Buka Suara, Veronica Koman Jawab Semua Tudingan Polisi

Sabtu, 14/09/2019 22:30 WIB
Veronica Koman (Foto: Facebook/Veronica Koman)

Veronica Koman (Foto: Facebook/Veronica Koman)

law-justice.co - Veronica Koman akhirnya buka suara terhadap semua tudingan polisi usai dirinya ditetapkan sebagai tersangka insiden Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, pada 17 Agustus 2019. Pengacara  Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) itu membantah semua tudingan polisi dan menyebut dirinya dikriminalisasi.

Veronica menjawab semua tudingan polisi, mulai dari tuduhan bahwa ia menjadi provokasi kerusuhan di Papu dan Surabaya, sampai dengan keterangan terbaru dari polisi mengenai dugaan aliran dana “misterius”.

Melalu akun resmi Facebooknya, Veronica membuat sebuat tulisan sepanjang 11 paragraf, pada Sabut (14/9/2019). Vero mengatakan, polisi telah melakukan pengalihan isu karena gagal menyelesaikan masalah yang sesungguhnya terjadi di Papua.

Disalin dari akun resmi laman Facebook, berikut pernyataan lengakp Veronica Koman:  

Saya, Veronica Koman, dengan kesadaran penuh, selama ini memilih untuk tidak menanggapi yang dituduhkan oleh polisi lewat media massa. Hal ini saya lakukan bukan berarti karena semua yang dituduhkan itu benar, namun karena saya tidak ingin berpartisipasi dalam upaya pengalihan isu dari masalah pokok yang sebenarnya sedang terjadi di Papua.

Kasus kriminalisasi terhadap saya hanyalah satu dari sekian banyak kasus kriminalisasi dan intimidasi besar-besaran yang sedang dialami orang Papua saat ini. Hal yang jauh dari hingar-bingar. Aspirasi ratusan ribu orang Papua yang turun ke jalan dalam rentang waktu beberapa minggu ini seolah hendak dibuat menjadi angin lalu.

Pemerintah pusat beserta aparaturnya nampak tidak kompeten dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua hingga harus mencari kambing hitam atas apa yang terjadi saat ini. Cara seperti ini sesungguhnya sedang memperdalam luka dan memperuncing konflik Papua.

Saya menolak segala upaya pembunuhan karakter yang sedang ditujukan kepada saya, pengacara resmi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dan sudah sangat berlebihan dalam upayanya mengkriminalisasi saya, baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada.

Bahwa betul saya terlambat dalam memberikan laporan studi kepada institusi beasiswa, tetapi urusan itu telah selesai per 3 Juni 2019 ketika universitas tempat saya studi mengirimkan seluruh laporan studi saya kepada institusi beasiswa saya.

Adapun Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia pernah mengganggu studi saya usai saya berbicara tentang pelanggaran HAM Papua di acara yang diselenggarakan oleh Amnesty International Australia serta gereja-gereja Australia. Para staf KBRI tidak hanya datang ke acara tersebut untuk memotret dan merekam guna mengintimidasi pembicara, tapi saya juga dilaporkan ke institusi beasiswa atas tuduhan mendukung separatisme di acara tersebut. Itu juga yang membuat hubungan saya dengan institusi beasiswa saya menjadi dingin dan saya tidak meminta lagi pembiayaan beberapa hal yang seharusnya masih menjadi tanggungan beasiswa.

Bahwa saldo rekening saya dalam batas nominal yang wajar sebagai pengacara yang juga kerap melakukan penelitian. Bahwa tentu betul saya menarik uang di Papua ketika saya berkunjung ke Papua, dengan nominal yang sewajarnya untuk biaya hidup sehari-hari. Bahwa saya hanya pernah ke Surabaya sekali dalam seumur hidup saya, selama 4 hari, yaitu ketika pendampingan aksi 1 Desember 2018 bagi klien saya AMP. Saya tidak ingat bila pernah menarik uang di Surabaya. Apabila saya sempat pun ketika itu, saya yakin maksimal hanya sejumlah batas sekali penarikan ATM untuk biaya makan dan transportasi sendiri.

Saya menganggap pemeriksaan rekening pribadi saya tidak ada sangkut pautnya dengan tuduhan pasal yang disangkakan ke saya sehingga ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang kepolisian, apalagi kemudian menyampaikannya ke media massa dengan narasi yang teramat berlebihan.

Waktu dan energi yang negara ini alokasikan untuk menyampaikan propaganda negatif selalu jauh lebih besar ketimbang yang betul-betul digunakan untuk mengusut dan menyelesaikan pelanggaran HAM yang saat ini terjadi di Papua. Secara terang benderang, kita melihat metode ‘shoot the messenger’ sedang dilakukan aparat untuk kasus ini. Ketika tidak mampu dan tidak mau mengusut pelanggaran/kejahatan HAM yang ada, maka seranglah saja si penyampai pesan itu.

Papua adalah salah satu wilayah yang paling ditutup di dunia ini. Dan kembali saya tegaskan, kriminalisasi terhadap saya adalah rangkaian dari upaya negara untuk terus membungkam informasi yang keluar dari Papua.

 

14 September 2019

Veronica Koman

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar