Gara-gara Pemerintah, Pemandu Karaoke Akan Banjiri Tempat Hiburan

Selasa, 10/09/2019 15:42 WIB
Aksi penolakan terhadap tenaga kerja asing (voanews.com)

Aksi penolakan terhadap tenaga kerja asing (voanews.com)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah berencana untuk membuka pintu selebar-lebarnya untuk tenaga kerja asing bisa bekerja di Indonesia.

Pembukaan pintu tersebut dilakukan melalui penerbitan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing (TKA).

Melansir dari CNN Indonesia, dalam beleid baru tersebut jumlah pekerjaan yang bisa dimasuki asing berjumlah 181 pos. Jumlah tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 247 Tahun 2011.

Pasalnya, jumlah posisi yang dibuka untuk tenaga kerja asing dalam peraturan tersebut hanya 66 jabatan. Beberapa posisi yang pekerjaannya dibuka untuk tenaga kerja asing tersebut antara lain, pemandu karaoke, penyanyi, penari. dan disjoki.

Ekonom Institute for Development on Economic (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara, `karpet merah` dari Jokowi kepada TKA sudah keterlaluan. Maklum `karpet merah` diberikan di beberapa pekerjaan yang sebenarnya bisa dikerjakan oleh masyarakat lokal.

"Apakah tidak ada tenaga kerja Indonesia yang bisa diberi kursus bahasa untuk kemudian menjadi pemandu karaoke? Masa sih, pemandu karaoke pun harus dari luar negeri?" katanya, Senin (9/9/2019).

Padahal, sambungnya, untuk jabatan seperti ini seharusnya mudah bagi pemerintah untuk bisa mencetaknya. Pemerintah tinggal memberikan tambahan keahlian bahasa melalui kursus. Waktu yang diperlukan untuk mencetak pemandu karaoke handal juga tidak lama.

Ia mengatakan untuk mencetak tenaga handal dalam jabatan tersebut, pemerintah juga tak perlu sampai menggelontorkan banyak uang. Pemerintah tidak perlu harus memberi beasiswa pendidikan ke luar negeri keahlian tersebut bisa mereka dapatkan.

Lebih lanjut, perluasan kesempatan kerja kepada TKA sejatinya menyasar jabatan yang sebenarnya bisa diisi oleh tenaga kerja Indonesia berkat program penambahan dan peralihan keterampilan (up skilling and reskilling) seperti melalui dengan pendidikan vokasional hingga Balai Latihan Kerja (BLK) yang menjadi program kebanggaan  Hanif.

Bhima mengatakan penerbitan Kepmenaker 228/2019 justru menimbulkan tanda tanya soal keseriusan pemerintahan Jokowi dalam membina dan melindungi tenaga kerja Indonesia di dalam negeri.

Meski begitu, ia tak mau langsung menyalahkan pemerintah atas pelebaran `karpet merah` yang mereka berikan kepada tenaga kerja asing. Bhima memperkirakan pelebaran pintu tersebut mungkin memang dibuat karena ketergantungan Indonesia pada aliran modal asing alias investasi.

Pemerintah saat ini berupaya menggenjot pembangunan. Tapi, di tengah nafsu besar tersebut, mereka menghadapi masalah keterbatasan anggaran.

Keterbatasan tersebut membuat pemerintah tak punya pilihan selain memanfaatkan dana dari luar negeri. Tapi, keterbatasan tersebut tidak boleh dijadikan alasan. Seharusnya pemerintah memaksimalkan daya tawar mereka agar ketergantungan dana dari luar tersebut tidak merugikan tenaga kerja lokal.

Pelebaran `karpet merah` yang dilakukan pemerintah sekarang ini seolah-olah menunjukkan pemerintah lemah. Mereka hanya bisa `pasrah` terhadap pemilik modal asing.

Kelemahan tersebut dimanfaatkan investor dan negara asing untuk memaksa Indonesia memasukkan tenaga kerja bila mau investasi ditanamkan.

Tak usah jauh-jauh, investor dari China atau Jepang yang banyak mengerjakan proyek di Indonesia. Mereka pasti tak akan mau rugi. Agar investasi yang mereka lakukan di Indonesia juga bisa memberikan manfaat ekonomi bagi tenaga kerja domestik, mereka pasti mengajukan syarat agar pekerja mereka bisa ikut mengerjakan proyek yang mereka danai.

"Nah di tengah kondisi seperti itu, bargaining power yang lemah membuat Indonesia gampang saja dinego dari sisi akses tenaga kerja. Padahal, Indonesia sendiri memiliki tenaga kerja melimpah," katanya.

Bhima mengatakan alasan ketergantungan terhadap investasi luar negeri dalam memasukkan tenaga kerja asing seharusnya dievaluasi oleh pemerintah. Pasalnya, `liberalisasi` TKA di Indonesia selama ini sejatinya tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan investasi itu sendiri.

Dari waktu ke waktu, pertumbuhan jumlah TKA di dalam negeri terus meningkat, sementara di sisi lain pertumbuhan investasi dalam negeri justru pasang surut. Pada 2018 misalnya, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah TKA di Indonesia mencapai 95.335 pekerja.

Jumlah ini meningkat 9.361 pekerja atau 10,88 persen dari total TKA pada 2017 yang masih sebanyak 85.974 pekerja. Pertumbuhan jumlah TKA tersebut lebih tinggi ketimbang pertumbuhan realisasi yang berhasil dikantongi Indonesia.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi mencapai Rp721,3 triliun atau hanya tumbuh 4,1 persen pada 2018 dibandingkan 2017. Padahal, aliran investasi itu sudah termasuk yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

"Artinya, ketika aturan bagi TKA terus dilonggarkan demi kepentingan investasi, tapi investasinya sendiri tidak signifikan dirasakan Indonesia. Pada akhirnya, hanya membuat munculnya liberalisasi tenaga kerja," tuturnya.

Alasan lain, yang mungkin bisa menjadi pembenaran pemerintah untuk mengimpor buruh asing adalah karena ketidaksiapan tenaga kerja Indonesia. Pemerintah mungkin berdalih saat ini tenaga kerja Indonesia belum siap.

Pemerintah memang tengah melaksanakan program vokasional untuk meningkatkan kesiapan tersebut. "Tapi kalau mau alasan tenaga kerja Indonesia masih belum siap, lalu diisi oleh TKA dulu, mau sampai kapan juga akan selalu terlihat tidak siap kalau tidak dipaksa. Maka tak heran, kita (Indonesia) kalah dari Vietnam, yang setidaknya tenaga kerja bertaraf rendah keterampilannya bisa diupayakan ada dengan waktu yang cepat," jelasnya.

Untuk itu, menurut Bhima, pemerintah sudah saatnya mengakui berbagai `cari-cari alasan` ini dan mulai mengevaluasi kebijakan `karpet merah` bagi para tenaga asing. Caranya, mulai dari pembentukan kerja sama yang juga bersifat pemerintah dengan pemerintah (government-to-goverment/G to G).

"Tujuannya agar benar-benar ada transfer knowledge, bukan sekadar demi kepentingan ekspansi bisnis para pemegang modal saja," imbuhnya.

Kemudian, pemerintah harus berani bertindak tegas dalam kebijakan penggunaan TKA. Bila terbukti tidak sepadan dengan aliran modal yang didapat, maka tak ada salahnya dihentikan. Atau setidaknya, dikaji kembali dan diperbaharui kerja samanya.

Tak ketinggalan, pengawasan harus terus diperketat. Jangan sampai, celah yang sudah diberikan olehpemerintahkepadaTKA, justru turut dihiasidenganbanjirTKA ilegal di pelosok-pelosok negeri.
"Tapi program penambahan kualitas dan keterampilan tetap perlu dilakukan, fokus pembangunan SDM tetap dijalankan," ucapnya.

Memakan Lahan Pekerja Nasional

Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal turut melihat bahwa Jokowi perlu kembali mengevaluasi kembali kebijakan akses kerja bagi TKA di dalam negeri. Jangan sampai, kehadirannya justru memakan lahan para tenaga kerja nasional.

Apalagi, ia melihat penurunan tingkat pengangguran di era Presiden Indonesia ketujuh itu, masih cukup semu. Hal ini terlihat dari penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak di sektor informal.

Padahal, hal ini tak serta merta menguntungkan tenaga kerja Indonesia. Sebab, mereka tidak mendapat akses perlindungan yang kuat. Misalnya, ketika sakit, belum tentu ada asuransi kesehatan dari tempat kerja yang bisa digunakan.

"Maka dari itu, selain mengeluarkan program penambahan kualitas SDM, penciptaan lapangan kerja di sektor formal juga diperlukan. Jangan seperti sekarang ini, banyak yang tercipta, tapi mungkin informal, seperti supir Gojek dan Grab," tandasnya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar