Pemerintah Jadi Biang Kerok Konglomerat RI Orangnya Itu-itu Saja

Selasa, 17/09/2019 14:46 WIB
Konglomerat Indonesia (nusantara.news)

Konglomerat Indonesia (nusantara.news)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo mendapat curahan hati dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang mengaku sulit naik kelas dari pebisnis muda menjadi konglomerat di negeri ini.

"Konglomerat masih itu-itu saja. Teman-teman yang muda ini juga ingin naik kelas," ucap Ketua Umum HIPMI Bahlil Lahadalia, Senin (16/9/2019).

Melansir dari CNN Indonesia, Bahlil mengatakan sulit menjadi konglomerat di Indonesia karena kekayaan di dalam negeri terlanjur dikuasai oleh sekelompok orang yang sama. Hal itu juga dinilai terjadi karena minim `bantuan` dari pemerintah.

Kepala Negara pun tak membantah. Ia mengamini fakta yang ada bahwa konglomerat di Tanah Air memang itu-itu saja, dan mengakui hal itu juga terjadi karena kebijakan pemerintah. Maka itu, Jokowi melalui pemerintahannya ke depan berjanji `bertanggung jawab` mencetak konglomerat baru di dalam negeri.

"Pemerintah perlu turun tangan memberikan jalan, memberikan peluang-peluang yang ada kepada mereka (untuk menjadi konglomerat baru)," kata Jokowi.

Ekonom sekaligus Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Akhmad Akbar Susanto sepakat dengan anggapan bahwa konglomerat di Indonesia itu-itu saja. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan fenomena itu terjadi ialah, faktor keturunan, dan perilaku berbeda yang diberikan pemerintah kepada pengusaha di masing-masing kalangan.

"Memang pada akhirnya ketimpangan selalu ada, yang kaya tetap kaya, yang miskin tetap miskin. Dasarnya, ini karena pertumbuhan ekonomi yang masih minim," ungkap Akhmad kepada CNNIndonesia.com.

Secara makro, menurut dia, ada peran dari stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terhadap tingkat kekayaan masyarakat.

Pengusaha menengah dan kecil, akan sulit mengembangkan sayap bila gairah ekonomi tidak meningkat. Terlebih bila pengusaha itu mengandalkan konsumsi dari dalam dan luar negeri. Para pengusaha menengah dan kecil sejatinya sangat bergantung pada momentum pertumbuhan, sehingga perlu peran dari pemerintah untuk memastikan ekonomi domestik benar-benar tumbuh.

Sayangnya, target pertumbuhan ekonomi secara fundamental saat ini belum terkejar. Misalnya, pemerintah hanya mengandalkan bantuan sosial (bansos) ketika ingin menurunkan jumlah orang miskin dan mempersempit jurang ketimpangan.


Padahal seharusnya, kata Akhmad, pemerintah memecah kemiskinan dan ketimpangan dengan hal yang lebih fundamental seperti penciptaan lapangan kerja. Dengan begitu, masyarakat menjadi mandiri dan bisa meninggalkan kemiskinan serta ketimpangan dalam jangka panjang.

Bukan hanya karena pemerintah tak mampu mendongkrak ekonomi, tetapi juga kerap memberikan perlakuan yang berbeda-beda kepada setiap kalangan. Misalnya, izin lahan dan izin usaha bagi pengusaha kaya cenderung lebih mulus ketimbang yang masih rintisan (start up).

Ini juga terjadi karena ada perbedaan struktur dan budaya perizinan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Proses administrasi juga kerap menyusahkan, khususnya di daerah. Padahal pengusaha menengah dan kecil banyak muncul di daerah.

Sebut saja perbedaan kualitas sistem perizinan terpadu dalam jaringan (Online Single Submission/OSS) yang ada di pusat dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang ada di daerah. Lalu, akses modal kepada pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih suka `seret` di jalan.

"Bank-bank itu suka pikir-pikir memberi pinjaman ke pengusaha menengah kecil. Ini karena pengusaha besar dianggap bisa dipercaya, risiko minim, jadi akses mereka akan selalu ada," katanya.

Bahkan, sekalipun pemerintah sudah mempunyai program Kredit Usaha Rakyat (KUR), tetap saja pemberiannya `pilih kasih`. Bank, pada akhirnya akan tetap memberikan pinjaman KUR kepada mereka-mereka yang `bankable`, yaitu yang sudah tersusun secara administrasi dan minim risiko.

Misalnya, usaha sudah pasti untung, riwayat pembayaran cicilan baik, sektor bisnis punya prospek cerah, hingga minim risiko-risiko lain. Padahal, hakikat KUR seharusnya tetap mengacu pada `bantuan` pemerintah yang tak pandang bulu.

Setelah izin dan akses modal, ada juga perbedaan perilaku dari sektor perpajakan. Anggapan pajak pengusaha besar lari dari Indonesia dibiarkan, sementara yang kecil dikejar-kejar nyatanya masih menjadi momok.

"Intinya, ada level of playing field yang berbeda, tidak sejajar. Padahal seharusnya jangan sampai kemudahan hanya diberikan kepada yang kaya, kesulitan justru kepada yang kecil," katanya.

Untuk itu, menurut Akhmad, pemerintah perlu melihat kembali kebijakan yang sudah dilakukan dan tengah dipersiapkan ke depan. Ibaratnya, jangan sampai niat baik dilakukan dengan cara yang salah.

Misalnya, sudah punya program KUR, tapi yang menerima tetap itu-itu saja. Jangan sampai ingin mendorong UMKM dengan insentif, tapi insentif yang diberikan kepada konglomerat tetap jauh lebih besar.

"Maka cara ke depan kuncinya harus lebih detail dan fokus ke tujuan," tuturnya.

Contohnya, penerima KUR diperluas dan kalau bisa tidak menyasar ke sektor tertentu saja, misalnya perdagangan. Namun, terus perluas ke pengusaha di sektor pertanian, perkebunan, dan lainnya.

Kemudian, OSS disempurnakan, segera sambungkan ke PTSP di daerah, sehingga kemudahan izin bukan hanya milik pengusaha di kota. Lalu, insentif pajak dipertahankan, bahkan lebih tersegmentasi.

Misalnya, beberapa waktu sudah ada kebijakan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) 0,5 persen bagi UMKM. Nah, ke depan bisa dibuat diskon pajak untuk sektor pertanian misalnya.

Intinya, ke sektor-sektor yang paling membutuhkan dan kalau bisa berbasis ekspor, sehingga pemerintah `kecipratan` dampak ke pertumbuhan ekonomi.

Ekonom sekaligus Kepala Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI) Agus Eko Nugroho menambahkan ada satu faktor yang sulit dihadapi oleh para pengusaha muda, yaitu para konglomerat yang itu-itu saja memang sudah `suratan takdir`. Mereka dari kalangan kaya sejak lahir, entah anaknya siapa, cucunya siapa, cicitnya siapa, intinya pewaris kekayaan.

Namun faktor ini sebenarnya juga ada yang berkat `ulah tangan` pemerintah. "Misalnya ketika setelah krisis, pemerintah secara tidak sengaja memberi hak monopoli kepada pengusaha mana untuk impor, untuk bantu memutar roda ekonomi, dikasih akses hak guna lahan hutan, setelah besar dan lama, lalu tidak kembali," tuturnya.

Nah, menurut Agus, selain perlu kebijakan-kebijakan yang rinci dan dengan tingkat kesetaraan yang adil, pemerintah juga perlu menjaga iklim investasi. Sebab, iklim yang kondusif membuat investor mau masuk ke dalam negeri.

Ini, sambungnya, bisa menjadi kesempatan bagi pengusaha menengah dan kecil serta muda untuk mendapat akses modal. Asal, tak ketinggalan, pemerintah turut mempromosikan mereka kepada investor.

Cara lain, pemerintah perlu perluasan instrumen pembiayaan kepada para pengusaha menengah dan kecil. "Pemerintah harus berani memilah beberapa skema dan instrumen pembiayaan yang beragam. Ubah skema penjaminan simpanan hanya pada tabungan bank, tapi juga ke dana-dana yang ada di non bank, sehingga dana itu bisa dipinjam dengan lebih murah," ujarnya.

Selanjutnya, pemerintah diminta memaksa pengusaha besar untuk mau ikut merangkul yang menengah dan kecil dalam rantai bisnis (supply chain). Misalnya, perusahaan konstruksi besar turut melibatkan kontraktor kecil atau pengusaha manufaktur besar, ambil bahan dari distributor menengah dan kecil, bukan dari anak usahanya sendiri melulu.

"Intinya, kebijakan pemerintah ke depan tidak bisa one fit all, tidak bisa satu kebijakan pajak sama rata untuk semua. Maka buatlah lebih rinci, baik penerima dan sektornya," pungkasnya.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar