Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Pemetaan Tak Maksimal, Alokasi Subsidi Belum Tepat Sasaran

Senin, 09/09/2019 14:02 WIB
Elpiji 3 kg (TVberita.co.id)

Elpiji 3 kg (TVberita.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Beban pemerintahan Kabinet Kerja periode 2014-2019 yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, terutama di bidang ekonomi sebenarnya tidaklah terlalu berat.

Apabila fokus ke pembangunan infrastruktur dan tim ekonomi yang ditempatkan bukanlah orang-orang yang dahulu sudah menjabat. Bahkan, sudah berulangkali kinerja pembantu Presiden Joko Widodo di bidang ekonomi dan industri semakin memprihatinkan dan memperburuk kondisi keuangan negara dan ekonomi makro nasional.

Salah satunya ditunjukkan oleh realisasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan elpiji yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2018 disampaikan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran Kementerian Keuangan, telah mencapai Rp 54,3 triliun hingga akhir September 2018 lalu. Realisasi subsidi BBM tersebut telah melampaui pagu APBN Tahun Anggaran (TA) 2018 hingga 115,9%, atau telah melebihi rencana alokasi subsidi tersebut sebesar 15,9 persen.

Berdasarkan angka realisasi yang melebihi pagu alokasi subsidi itu, berarti rata-rata realisasi subsidi BBM per bulan adalah Rp 6,03 triliun. Mengacu pada angka rata-rata per bulan itu, berarti realisasi subsidi BBM 3 bulan terakhir adalah sejumlah Rp 18,09 triliun, dan sampai akhir Desember 2018 total realisasinya bisa mencapai Rp 72,39 triliun lebih.

Dengan demikan, apabila data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan menyatakan bahwa besaran subsidi yang dianggarkan dalam APBN 2018 untuk BBM dan elpiji adalah Rp 46,9 triliun. Dan, jika realisasi subsidi BBM dan elpiji per Desember 2018 dengan pemakaian rata-rata per bulan itu akhirnya tercatat mencapai Rp 72,39 triliun, maka kelebihan alokasinya telah mencapai 25,49 triliun atau sebesar 45,35%. Bahkan, angka realisasi Triwulan III Tahun 2018 ini lebih besar 96,7 persen dari realisasi periode sama tahun lalu (TA 2017) yaitu hanya Rp 27,6 triliun.

Kelebihan alokasi subsidi BBM antara pagu dan realisasi itu yang patut dipertanyakan sebagai akibat tidak profesionalnya dan lemahnya kinerja pengendalian otoritas bidang ekonomi dan industri pemerintahan, sehingga Presiden secara terus menerus jadi tumpahan kesalahan. Padahal orang-orang yang berada di Kementerian Perencanaan Pembangunan Negara/Kepala Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian adalah para akademisi yang matang dalam ekonomi makro dan berkali-kali berada dalam kabinet pemerintahan. Mengapa alokasi subsidi tidak selalu begitu tepat (presisi) antara realisasi dengan yang telah direncanakan?

Angka Kemiskinan BPS

Terjadinya masalah kelebihan alokasi subsidi ini merupakan tanggungjawab kinerja tim ekonomi kabinet yang tidak komprehensif, matang dan berbasiskan pada data dan sumber data yang baik, lengkap dan terkini (up date) dalam melakukan perencanaan.

Seharusnya dalam setiap tahun mengalokasikan anggaran untuk suatu program dan kegiatan prinsipnya adalah apa sasaran dan tujuannya serta siapa kelompok sasaranmya. Tentu saja sumber data menjadi penting untuk memahami latar belakang besaran alokasi anggaran untuk program dan kegiatan tertentu. Dengan data yang terkini (up date), valid dan kredibel (reliable dan valuable), maka akan diperolah jumlah alokasi anggaran optimal.

Tentu saja tim ekonomi kabinet pemerintahan tidak mungkin tak memahami prinsip distributif-alokatif anggaran sehingga dapat efektif dan efisien diberlakukan bagi kebijakan subsidi BBM yang dialokasikan untuk kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu, soal data dan sumber data menjadi faktor yang sangat penting dan relevan sebelum menetapkan keputusan besaran alokasi anggaran subsidinya.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa angka kemiskinan pada Maret 2019 mencapai 9,41% atau turun 0,41% poin dibandingkan bulan Maret 2018. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 tersebut mencapai 25,14 juta orang. Sedangkan pada bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82%).

Menurut BPS, kemiskinan di Desa pada Maret 2019, sebesar 12,85% sementara kemiskinan di Perkotaan adalah 6,69%. Artinya, masih ada disparitas yang cukup tinggi antara kemiskinan di wilayah perkotaan dan perdesaan. Mayoritas penduduk miskin berada di desa, oleh karena itu kebijakan pemerintah, termasuk alokasi subsidi BBM harus fokus ke desa. Mestinya kebijakan subsidi energi (BBM, elpiji dan listrik) dapat dipetakan dengan data kemiskinan BPS ini dan menjadi dasar penetapan besaran alokasi pada APBN.

Jika menggunakan data kemiskinan BPS itu, maka apabila alokasi subsidi BBM dan elpiji pada APBN TA 2018 adalah sebesar Rp 46,9 triliun, maka dengan angka kemiskinan pada Tahun 2018 sejumlah Rp 25,95 juta penduduk berarti alokasi per kepalanya adalah sebesar Rp 1.807.321,77 atau rata-rata per bulannya adalah Rp 150.610,15. Pertanyaannya adalah, apakah benar kelompok masyarakat miskin sejumlah 25,95 juta menghabiskan alokasi subsidi BBM dan elpiji itu secara tepat sasaran selama setahun sebesar Rp 46,9 Triliun?

Sebagai contoh, alokasi subsidi BBM jenis solar adalah Rp 1.000 per liter dalam RAPBN dan dengan harga BBM jenis solar Rp. 5.150 per liter, berarti kelompok masyarakat konsumen yang memperoleh subsidi ini yang seharusnya membayar Rp 6.150, hanya membayar Rp 5.150 per liter. Namun, pertanyaannya adalah apakah konsumen yang menikmati harga BBM subsidi jenis solar ini adalah memang kelompok masyarakat yang layak memperolehnya? Atau alokasi anggaran subsidi BBM jenis solar (dan premium) lebih banyak dinikmati oleh kelompok yang tidak layak untuk memperoleh harga subsidi (bukan kelompok masyarakat miskin) atau tidak tepat sasaran?

Strategi Penyaluran Subsidi

Mengacu pada angka realisasi subsidi BBM jenis solar yang sebesar Rp 33,83 triliun itu, maka jumlah liter solar yang dialokasikan untuk konsumen yang menikmati subsidi dalam setiap harga subsidi itu adalah 0,194 liter. Lalu, apakah harga Rp 5.150 per liter yang diterima oleh Pertamina sebagai BUMN yang ditugaskan menyalurkan subsidi BBM jenis solar sebagai sebuah kewajiban atau Public Service Obligation (PSO) berdasar perintah konstitusi dalam pasal 66 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini telah memperoleh harga yang wajar dari pemerintah? Sebab, alokasi BBM jenis solar yang dikeluarkan oleh Pertamina untuk subsidi TA 2019 mencapai 6,9 juta kilo liter lebih. Kalau tidak wajar dan pemerintah juga masih berpiutang atas alokasi subsidi BBM tersebut kepada BUMN Pertamina, lalu bagaimana mungkin beban BUMN dalam mengatasi defisit minyak dan gas melalui pengembangan bisnisnya bisa teratasi?

Contoh kasus lain adalah, PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada Tahun 2017 berdasar data yang digunakannya atas jumlah pelanggan dengan konsumsi daya 900 VA yaitu 22,8 juta RT yang selama ini mendapatkan subsidi, maka PLN mengklaim hanya 4,1 juta pelanggan yang berhak memperoleh subsidi listrik. Artinya sejumlah 18,7 RT pelanggan tidak akan memperoleh lagi atau dicabut subsidi listrik yang selama ini diterimanya dan akan menambah biaya pengeluaran untuk kebutuhan listrik mereka yang sebelumnya Rp 1.034 per Kwh menjadi Rp 1.352 per Kwh atau naik sebesar Rp 322 per Kwh.

Atas migrasi dan kenaikan ini, maka ada potensi penjualan listrik bagi PLN dari pencabutan subsidi pada 18,7 juta pelanggan yaitu sebesar Rp 6,022 miliar per Kwh, bisa dihitung berapa Kwh yang dipakai oleh pelanggan tersebut selama sehari atau sebulan. Dan, jumlah ini akan meningkat lagi pada bulan Juli 2017 dengan rencana PLN untuk menaikkannya lagi sebesar Rp 1.467,28 per Kwh atau sebesar hampir 10 persen.

Penyelidikan dan penetapan secara pasti (definitif-alokatif) atas kelompok sasaran (penikmat) subsidi BBM solar dan premium berdasar Rumah Tangga Miskin (RTM)menjadi kunci ketepatan perencanaan. Dan, tentu saja hal ini untuk menghindari jangan sampai terjadi moral hazard dalam alokasi BBM subsidi, termasuk mencegah jangan sampai terjadi rekayasa penyusunan laporan keuangan pada korporasi swasta dan apalagi BUMN melalui pengakuan alokasi harga subsidi yang diterima sebagai bagian dari pengakuan laba perusahaan yang dicatatkan.

Sebab, pengakuan laba dari alokasi subsidi BBM ini jelas melanggar prinsip akuntansi yang ditentukan oleh PSAI. Termasuk bagi BUMN yang ditugaskan sebagai penyalur BBM subsidi melakukan pencatatan yang tidak bisa diperhitungkan (accountable) atas piutang yang belum dibayarkan oleh Pemerintah atas alokasi anggaran subsidi yang dibebankan, dalam hal ini Menteri Keuangan.

Ada permasalahan data kemiskinan dan alokasi subsidi yang didistribusikan oleh PLN dan Pertamina sebagai kebijakan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM yang tidak sama dan bisa menjadi penyebab subsidi salah sasaran. Angka kemiskinan pada Tahun 2018 saja masih ada sejumlah 25,96 juta penduduk, sementara PLN mengalokasikan subsidi hanya pada 22,8 juta pelanggan (450 VA = 4,1 juta dan 900 VA = 18,7 juta), lalu telah berencana akan mencabut alokasi subsidi listrik kepada 18,7 juta pelanggan yang masih masuk kelompok masyarakat miskin, apakah ini tepat?

Melalui prinsip alokasi berdasar kelompok sasaran (RTM) dan pertimbangan harga yang wajar (berdasar Harga Pokok Produksi/Penjualan) itulah seharusnya alokasi subsidi ditetapkan. Sehingga alokasi subsidi BBM jenis solar maupun premium tidak ditetapkan terlalu jauh selisihnya dari realisasinya, dan pemerintah mampu membayarnya ke Pertamina dan PLN dengan angka yang valid. Selama ini, realisasi BBM subsidi jenis solar dan premium serta listrik tak dapat dikendalikan (uncontrolable) dengan baik kelompok pemanfaatnya, sehingga subsidi lebih banyak tidak tepat sasaran karena dilakukan secara terbuka.

Sebaiknya agar kelompok masyarakat penerima alokasi subsidi energi (BBM, elpiji dan listrik) ini dapat tepat sasaran atau miskin, maka strategi penyalurannya harus dirubah. Penggunaan kartu atau voucher yang disinkronkan dengan penggunaan kartu-kartu lainnya yang telah dijalankan pemerintah selama ini patut dicoba untuk dikembangkan sebagai salah satu solusi yang efektif dan efisien.

Dengan demikian jumlah alokasi subsidi tidak akan bias APBN dan terus mengalami kenaikan setiap tahun akibat ketidakakuratan data perencanaan, apalagi pada Tahun 2019 Kementerian Keuangan mencatat (hingga akhir Juli 2019) telah mengucurkan subsidi energi dan non energi sebesar Rp 92,2 triliun, dan Rp 68 triliun merupakan realisasi subsidi energi. Jumlah realisasi ini mencapai 41,1% dari pagu yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019

Agar alokasi subsidi BBM ini dapat direncanakan dengan baik dan tepat sasaran, maka data dan pemetaan kelompok masyarakat sasaran (targetted) sebagai konsumennya harus sudah tersedia, sehingga penyalurannya dapat memperkecil penyimpangan dari kelompok sasaran.

Permasalahan lain adalah bagaimana RAPBN TA 2020 untuk alokasi subsidi energi yang menjadi Rp 137,5 triliun dari prospek TA 2019 yang mencapai Rp 142,6 triliun dapat didukung oleh kebijakan dan manajemen alokasi subsidi energi yang efektif dan efisien serta menjangkau kelompok sasaran secara optimal, meminimalisir penyimpangannya.

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar