Ridwan al-Makassary

Benarkah ISIS Menunggangi Kisruh di Tanah Papua?

Minggu, 08/09/2019 08:43 WIB
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menduga kerusuhan di Papua ditunggangi oleh ISIS (Tribun)

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menduga kerusuhan di Papua ditunggangi oleh ISIS (Tribun)

law-justice.co - Pada Kamis, 5 September 2019, di Kompleks Parlemen Senayan, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengikuti Rapat Gabungan bersama Komisi 1 DPR RI, yang membahas perkembangan penanganan situasi keamanan di Papua dan Papua Barat.

Dalam rapat tersebut, Menhan mengungkapkan ada kelompok yang terafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Irak and Syiria, ISIS) di Papua, dan juga menyerukan jihad di Papua (kompas.com 05/09/2019; detik.com 05/09/2019).

Tulisan ini memproblematisasi benarkah ISIS, atau kelompok yang terafiliasi dengan ISIS, ikut bermain di air keruh konflik, secara khusus kisruh 2019 di tanah Papua?

Untuk memperoleh sebuah gambaran yang lebih luas, tulisan akan mengkaji beberapa hal: wajah-wajah Islam transnasional di Papua, narasi ISIS dan pengaruhnya di Indonesia, sel tidur ISIS dan ancaman radikalisasi di tengah pusaran konflik bernuansa separatisme dan ancaman konflik agama di Papua, keterlibatan ISIS di kisruh Papua, serta rekomendasi untuk Papua Tanah Damai.

Wajah-wajah Islam transnasional

Indonesia telah menyaksikan badai Islamisasi di ruang publik pada fajar Reformasi 1998, yang ditandai pertumbuhan bank-bank syari’ah, sekolah Islam, universitas Islam, masjid dalam jumlah besar (van Bruinessen 2013).

Belakangan, tren perumahan Islam, kampung Islam, jilbabisasi, cadarisasi, wisata halal, telah membuat segregasi sosial di tubuh masyarakat beragama. Bersamaan dengan terbukanya keran demokrasi, kelompok Islam transnasional, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jemaah Tabligh, dan kelompok Salafi Wahabi telah melakukan kegiatan dan mengamplifikasi ajaran dan ideologinya secara demonstratif.

Proses yang sama telah berlangsung di Tanah Papua, wilayah yang acap diklaim sebagai Tanah Injil atau Israel kedua, di mana Islamisasi ruang publik, untuk beberapa derajat, telah dilihat sebagai ancaman utamanya bagi Kristen garis keras (al-Makassary 2017; Al-Hamid, 2018).

Dalam laporan International Crisis Group (ICG, 2008) gerakan radikal telah muncul di kalangan Muslim dan Pengikut Kristen. Denominasi Kristen radikal termasuk Gereja-gereja Pentekosta-Kharismatik/Evangelis, sementara kelompok Islam termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan gerakan Salafi. Kedua gerakan yang terakhir disebut ini dikategorikan sebagai Islam transnasional, yang memiliki karakter dengan kecenderungan khilfahis/jihadis (Mandaville 2009).

Hingga saat ini ada lima kelompok Islam transnasional yang beroperasi di Papua yaitu HTI, Salafi Wahabi, Jemaah Tabligh, Jemaah Ahmadiyah dan Global Ikhwan. Pada tahun 1988, Jemaah Tabligh telah hadir ke Papua dan saat ini berlokasi di kota Jayapura. Anggota-anggotanya telah menyebar ke berbagai wilayah di Papua (Noor, 2010).

Jemaah Ahmadiyah telah tiba pada tahun 2000 dan kebanyakan narasi tentang mereka, berkaitan dengan persekusi, dan fakta bahwa masjid mereka digembok oleh sebagian Muslim konservatif, yang melarang mereka beribadah secara bebas. Mereka dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni.

Global Ikhwan, nama baru dari Darul Arqam, yang telah dilarang di Malaysia, hadir Papua pada 2013. Gerakan ini lebih banyak bergerak di bidang pengembangan ekonomi umat melalui restoran dan sekolah. Riset saya yang terakhir membahas Islam transnasional di Papua dengan tekanan pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan grup Salafi Wahabi. Kemungkinan ada kelompok yang berafiliasi dengan ISIS, sebagaimana diujarkan oleh Menhan, mungkin saja terkait salah satu grup Islam transnasional ini. 

Narasi dan pengaruh ISIS di Indonesia

ISIS, sejatinya, mereferensi pada sebuah gerakan mondial untuk menegakkan sebuah tatanan kekuasaan di bawah satu kekhalifahan Islam lintas negara (transnasional) di Timur Tengah. Karenanya, dalam rangka menggaet pendukung sebesar-besarnya untuk skala internasional, maka ISIS juga menyebut dirinya IS, Islamic State, untuk tidak membatasi aktivitas perjuangannya hanya pada lingkup negara Irak dan Syiria. 

Secara historis, ISIS/IS bermula dari Islamic State in Iraq (ISI) yang didirikan oleh Majelis Syura Mujahidin pada 13 Oktober 2006 dengan mengangkat Abu Umar Bakar Al-Baghdadi sebagai khalifah. Al-Bagdadi adalah produk dari Al-Qaida, gerakan ekstrem Osama bin Laden, untuk wilayah Irak, yang diberhentikan karena sikap ekstremnya.

Isunya dia adalah seorang agen Mossad. Singkatnya, pada 3 Januari 2014 ISIS lahir dan kekhalifahannya diproklamirkan pada 29 Juli 2014. Ideologinya dibangun dengan pemahaman Salafi Jihady, Wahhabism, berorientasi kekhalifahan dan sikap yang membenci dan bermusuhan dengan Syi’ah. ISIS telah melemah pada tahun 2017 dan tampaknya tinggal sejarah, meskipun anasir-anasir ISIS tidak serta mati.

Di Indonesia, hingga pertengahan Maret 2014, telah mengalir dukungan ormas Islam non-mainsteamterhadap ISIS. Misalnya Jamaah Tauhid wal Jihad (JTJ), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) besutan Abu Bakar Baasyir/Dulmatin, Mujahidin Indonesia Timur Pimpinan Santoso (Abu Wardah), sisa Mujahidin Indonesia Barat (MIB) pimpinan Bachrum Syah/Abu Roban, dan Muhajirun yang merupakan sempalan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang tergabung dalam sebuah faksi yaitu Forum Aktivis Syari’ah Islam.

Selain itu, terdapat Tauhid Waljihad, pimpinan Oman Abdurrahman dan sejumlah grup lain yang berfusi dalam Jamaah Anshar Ad-Daulah (JAD), dengan pimpinan Oman Abdurrahman, yang diduga kaki tangan ISIS di Indonesia. Oman adalah penganjur ideologi dan propagandis ISIS. Informasi terakhir Oman telah dituntut Jaksa untuk dijatuhi vonis hukuman mati karena dipandang terbukti sebagai dalang pengeboman di Surabaya. 

Mengapa sebagian Muslim bersimpatik kepada ISIS? Berdasarkan laporan IPAC, terdapat tiga faktor yaitu, pertama, terdapat nubuat tentang Syiria yang akan jadi tempat perang besar dan akan berdirinya khilafah di sana. Kedua, organisasi humanitarian yang merubah orientasi dan mendukung ISIS. Ketiga, ISIS dianggap tidak beretorika tentang pendirian khilafah.

Latar belakang sosial anggota ISIS di Indonesia dari semua kalangan, dari orang miskin (yang tertarik dengan janji gaji dan hidup yang baik) hingga orang kaya. Dari alumni SD hingga lulusan doktor, dari berbagai pekerjaan hingga PNS. Murungnya, pelaku bom juga sudah melibatkan perempuan. Data 2016-2017 menyebutkan bahwa sudah ada 10 orang pelaku bom, termasuk tiga orang yang merencanakan aksi bom bunuh diri. 

Penyebaran ajarannya, dilakukan secara umum melalui internet dan sarana offline, seperti pengajian dan sistem sel di berbagai tempat pengkaderan mereka. Jaringan ISIS di Indonesia diperoleh dari eks anggota kelompok-kelompok Islam radikal lainnya di Indonesia.

Berdasarkan studi terdahulu, terdapat variasi data dari berbagai lembaga negara tentang berapa jumlah pejuang Indonesia yang bergabung ke ISIS, namun data dari PPATK mengungkap sebaganyak 500 WNI telah balik ke Indonesia.

Sebagian menyebar di berbagai wilayah dan tetap berbahaya karena mungkin di antara mereka telah memiliki kemampuan menjalankan aksi propaganda dan aksi teror. Dengan “berkah” internet, propaganda radikal paska ISIS, akan tetap berselieweran dan menyasar  para pemuda yang rentan dengan ideologi ISIS. 

Berkaca dari kasus Kota Marawi, di Filipina yang jatuh ke tangan milisi Maute yang jumlahnya hanya 1500 orang. Namun, “keberhasilan” mereka banyak terbantu karena adanya sel tidur di kota tersebut yang jumlahnya 10 kali lipat.

Sel tidur tersebut adalah orang-orang yang telah terpapar pikiran radikal, terutama yang sudah tiba pada tahap mengkafirkan orang lain dan mengklaim pemerintahan sebagai thagut, membenci aparat kepolisian, non-Muslim, dan seterusnya.

Di Indonesia, jumlah sel tidur ISIS tidak diketahui pasti. Tapi berkaca pada riset dari SMRC menyebutkan, ada 0,3 persen responden yang setuju kekerasan dan tindakan ISIS diperlakukan di tanah air. Singkatnya, ada 950 ribu orang yang siap menjadi petempur ISIS jika kita tidak waspada.

Paska kekalahan milisi dan ISIS di Marawi, dikhawatirkan sisa-sisa petempur ISIS menyeberang ke wilayah lain, termasuk di Indonesia. Beberapa pihak, termasuk TNI mensinyalir sisa-sisa petempur atau sel tidur ISIS telah menyeberang ke Maluku dan Sulawesi Utara. Bahkan, belakangan disinyalir masuk ke Papua dan Papua Barat.

Sel ISIS dan ancaman radikalisasi dan konflik di Tanah Papua 

Pandangan pihak keamanan terhadap keberadaan ISIS di Tanah Papua cenderung tidak konsisiten. Awanya, laporan intelijen dan pernyataan seorang petinggi TNI di media massa menunjukkan bahwa hanya ada dua wilayah saat ini yang tidak tersentuh pengaruh ISIS, yaitu Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Namun, belakangan ini pandangan terdahulu tersebut berubah karena mungkin ada data bahwa anasir ISIS, yaitu kelompok JAD bermain dan bergerak di Papua, khususnya di Keerom dan Merauke.

Selain itu, Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Pol. Dedi Prasetyo menyatakan, keberadaan ISIS telah tercium, di mana jaringan ISIS merencanakan pengeboman Polres Manokwari pada 2018. Lebih jauh, sel tidur ISIS diduga berada di Jayapura, Wamena, Fakfak dan Merauke, untuk menyebut beberapa.

Namun, riset lapangan saya di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan Keerom tidak menemukan indikasi kehadiran ISIS atau kelompok yang berafiliasi dengannya. Misalnya, di Keerom yang diduga tempat pergerakan ISIS. Diskusi penulis dengan KH Noorsalim Ar-Rozy, Ketua FKUB Keerom, di Keerom pada 2018 dan awal 2019, tidak menemukan indikasi ada gerakan ISIS itu.

Meskipun demikian, kita tidak boleh menutup mata akan menutup kemungkinan kehadiran gerakan mereka, walau belum terdeteksi saat ini, sebab boleh jadi anasir ISIS di Papua sebagai gerakan bawah tanah (underground organisation). 

Penulis sendiri meragukan akan sterilnya sel tidur ISIS di Tanah Papua. Ada beberapa alasan:
Pertama, sisa atau pengikut dari Faksi Salafi Jafar Umar Thalib (JUT) yang cukup diterima untuk berdakwah di Papua cukup mengkhawatirkan. Di tengah penolakan sebagian umat Islam dan non-Muslim serta Pemerintah Kota Keerom yang menolak pendirian pesantren dan masjid karena tidak mengikuti prosedur, JUT bergeming dengan rencana pembangunan pondok pesantrennya, meski pandangan politiknya yang anti politik (hizbiyyah) namun sejarah menunjukkan bahwa Faksi JUT pernah terlibat dalam kancah konflik berdarah di konflik komunal di Ambon.

Perkembangan terakhir, Ustad JUT telah meninggal dunia belum lama ini dan bagaimana masa depan pesantrennya di Keerom masih tanda tanya.

Kedua, sisa atau pengikut dari Hizbut Tahrir Indonesia di Papua yang mengidamkan pendirian kekhalifahan Islam, bisa saja bersalin rupa menjadi sel tidur ISIS ketika mereka tetap terpapar radikalisasi. Di Jawa terdapat beberapa eks HTI dan FPI ada yang bersalin rupa menjadi petempur ISIS dari Indonesia di Syiria.

Ketiga, gerakan Islam di luar dua organisasi tersebut, yaitu pelbagai faksi Salafi yang lain yang mengajarkan takfiry dan kebencian kepada negara dapat mempengaruhi pemuda-pemuda Muslim yang memiliki ghirah keislaman yang tinggi, terutama Muslim asli Papua dari Walesi, jika tidak ada penanganan untuk menangkal radikalisasi.

Keempat, laporan terakhir dari PPIM UIN Jakarta menunjukkan bahwa Papua telah mengalami radikalisasi di kalangan pelajar dan mahasiswa, yang menunjukkan sebagian besar tidak toleran dan pluralis. Hal terakhir ini adalah ancaman.

Apakah ISIS terlibat dalam konflik di Papua?

Berdasarkan deksrispi di atas, maka tampaknya pandangan bahwa ISIS atau kelompok yang terafiliasi dengan ISIS menunggangi atau bermain di air keruh konflik Papua kurang tepat dan tidak beralasan.

Sejauh ini tidak ada indikasi kehadiran mereka yang nyata, dan juga keterlibatan kelompok Islam yang berafiliasi dengan ISIS yang memainkan peranan secara langsung dalam kisruh Papua 2019, sejauh ini tidak didukung bukti-bukti yang kuat. 

Sementara itu, kelompok Islam transnasional, katakanlah yang berafiliasi dengan ISIS, mungkin tidak menginginkan Papua lepas dari NKRI karena keinginan kelompok ini adalah menginginkan tegaknya kekhalifahan yang bermula dari Negara Islam. Singkatnya Negara Islam adalah prasyarat Negara Khilafah.

Lepasnya Papua dari NKRI akan semakin menyulitkan kelompok ini mencapai tujuan utopisnya, yaitu pendirian khilafah. Juga dalam hal ini, saya tidak setuju bahwa lepasnya Indonesia akan disyukuri kelompok pejuang khilafah karena mereka akan ikut dalam barisan yang meneriakkan kegagalan Presiden Jokowi menjaga Papua. Ini dibuktikan dengan wacana separatisme sebagai bagian dari skenario Barat menghancurkan Islam.

Sebagai kesimpulan, kisruh Papua 2019 lebih merupakan konflik politik akut antara para nasionalis Papua dengan pemerintah Republik Indonesia, di mana isu rasisme hanyalah pemicu.

Tanpa itu pun, gerakan separatis tetap beroperasi. Dalam hal ini, penyelesaian yang paling bermartabat adalah dialog perdamaian antara kedua pihak dan sejauh mungkin bisa menghindari pendekatan kekerasan. Sementara ISIS atau kelompok yang berafiliasi dengan ISIS, tampaknya tidak terlibat dalam kisruh konflik beberapa tahun terakhir di Tanah Papua. Damai Papua Damai Indonesia.

Ridwan al-Makassary: Pekerja Perdamaian, co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI), yang sedang meneliti Islam Transnasional di Papua dengan tekanan pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kelompok Salafi Wahabi, khususnya Faksi Salafi Jafar Umar Thalib

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar