik dan partai sibuk mementingkan kelompoknya sendiri dan tak bisa bekerja dengan baik. Walhasil, tentara jadi kepala daerah, mengambil alih dan mengelola perusahaan Belanda, hingga membredel surat kabar. Kuatnya militer tak berhenti di Orde Lama.

Di era Soeharto, yang juga berasal dari militer, tentara ditempatkan di posisi-posisi strategis. Dikutip dari Sosiologi Kepolisian (2016), polisi yang saat itu masih di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), punya fungsi stabilitator pembangunan.

Polri baru punya eksistensi sendiri setelah Orde Baru tumbang. Pada tahun 2000, Polri dipisahkan dari TNI. Di era yang sama, kekuasaan TNI dikecilkan seiring dengan berakhirnya dwifungsi ABRI. Urusan keamanan pun jadi dipegang polisi.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar