Membunuh KPK dengan Revisi UU, Mainan Para Koboi Senayan

Sabtu, 07/09/2019 05:55 WIB
Ilustrasi DPR RI Sahkan Revisi UU KPK (sindonews)

Ilustrasi DPR RI Sahkan Revisi UU KPK (sindonews)

Jakarta, law-justice.co - Tiba tiba saja upaya merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU KPK) kembali muncul setelah sekian lama mengendap di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bak operasi senyap, tiba-tiba saja DPR mengagendakan rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) atas revisi UU KPK.

Padahal sejak wacana ini menjadi polemik, Baleg tidak pernah mempublikasikan rapat pembahasan draf rancangan undang-undang itu. Sebagaimana kita maklumi bersama, rencana revisi UU KPK sebenarnya memang sudah menjadi pembahasan sejak tahun 2017 yang lalu. Namun karena mendapatkan penolakan yang gencar dari publik, akhirnya rencana revisi itu tertunda.  Kini tiba-tiba saja rencana itu muncul kembali sehingga menimbulkan tanda tanya.  Pakar tata hukum tata negara Mahfud MD bahkan meminta agar DPR RI tidak terburu-buru mengesahkan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Alasan mendasarnya, pelantikan anggota DPR baru kurang satu bulan lagi. Jika buru-buru merevisi, langkah DPR layaknya kejar setoran. “Tiga minggu lagi anggota DPR baru dilantik. Saya berharap, DPR periode 2014-2019 tidak buru-buru melakukan revisi. Biar anggota yang baru melibatkan masyarakat agar lebih hati-hati dan jernih,” ujar Mahfud, Kamis (5/9), di kampus Universitas Negeri Yogyakarta.

Jika anggota DPR yang segera habis masa jabatannya memaksa melakukan revisi, Mahfud melihat hal itu seperti upaya kejar setoran. Padahal menurutnya, keterlibatan masyarakat dalam penyusunan UU ini sangat penting karena masukannya dibutuhkan  untuk perubahan pasal menjadi dasar revisi. Karena era  sekarang rakyat harus didengar dulu apa maunya baru dibahas dan diumumkan. Tidak seperti zaman Orba dimana keterlibatan masyarakat dianggap suatu hal yang tabu dan langka.

Menimbulkan Pro Kontra

Revisi UU KPK yang sudah diwacanakan sejak tahun 2017 hingga kini tidak kelar-kelar juga karena revisi ini memang sarat dengan kontroversi dan pertentangan antara yang pro dan yang kontra. Mereka yang ingin supaya UU KPK direvisi beralasan bahwa revisi perlu dilakukan demi menata dan membenahi sistem penegakkan hukum Indonesia.

Alasan ini antara lain disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu. "Saya sebagai salah satu inisiator (revisi UU KPK), semangatnya itu penataan dan pembenahan penegakan hukum," katanya di Gedung Nusantara II, Jakarta. Para anggota Komisi III DPR, yang dikenal sebagai Koboi Senayan sepertinya sudah teken kontrak mati bahwa UU KPK harus direvisi.

Dia mengatakan butuh reposisi dan reformasi fungsi-fungsi penegakan hukum, khususnya dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Masinton menegaskan revisi UU KPK itu bukan untuk memperlemah KPK karena akan bersamaan dengan revisi UU Kejaksaan dan UU Kepolisian, melainkan untuk memperbesar porsi-porsi penanganan dan pencegahan kasus korupsi dan pencegahannya.

Senada dengan Masinton, Guru Besar Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita mengatakan perlu dilakukannya revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "UU KPK harus direvisi, bukan diperlemah, tapi harus diubah strateginya," kata Romli, saat berbicara dalam acara diskusi bertajuk Revisi UU KPK, di Jakarta, Rabu (30/11).

Menurut dia, UU KPK harus direvisi, untuk memperkuat, dan mempertegas arah strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh komisi yang dibentuk pada era reformasi tersebut. Romli mengatakan beberapa ketentuan yang harus masuk dalam revisi UU KPK adalah mengenai kriteria perkara tindak pidana korupsi yang bisa ditangani oleh KPK.

"Angka kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK harus dipertinggi, sisanya ditangani oleh Kepolisian, dan Kejaksaan. Biar nanti masyarakat yang menilai mana yang paling becus," katanya. Ada  yang menginginkan agar UU KPK di revisi dengan berbagai alasan, tapi banyak juga yang menolaknya. Peneliti hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, memaparkan tiga alasan bahwa UU KPK tak perlu diubah. “Tidak ada politik legislasi yang jelas dalam revisi Undang-Undang KPK,” ujar Bivitri ketika ditemui di PSHK.

Pertama, Bivitri menjelaskan bahwa tidak ada masalah konstitusi dengan desain KPK. PSHK menilai hal ini dapat dilihat dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi soal permohonan pengujian UU KPK sejak 2003 hingga sekarang. “Sampai 2016 setidaknya ada 18 permohonan yang sudah dan sedang diuji di MK, dan sejauh ini MK justru menguatkan KPK,” katanya.

Kedua, PSHK menganggap sampai saat ini KPK efektif melakukan tugas-tugasnya. Berdasarkan data, KPK merupakan lembaga hukum yang menangani kasus korupsi dengan potensi kerugian negara tertinggi dibanding dengan dua lembaga penegak hukum lainnya, Polri dan Kejaksaan Agung. “Sepanjang 2014, KPK tangani kasus yang nilainya Rp 3 triliun, kepolisian hanya Rp 132 miliar dan Kejaksaan Rp 1,7 triliun. Padahal kantor KPK hanya di Jakarta dengan 70 penyidik.”

Ketiga, Bivitri menilai revisi UU KPK kental diwarnai ketidaksukaan politikus. Hal ini, kata Bivitri, dapat dilihat dari mendadaknya RUU KPK masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas). “Tidak ada tanda-tanda jelas, tahu-tahu muncul,” ucapnya.

Selain PSHK, ICW jauh jauh hari juga menolak revisi UU KPK. Setidaknya, ada 10 catatan yang menjadi perhatian terhadap keberlangsungan pembahasan RUU KPK. Koordinator Divisi Politik ICW, Donal Fariz, mengatakan 10 catatan itu menjadi alasan koalisi menolak perubahan UU KPK.

Pertama, pembentukan dewan pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden. Draf RUU KPK per Februari 2016 mengatur keberadaan dewan pengawas sebanyak 6 pasal. Keenam Pasal itu adalah 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, dan 37F.

Menurut Donal, persoalan terbesar yakni ketentuan terkait pengangkatan dan pemilihan anggota Dewan Pengawas. Meski diangkat oleh Presiden, namun tidak diatur secara rinci mekanisme pemilihan anggota dewan pengawas. “Dengan demikian dapat diartikan bahwa kewenangan memilih anggota dewan pengawas adalah murni menjadi hak prerogratif Presiden. Metode demikian maka Dewan Pengawas bertanggungjawab langsung kepada presiden sebagai pemberi mandat,” ujarnya.

Kedudukan Dewan Pengawas yang demikian dipandang sebagai bentuk campur tangan eksekutif terhadap KPK. Donal khawatir besarnya campur tangan presiden akan memudahkan intervensi politik istana terhadap KPK. Padahal, KPK melekat kemandirian dan independensi dalam penegakan hukum.

Kedua, ketentuan penyadapan mendapatkan izin dari Dewan Pengawas. Bila naskah RUU KPK per 2015 lalu, mekanisme penyadapan mesti mendapatkan izin dari ketua pengadilan, namun draf teranyar mesti mengantongi izin dari Dewan Pengawas.

Pasal 12A intinya penyadapan dapat diberlakukan setelah adanya bukti permulaan yang cukup dan atas izin dari Dewan Pengawas. Donal berpandangan kewenangan Dewan Pengawas tersebut bentuk intervensi eksekutif terhadap KPK. Bahkan, draf RUU pun tidak mengatur prosedural bila yang disadap adalah anggota Dewan Pengawas itu sendiri.

Ketiga, penyadapan hanya dapat diberlakukan di tingkat penyidikan. Ketentuan Pasal 12A menyatakan, ”Proses penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup”. Dengan kata lain, penyadapan hanya dapat dilakukan di tingkat penyidikan, bukan di penyelidikan sebagaimana praktik yang dilakukan KPK selama ini. Kondisi tersebut menjadikan KPK terhambat. Bahkan menyulitkan KPK dalam melakukan reaksi cepat atas informasi praktik penyuapan maupun operasi tangkap tangan.

Pasal itu berbeda dengan Pasal 12 UU KPK, intinya menyatakan penyadapan dan merekam pembicaraan dapat dilakukan ditahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan tidak mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup. “Dengan pembatasan penyadapan pada tahap penyidikan, dapat dipastikan KPK tidak bisa lagi melakukan operasi tangkap tangan yang sebagian besarnya menyasar anggota DPR. Dengan rancangan baru ini, penindakan akan kembali ke model investigasi konvensional,” kata Donal.

Keempat, RUU KPK menimbulkan munculnya dualisme pimipinan KPK terkait dengan langkah penyadapan yang dilakukan lembaga antirasuah itu. Pasalnya, pertanggungjawaban penyadapan tak saja diberikan kepada pimpinan KPK, namun juga Dewan Pengawas. Ia menilai campur tangan Dewan Pengawas atas fungsi penindakan KPK yang terlampau jauh memunculkan konflik otoritas. Bahkan, pengebirian hak dan kewenangan pimpinan KPK.

Kelima, RUU KPK menyebabkan hilangnya kemandirian dalam melakukan rekruitmen penyelidik dan penyidik. Pasal 43 ayat (1) menyatakan, “Penyelidik KPK merupakan penyelidik yang diperbantukan dari Kepoliisan Negara Republik Indonesia selama menjadi pegawai pada KPK”. Sedangkan Pasal 45 ayat (1) menyebutkan, “Penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang oleh Undang-Undang”.

Berdasarkan kedua Pasal itulah, KPK tidak dimungkinkan merekrut penyidik independen. “Dengan rumusan ini, DPR sedang memberikan akses besar bagi kepoliisan ‘menguasai’ KPK, sehingga ke depan KPK akan banyak menemui hambatan dalam melakukan kerja-kerja penindakan di sektor penegakan hukum,” ujar Donal.

Keenam, ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus oleh DPR melalui naskah RUU KPK. Sedangkan Pasal 38 ayat (2) menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam UU ini”. Menurutnya penghapusan pasal itu memberikan konsekuensi hanya penyidik KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan yang dapat melakukan penyidikan. Sebaliknya, pegawai KPK yang tidak berasal dari kepolisian dan kejaksaan tidak dapat melakukan proses penyelidikan.

Ketujuh, RUU KPK menghapus keberadaan Pasal 46 ayat (1) UU KPK yang intinya pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundangan lain (KUHAP), tidak berlaku berdasarkan UU KPK.  Sedangkan dalam Pasal 46 ayat (1) RUU KPK yang intinya pemeriksaan tersangka mesti berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Namun Pasal tersebut mengharuskan adanya prosedur khusus yakni adanya kewajiban memperoleh izin terhadap tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.

Kedelapan, keistimewaan KPK dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan adalah tidak memiliki kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan penuntutan. Langkah ini menjadi kekuatan kualitas KPK dalam penanganan perkara mesti memiliki bukti kuat untuk dibuktikan di pengadilan. Sebaliknya dalam RUU KPK kewenangan SP3 diberikan terhadap KPKdalam pemberantasan korupsi. Akibatnya, hal tersebut jauh dari semangat pembentukan KPK.

Kesembilan, Pasal 47 RUU KPK mengatur ketentuan penyitaan dapat dilakukan setelah adanya bukti permulaan yang cukup dan setelah mengantongi izin Dewan Pengawas. Hal tersebut dipandang Donal upaya menghambat dan memperlembat proses penindakan KPK. Pasal sebelumnya dalam Pasal 47 UU KPK memberikan kewenangan penyitaan yang dilakukan KPK tanpa seizin ketua pengadilan negeri. “Keharusan adanya izin penyitaan dari Dewan Pengawas yang bersifat mutlak menjadi persoalan apabila Dewan Pengawas menolak memberikan izin penyitaan dengan alasan subjektif,” katanya.

Kesepuluh, naskah RUU KPK per Februari 2016 tidak mengatur ketentuan tentang masa peralihan. Sebaliknya, Pasal II RUU KPK hanya menyebutkan UU ini berlaku pada tanggal diundangkan. Nah menjadi persoalan tiada ketentuan masa peralihan akan memberikan konsekuensi ketika RUU KPK disahkan  sebelum Dewan Pengawas terbentuk. “Maka KPK tidak dapat melakukan proses penyadapan dan penyitaan dalam perkara korupsi,” ujar Donal.

KPK Menjelang Ajal

Meskipun diwarnai oleh pro kontra namun pada akhirnya  seluruh fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR. Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang. "Apakah RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui menjadi usul DPR RI?" tanya Wakil Ketua DPR Utut Adianto selaku pimpinan rapat.

Tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi. Tok! Utut pun langsung mengetok palu sidang tanda diresmikannya revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Tanggapan setiap fraksi atas usul RUU ini lalu langsung diserahkan secara tertulis kepada pimpinan, tidak dibacakan di dalam rapat paripurna.  Partai partai yang dulu pada tahun 2016 menolak revisi UU KPK sekarang sudah berganti haluan ikut mendukung revisi UU KPK.

Setelah persetujuan revisi UU KPK, Baleg bertekad mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang. "Ada tekad untuk menyelesaikan masa sidang ini," kata Anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Hendrawan meyakini revisi UU ini bisa selesai dalam waktu singkat karena seluruh fraksi sudah satu suara.

Ia mengklaim semua fraksi yang ada di Baleg sepakat bahwa UU KPK harus direvisi. "Kalau tidak (sepakat) ngapain dibawa ke paripurna hari ini. Kalau tidak kan hanya menambah pekerjaan rumah (DPR periode) yang akan datang," ujar Hendrawan. Hendrawan juga optimistis revisi UU ini akan cepat selesai karena DPR sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah.

Dengan persetujuan dari DPR maka kita menyaksikan hari-hari terakhir kehidupan KPK menuju ajalnya. Karena kalau kemudian DPR bersama pemerintah berhasil mengesahkan UU revisi KPK maka lembaga anti korupsi ini akan berganti wajahnya.

Pertama, mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen. Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN. Untuk diketahui, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.

Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas. Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan. Pasal 4 Revisi UU KPK yang menyebutkan "KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan korupsi".

Hal ini bertolak belakang dengan Pasal 4 UU KPK yang saat ini berlaku menyebutkan "KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi". Pasal 7 Revisi UU KPK Tugas KPK melakukan pencegahan menjadi tugas nomor 1, bandingkan dengan Pasal 6 UU KPK yang saat ini berlaku menyebutkan tugas pencegahan KPK sebagai tugas ke 4 dari 5 tugas KPK.

Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK. Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3. Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik. Kewenangan menerbitkan SP3 justru akan membawa KPK ke level kewenangan yang tidak berbeda  dengan Kepolisian dan Kejaksaan, sangat jauh dari semangat awal pembentukannya.

Selain enam hal diatas, wajah KPK juga berubah karena  umur KPK akan dibatasi hanya 12 tahun saja. Pasal 5 dan Pasal 73 Revisi UU KPK ini menyebutkan secara spesifik bahwa usia KPK hanya 12 tahun sejak Revisi UU KPK disahkan. Ini adalah kiamat pemberantasan korupsi, bukan hanya bagi KPK tapi juga Bangsa Indonesia.

Karena pendirian KPK adalah salah satu mandat reformasi, dan publik berharap banyak terhadap kerja KPK. Pembubaran KPK secara permanen melalui Revisi UU KPK yang disahkan, akan menjadi lonceng peringatan yang baik untuk koruptor, tapi jadi penanda datangnya kiamat bagi publik dan upaya pemberantasan korupsi.

KPK tidak lagi memiliki tugas dan kewenangan melakukan penuntutan. Karena revisi UU KPK menghapuskan tugas dan kewenangan dibidang penuntutan. Tugas KPK dibidang penindakan hanya melakukan penyelidikan dan dan penyidikan. Sedangkan penuntutan dikembalikan kepada Kejaksaan Agung.

Dalam Revisi UU KPK ini, disebutkan bahwa yang berhak menuntut adalah Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung, atau Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam KUHAP. Hal ini tercantum dalam Pasal 53 Revisi UU KPK, dan implikasi dari pasal ini adalah KPK tidak lagi memiliki kewenangan menuntut, dan proses penanganan perkara KPK, tak ubahnya Kepolisian.

KPK akan kehilangan tugas dan kewenangan melakukan monitoring. Karena selain hilangnya penuntutan, Revisi UU KPK juga menghilangkan tugas KPK dalam melakukan monitoring. Selain itu KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp 50 Miliar ke atas. Peningkatan jumlah kerugian negara dalam perkara yang dapat ditangani oleh KPK menjadi minimal Rp 50 Miliar Rupiah, menjadi salah satu pertanda bahwa lembaga ini sedang dikurangi kewenangannya secara besar-besaran.

Sedangkan kasus korupsi dibawah Rp 50 miliar, maka KPK harus menyerahkan penyidikan kepada kepolisian dan kejaksaan. Padahal jika berkaca dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berlaku sekarang, nilai kerugian negara yang ditentukan bagi KPK, hanya sebesar Rp 1 Miliar Rupiah, dan dengan angka ini, ada banyak perkara korupsi besar (grand corruption) yang juga berhasil diungkap oleh KPK.

KPK tidak dapat membuat perwakilan di daerah Provinsi. Ketentuan lain yang hilang dalam RUU UU KPK adalah ketentuan mengenai pembentukan perwakilan KPK di provinsi. Padahal dalam UU KPK yang saat ini berlaku (Pasal 16) KPK memiliki kewenangan untuk membentuk kantor perwakilan di daerah Provinsi.

Pasal 25 ayat (2) Revisi UU KPK pada intinya menyebutkan bahwa KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai mandiri. Karena yang dapat menjadi pegawai KPK adalah pegawai negeri yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangungan, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Ini menandakan bahwa KPK tidak lagi dapat mengangkat pegawainya secara mandiri.

Pasal 52 Revisi Undang-Undang KPK menyebutkan bahwa KPK wajib memberi notifikasi (pemberitahuan) kepada Kepolisian dan Kejaksaan ketika menangani perkara korupsi. Kewajiban ini menempatkan KPK dalam posisi di bawah Kejaksaan dan Kepolisian, karena dalam Revisi Undang-Undang KPK ini, kewajiban tersebut hanya ada bagi KPK tapi tidak bagi Kejaksaan dan Kepolisian.

KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. Dengan sendirinya KPK kehilangan kemandiriannya dalam melakukan rekrutmen pegawai dan penyidik. Serupa dengan definisi pegawai KPK yang disebutkan dalam Pasal 25 ayat (2) Revisi UU KPK, mendatang penyelidik dan penyidik KPK pun dibatasi hanya dapat dipilih dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan, berdasarkan usulan dari masing-masing lembaga, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 ayat (3) Revisi UU KPK.

Selain pengangkatan penyelidik dan penyidik yang harus didasarkan oleh usulan Kejaksaan dan Polri, Pasal 45 ayat (1) Revisi UU KPK menyebutkan pula bahwa pemberhentian penyelidik dan penyidik juga harus didasarkan oleh usulan dari Kejaksaan dan Kepolisian. Hal ini betul-betul memangkas kemandirian dan otoritas KPK dalam menjalankan kepentingan organisasionalnya, karena harus menggantungkan diri pada usulan dan keputusan dari lembaga lain.

Berdasarkan Pasal 30 Revisi UU KPK,  salah satu syarat menjadi pimpinan KPK adalah berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan setinggi-tinginya 65 tahun. Syarat ini hanya akan dipenuhi oleh para manula atau pensiuanan pejabat atau orang-orang jompo.  Padahal sebelumnya dalam UU KPK, disebutkan bahwa syarat minimal menjadi pimpinan KPK adalah 40 tahun.

Pembentukan Dewan Kehormatan KPK. Lembaga baru yang muncul dalam RUU KPK adalah "Dewan Kehormatan". Kewenangan dari Dewan Kehormatan sangat besar salah satunya adalah kewenangan melakukan pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap sebagai pegawai KPK. Kewenangan ini justru tumpang tindih kewenangan pengawas internal dan bahkan pimpinan KPK. 

Revisi UU KPK juga menambahkan satu lagi bagian dari organisasi KPK yaitu, Dewan Eksekutif. Kerja Dewan Eksekutif ini patut dipertanyakan, karena kerja-kerja yang sama seperti halnya pimpinan KPK, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Revisi UU KPK. Keberadaan anggota Dewan Eksekutif yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 23 Ayat 6 RUU KPK)  dapat dimaknai sebagai orang titipan Presiden di KPK.

KPK tidak dapat menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi. Dalam RUU KPK juga dihapus kewenangan KPK dibidang pencegahan yaitu menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan. Selanjutnya Pasal 49 Ayat 1 RUU KPK mengatur penyitaan oleh KPK harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Padahal sebelumnya (dalam UU KPK yang berlaku) penyitaan KPK dapat dilakukan tanpa izin Ketua  Pengadilan Negeri.

Kejar Setoran untuk Menggali Kubur KPK?

Di ujung akhir masa jabatannya, DPR sepertinya sedang tancap gas ingin menyelesaikan RUU yang selama ini sudah lama mengendap di DPR. Semangat untuk menyelesaikan RUU menjadi Undang Undang tiba tiba saja muncul dan mendapat semangat ekstra, ada apakah kiranya ?. Meski mereka beralasan ingin menguatkan KPK, nyatanya sejumlah pasal yang diusulkan direvisi berpotensi membuat lembaga antikorupsi  ini menjadi  tak berdaya.

Lalu apakah semangat merevisi UU KPK di di DPR itu terjadi karena mereka semua sedang kejar setoran di ujung masa pengabdiannya ? Mengapa penyusunan draf revisi undang-undang  dilakukan diam-diam ? Bukankah ini suatu bentuk ketidakacuhan pemerintah dan parlemen terhadap aspirasi publik?

Maka patut diduga, Revisi UU KPK menjadi agenda dari pihak-pihak  tertentu yang tidak suka terhadap ekstistensi KPK memberantas korupsi di Indonesia. Bahkan banyak pihak menduga bahwa usulan Revisi UU KPK merupakan titipan para koruptor atau pihak-pihak yang berpotensi menjadi tersangka KPK.

Padahal selama ini KPK telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia dan khususnya dalam upaya melakukan penindakan perkara korupsi dengan maksimal. Namun dibalik kewenangan KPK yang luar biasa masih saja ada pihak-pihak yang berharap sebaliknya. Ingin KPK dibubarkan atau kewenangan penindakannya dipangkas.

Para pendukung atau mereka yang pro koruptor lebih suka menjadikan KPK sebagai Komisi Pencegahan Korupsi daripada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada hal kalau hanya mencegah, bukankah tokoh tokoh masyarakat, para guru atau ustadz bisa melakukannya  sehingga tidak perlu KPK ?

Kini upaya pelemahan KPK itu datang melalui mekanisme yang sah, melalui proses legislatif dengan cara melakukan Revisi UU KPK. Maka makin  jelaslah sudah maksud dari pihak-pihak yang mengusulkan Revisi Undang-Undang KPK, yang diduga ingin mengantarkan KPK ke liang kuburnya.

Jika Revisi UU KPK ini disahkan, maka hanya butuh waktu 12 tahun untuk Bangsa Indonesia menghadapi  pemberantasan korupsi. Setelah itu  Indonesia akan mengalami masa kegelapan dalam pemberantasan  korupsi  karena pemberantasan korupsi akan akan kembali ke pangkuan Jaksa dan Polisi seperti yang terjadi pada zaman sebelum reformasi. Kalau itu terjadi maka KPK sedang bersiap menggali kuburannya sendiri.

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar