Relawan Kesehatan (REKAN)

Mereka yang Berkorban untuk Sesama Tanpa Mengharapkan Imbalan

Rabu, 18/09/2019 10:38 WIB
Law-justice.co bersama sebagian anggota tim REKAN (law-justice.co/ Bona RJ Siahaan)

Law-justice.co bersama sebagian anggota tim REKAN (law-justice.co/ Bona RJ Siahaan)

law-justice.co - Tidak banyak orang yang punya niat tulus membantu sesama, tanpa mengharapkan imbalan. Terlebih masa sekarang, di mana segala sesuatu selalu dihargai dengan materi. Dan ketika ada sekelompok manusia yang peduli pada kesulitan orang lain, keberadaannya ibarat oase di padang pasir bagi mereka yang kehausan.

Pahlawan dalam arti yang sebenarnya, rasanya pantas disematkan pada para pejuang kesehatan yang tergabung dalam organisasi “Relawan Kesehatan” (REKAN). Berdirinya kelompok ini dilatar belakangi oleh masih banyaknya permasalahan yang dialami masyarakat terkait pelayanan kesehatan.

Anggotanya terdiri dari berbagai elemen, yang semuanya berangkat dari pengalaman pribadi. Mereka pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan saat berususan dengan pelayanan kesehatan, terutama yang terkait dengan BPJS.

Tidak ingin orang lain mengalami nasib yang sama,  organisasi yang berdiri sejak 2011 tersebut, mulai bergerak untuk membantu masyarakat agar bisa mendapatkan pelayanan yang layak.

Law-justice.co mendapat kesempatan untuk bertemu para anggota REKAN di markasnya yang juga kediaman sang ketua, Tian, di daerah Kalibata, Jakarta, dan mendengarkan pengalaman mereka sebagai relawan. Dari harus berselisih paham, diusir, bahkan ditolak mentah-mentah saat hadir sebagai penengah antara pasien dan rumah sakit. Berikut petikannya:

Bagaimana awalnya menjadi relawan kesehatan dan dari mana idenya membentuk organisasi ini?

Relawan Kesehatan (REKAN) berdiri di bulan November 2011, dan di Desember itu peresmiannya. Jadi di bulan November itu kita berniat membentuk organisasi yang bergerak di bidang pendampingan kesehatan masyarakat. Karena pada saat itu kita melihat organisasinya masih sedikit yang bergerak di bidang itu dan juga kasus kesehatan ini banyak dan juga masih jarang juga teman-teman yang mengadvokasi tentang kesehatan apalagi dinamikanya juga berubah-ubah, misalnya jaminan kesehatan yang awalnya Jamkesda menjadi BPJS.

Kita juga sebenarnya bergerak sesuai dengan prosedur,  sesuai amanah UUD 45, sesuai dengan UU Nomor 30 tentang kesehatan, kalau warga negara Indonesia ini sudah diamanatkan oleh UU terkait hak kesehatan bagi masyarakat. Artinya hak kesehatan masyarakat ini sudah dijamin oleh UU kesehatan karena hak kesehatan itu sudah diambil dari pajak, dan lain-lain yang kemudian diolah oleh APBD maupun APBN.

Namun implentasinya kita masih sering temukan, penindasan. Misalnya, hak mendapatkan pelayanan. Kenyataannya, ada yang ditelantarkan di UGD, ada yang tidak dapat obat, ada yang tidak mendapat penanganan yang baik dengan alasan dokternya tidak ada atau dokternya lagi keluar.  Pasien operasinya ditunda, atau dari segi jaminan kesehatan dia sudah gunakan BPJS tapi masih dikenakan biaya seperti obat yang tidak di cover dan masih juga diberi resep.

Karena masyarakat belum paham regulasi BPJS, akhirnya kebentur di tingkat gubernur sampai kementerian.  Tidak ada solusi terkait masalah ini. Artinya masyarakat kurang sosialisasi tentang BPJS. Berdasarkan masalah tersebut, kita hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai organisasi yang menjadi wadah advokasi dan aspiratif di tengah masyarakat, untuk membantu menyelesaikan masalah hak kesehatan ini. Kita advokasi, kita dampingi masyarakat dan kita juga sosialisasi agar masyarakat cerdas dan bisa mengadvokasi dirinya sendiri. Itu sih inisiasinya.

Semua penggagas dan aktivis REKAN ini semua punya pengalaman tidak enak dalam urusan pelayanan kesehatan.  Pada awal berdiri itu kita juga masih sedikit mengerti regulasi.  Tapi kami punya tekad, bagaimana agar si pasien ini bisa ditangani, bagaimana pun caranya.

Tapi berjalannya waktu, kita audiensi ke kementerian, dinas kesehatan, dan sebagainya. Di situ kita bahas bagaimana sih regulasinya, sehingga akhirnya kita semakin tertib dan kita fokuskan kepada sosialisasi kepada masyarakat dan mengedukasi masyarakat.

Kendala apa yang dihadapi saat awal organisasi  ini berdiri?

Kalau soal kendala, karena kami pada dasarnya relawan, yang pasti dari segi operasional, karena kita dalam mengadvokasi pasien tidak mau menerima apalagi meminta kepada pasien maupun keluarga pasien.

Yang kita inginkan, hanya ketika sudah ditolong, kita minta kepada pasien supaya menyoliasikan keberadaan kami di lingkungannya. Dan juga, kalau di DKI sih, Insyaallah lancar-lancar saja, karena  kita  masih bisa ke rumah sakit naik motor bisa. Tapi kalau di Papua, tentu  harus lewat jalur air dan udara untuk sampai ke rumah sakit besar.

Kesadaran masyarakat akan kesehatan ini baru muncul saat mereka sakit, jadi seperti saat kita bantu pasien dan ketika kita bantu dan sembuh dan saat diminta untuk gabung itu agak susah. Pertama, apakah mereka trauma terhadap rumah sakit, kedua ya mungkin karena mereka masih sehat dan merasa tidak butuh. Kita advokasi dan kita harapkan yang kita advokasi itu gabung kepada kita untuk memperluas organisasi tapi banyak masyarakat yang selesai advokasi ya sudah.

Kasus seperti  apa yang biasa dibantu oleh para relawan?

Kalau soal kasus yang biasa kita bantu sih tentang jaminan kesehatan, pelayanan kesehatan, atau fasilitas kesehatan. Kita disini hanya sebagai mitra penyeimbang, antara pemerintah dengan masyarakat. Ketika masyarakat membutuhkan ruang ICU, kita kontak ke Dinas Kesehatan. Namun untuk bisa berkordinasi dengan dinas kesehatan atau kementerian ya kita juga butuh perjuangan juga seperti aksi massa, audiensi, dan lain-lain.

Dan juga ini soal kendalanya, kalau misalnya kita sudah bersentuhan dengan bahasa medis atau tindakan medis, disitu kita agak kurang kuat. Misalnya pasien belum sembuh benar menurut kasat mata tapi menurut penjelasan medis sudah tidak perlu rawat inap ya kita mau tidak mau harus ikut jadi tidak bisa berdebat dengan dokter.

Punya pengalaman paling berkesan selama jadi relawan?

Kalau berkesan sih, karena kita juga sudah lama, jadi semua kasus kita anggap semua berkesan. Dulu teman-teman membantu pasien itu hanya berpikir, bagaimana si pasien ini bisa terselamatkan. Karena hal kesehatan itu hak paling fundamental dan juga berhubungan dengan nyawa manusia.

Jadi pernah ada yang kita advokasi, pasiennya warga Kalibata. Waktu itu dia butuh ruang ICU yang ada fentilator, dan saat itu dia dirawat di RSUD Pasar Minggu. Dan ternyata di rumah sakit belum ada fasilitasnya, lalu saya mencoba berkordinasi dengan Dinas Kesehatan, pihak rumah sakit, dan ternyata itu masih susah karena alatnya masih sedikit.

Lalu pada esok harinya, tepatnya pagi dikabarkanlah bahwa ada fasilitas tersebut di Rumah Sakit Fatmawati. Namun karena terlalu lama pasien ini kesakitan, mungkin karena tidak ada perawatan dan cuma dikasih obat penahan sakit, pasien  bahkan sampai kejang-kejang, ya mau gimana lagi karena tidak ada fasilitasnya. Lalu saat mau dirujuk, pagi-paginya pasien sudah keburu meninggal.

Biasanya, saat kita bantu pasien pada malam hari, para pengampu kebijakan ini kan larut malam sedang istirahat, ya itu yang sulit dikontak, tapi ada juga beberapa yang bisa. Cuma terkadang yang manajemen di bawahnya ini sulit untuk bantu, seperti kaku padahal kita sudah berkordinasi dengan pimpinan-pimpinannya.

Selain itu misalnya rujukan, seharusnya kalau rujukan , ya rumah sakit yang mencari rujukannya, tapi biasanya mereka cuma telepon lalu bilang penuh penuh dan penuh. Dan akhirnya dikasih rujukan kosong dimana pasien akhirnya mencari sendiri.

Itu saya pernah mendampingi pasien yang mencari  sampai 12 rumah sakit. Ke rumah sakit ini perlu stempel, ke rumah sakit ini perlu stempel, dan seterusnya. Dan setelah saya hubungi Dinas Kesehatan ternyata ada.

Sudah berapa banyak pasien yang pernah dibantu ?

Kalau itu tidak terhitung ya, dan kami tidak mau hitung-hitung itu…hahahaa…

Dari pengalaman selama ini,  masalah apa yang sering dikeluhkan oleh masyarakat?

Kalau masalah di masyarakat yang sering dialami oleh kelas menengah ke bawah itu adalah soal mental. Mereka itu takut ke rumah sakit, apalagi rumah sakit besar. Takut dimarahin, memikirkan biayanya nanti gimana,  karena mereka tidak tahu sama sekali.

Tapi terkadang sudah kita jelaskan dan saat mereka jalan sendiri ke rumah sakit mereka tetap takut karena melihat orang-orang di rumah sakit,  khususnya dokter, karena merasa ilmunya lebih tinggi, dan mereka juga belum begitu paham soal undang-undangnya.

Makanya selain mental, ilmu juga kita sosialisasikan kepada masyarakat. Untuk itu, advokasi pertama memang harus tatap muka langsung. Karena kita ini basisnya kolektif, misalnya pasiennya dari Jakarta Utara, misalnya saat itu kordinator Jakarta Utara tidak bisa, maka lintas wilayah terdekat bisa menangani pasien tersebut.

Apakah sosialisasi REKAN itu menunggu diundang atau bagaimana?

Kita sering juga mendatangi masyarakat tanpa ada yang mengundang, karena itu tugas utama juga. Selain advokasi kita tugas utamanya adalah sosialisasi, karena di kesehatan ini butuh promosi dan preventif. Artinya promosi itu kita menjelaskan bahwa BPJS itu perkembagan terakhirnya begini, regulasinya sudah berubah begini, sekarang rumah sakit itu begini, sekarang puskesmas itu begini, sekarang ada ketuk pintu layanan hati, jadi kita beritakan itu.

Kita juga bikin dialog publik, seperti kemarin di Jakarta Timur kita ada kegiatan mengundang BPJS, Sudinkes, kita undang KPAI, jadi kita mencoba menjembatani masyarakat selain dari kita.

Apa harapannya terhadap pelayanan kesehatan terutama BPJS?

Kalau  tentang BPJS, dengan bergulirnya UU 40 kita sudah menolak. Karena menurut kita, idealnya jaminan kesehatan dipegang oleh pemerintah, dalam artian Dinas Kesehatan. Tetapi karena dipegang oleh pihak ketiga yaitu BPJS kita berharap jangan sampai ini jadi seperti asuransi sosial.

Artinya setiap ada tindakan, amanah  UU kan setiap warga negara berhak mendapatkan kesehatan/dijamin, tetapi dengan adanya regulasi-regulasi BPJS lalu terbentur akhirnya tidak menjamin.

Seperti dulu aktivasi BPJS mandiri yang 14 hari, karena pasien atau peserta banyak yang tidak tahu aktifnya 14 hari. Di rumah sakit aturannya pasien itu cuma ditangani 3x24 jam. Jadi ada regulasi yang berlawanan, sehingga sampai menunggu aktifnya BPJS,  ya para pasien mengutang di rumah sakit. Bahkan ada jadinya terpaksa  keluar dari rumah sakit.

Terkait adanya wacana kenaikan tarif BPJS, iya atau tidak?

Kalau dari relawan, kita menolak kenaikan iuran untuk kelas tiga. Karena fasenya itu adalah masyarakat pra sejahtera. Jadi beban masyarakat itu semakin besar dengan adanya kenaikan BPJS tersebut.

Tapi kalau untuk kelas dua dan di atasnya ya silahkan saja karena secara kajian pemerintah dibutuhkan. Tapi untuk masyarakat pra sejahtera jangan dinaikkan, dan kalau dinaikkan kami relawan siap untuk turun ke jalan.

Dan saran kami juga kalau menaikkan tarif BPJS jangan juga dong para petinggi  BPJS ikutan naik juga gajinya, itu kan seperti malah dinaikkan untuk gaji mereka. Artinya kan yang bermasalah itu di pelayanan kesehatan, bukan di jaminan atau gajinya.

Ngomong-ngomong, apa profesi para anggota Relawan Kesehatan?

Oh banyak ya, bermacam-macam, ada yang buruh, driver transportasi online, ada mahasiswa. Kita disini bercampur tapi dengan satu tujuan. Siapa pun bisa menjadi relawan,  yang penting mereka peduli dan mau berbuat untuk masyarakat.

 

(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar