Aparat dan Kekerasan, Cara Membangun Pariwisata di Toba Samosir

Jum'at, 13/09/2019 14:03 WIB
Sebelum bentrokan antara warga dan aparat yang terjadi di Desa Sigapiton Kabupaten Toba Samosir (Tagar.id)

Sebelum bentrokan antara warga dan aparat yang terjadi di Desa Sigapiton Kabupaten Toba Samosir (Tagar.id)

Jakarta, law-justice.co - Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) mengirim alat berat ke Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir pada Kamis kemarin (12/9/2019).

BPODT bermaksud membangun jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batu Silali sepanjang 1900 meter dan lebar 18 meter.

Pembangunan jalan tersebut merupakan bagian dari pengembangan industri pariwisata di Kawasan Danau Toba.

Bersama dengan alat berat, BPODT mengajak aparat keamanan.

Menurut keterangan resmi yang diterima Law-Justice.co, Jumat (13/9/2019), Delima Silalahi, Direktur Kelompok Study Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengatakan bahwa seratusan masyarakat adat Sigapiton bersama KSPPM menghadang upaya memasukan alat-alat berat yang akan menggilas dan mengangkangi hak-hak masyarakat atas tanah dan hutannya.

"Bentrokan tak terhindarkan. Salah satu staf KSPPM yang ikut mendampingi masyarakat dipukul aparat dan mengalami luka di bagian mata kiri," tulis Delima.

 

Staf KSPPM, Rocky Pasaribu dipukul oleh aparat kepolisian (HetaNews.com)


Masyarakat terus bertahan sekalipun di bawah ancaman kekerasan yang bisa tampil dalam bentuk yang lebih kasar. Kejadian ini tidak bisa diterima dan perlu diwartakan seterang-terangnya kepada semua pihak, tambah Delima.

Adapun KSPPM menuntut beberpa hal sebagai berikut:

Pertama, tulis Delima, pembangunan pariwisata adalah gagasan Presiden Jokowi yang sangat memperhatikan masa depan peningkatan kesejahteraan masyarakat di KDT.

Tapi sepanjang yang diketahui, Presiden Jokowi tampaknya tidak pernah memerintahkan mengirim aparat keamanan, apalagi sampai melakukan tindakan pemukulan.

Sangat perlu dipertanyakan secara sangat serius dan secara public, apakah tindakan yang dilakukan BPODT adalah cara “unik” lembaga ini memahami dan menginterpretasi apa yang dimaksudkan Presiden Jokowi dengan membangun Pariwisata?

Kedua, yang jauh lebih berbahaya, tindakan yang dilakukan BPODT membangkitkan kembali memori publik tentang perilaku yang umumnya dilakukan Pemerintah saat akan membangun.

BPODT tampaknya sedang meminjam repertoire of action yang dimiliki rezim politik Orde Baru dalam melakukan pembangunan, yakni menggunakan cara-cara militeristik atas nama pembangunan.

Sudah tentu Pemerintahan ini bukan Rezim Orde Baru, juga bukan rezim yang bertumpu pada kekerasan. Tapi tindakan BPODT sedang menegaskan sebaliknya.

BPODT sedang membawa pemerintahan ini kembali ke masa-masa kelam Orde Baru ketika pembangunan justeru berujung dengan pemukulan aparat terhadap warga, penangkapan terhadap para pemrotes dan intimidasi secara sistematis, demikian tulis Delima.

Ketiga, dua hal yang disebutkan di atas, membuat legitimasi dan justifikasi terhadap keberadaan BPODT perlu dipertanyakan kembali.

Bukan saja lembaga ini sama sekali belum menampakkan tanda-tanda memajukan pariwisata setelah lebih dari dua tahun beroperasi, malah menimbulkan ketegangan di masyarakat, memantik banyak konflik, dan yang terakhir mempraktekan kekerasan secara terbuka.

Sementara lembaga ini beroperasi dengan uang negara yang bersumber salah satunya dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat, termasuk masyarakat di Sigapiton yang akan sedang diserobot tanahnya dan diperlakukan dengan kekerasan.

Keempat, kata dia, pemukulan terhadap aktivis KSPPM, apapun alasannya perlu diproses secara hukum.

Bahkan kehadiran aparat keamanan dalam keseluruhan upaya BPODT memasukan alat-alat berat perlu dipertanyakan secara serius.

Untuk apa membawa aparat keamanan jika konon kabarnya niatnya demi kebaikan masyarakat setempat?

Bukankah membawa-bawa aparat bersumber dari kecurigaan terhadap masyarakat dan berlandaskan keyakinan di bawah sadar bahwa tindakan membawa alat berat adalah tindakan yang sifatnya sepihak?

Bukankah juga semua peristiwa ini hanya menegaskan betapa pada dasarnya semua berbasiskan pada paksaan?

Masyarakat Sigapiton dan KSPPM sangat menyanyangkan perisitiwa hari ini.

Bahkan dalam alam demokrasi dan dengan kepemimpinan negara yang sangat terbuka terhadap masukan dari bawah, perilaku-perilaku koersif yang sudah ketinggalan jaman masih saja dipertahankan, tambahnya.

"Ironinya, oleh lembaga yang begitu yakin sedang membawa kemaslahatan kepada masyarakat yang hak-haknya justeru sedang diinjak-injak."

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar