OTT Jadi Cara KPK Kejar Setoran di Akhir Jabatan Agus Rahardjo Cs

Jum'at, 06/09/2019 18:31 WIB
Ketua KPK Agus Rahardjo (Jawa Pos)

Ketua KPK Agus Rahardjo (Jawa Pos)

Jakarta, law-justice.co - Hanya dalam kurun waktu dua hari, setidaknya ada dua kelapa daerah dan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Perkebunan Nusantara (PTPN III) yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pada Senin (2/9/2019) KPK menangkap Bupati Muara Enim H Ahmad Yani terkait dugaan suap proyek jalan. Di hari berikutnya KPK secara paralel menangkap Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek Kertha Laksana lantaran menerima suap terkait distribusi gula. Di waktu hampir bersamaan, KPK juga menangkap Bupati Bengkayang Suryadman Gidot terkait suap proyek di Bengkayang.

Artinya dalam kurang lebih 48 jam KPK menerjunkan tiga tim penindakan untuk melancarkan operasi senyap di tiga tempat terpisah dengan target berbeda dalam tiga kasus yang tak saling terkait satu sama lain.

Bahkan, jika dirunut dalam rentang Agustus-September 2019, kurang lebih sebulan terakhir, KPK sudah melakukan enam kali OTT. Mulai dari penangkapan terhadap kepala daerah hingga jaksa.

Marak OTT ini disebut menjadi cara untuk kejar target bagi kepemimpinan Agus Rahardjo cs yang akan selesai pada Desember 2019. Dari lima pimpinan KPK saat ini hanya Alex Marwata yang berpeluang kembali jadi pimpinan di periode 2019-2024, usai lolos dalam seleksi Capim KPK untuk mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR.

Melansir dari CNN Indonesia, Ketua Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman menduga KPK beranggapan bahwa OTT adalah salah satu indikator keberhasilan lembaga itu dalam menjalankan tugasnya.

"Kejar target dan kejar tayang," kata Boyamin, Kamis (5/9/2019).

Boyamin menilai, dengan digenjot OTT, harapannya KPK akan dianggap berprestasi oleh publik. Atas dasar itu, Boyamin memperkirakan tidak menutup kemungkinan hingga Desember nanti akan ada OTT, setidaknya seminggu sekali.

"Bisa jadi ke depan tiap minggu akan ada OTT sampai bulan Desember," kata Boyamin.

Anggota Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menilai OTT yang dilakukan ini justru menunjukkan performa KPK yang memuaskan dari sisi penindakan korupsi. Apalagi aktor yang ditangkap belakangan adalah orang penting alias politically exposed person.

"Sehingga, rekam jejak dalam memberantas korupsi yang seperti ini perlu untuk dipertahankan," kata Wana.

Senada, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menilai bahwa OTT yang marak belakangan tidak bisa disebut sebagai kejar target. Pasalnya, dalam melakukan OTT, KPK selalu menerima informasi dari masyarakat, yang mana hal itu tidak bisa direncanakan.

"OTT itu kan bukan maunya KPK, berdasarkan laporan masyarakat, kan tidak mungkin KPK langsung OTT tanpa informasi, indikasi dan sebagainya," kata dia.

Efektivitas OTT Dipertanyakan

Di tempat lain, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Nasir Djamil menilai OTT marak belakangan ini bukan upaya kejar target, melainkan kerja KPK yang tidak berpola. Menurutnya OTT selalu mencerminkan dua hal, kegagalan atau keberhasilan KPK sebagai penegak hukum khusus memberantas korupsi.

"Berhasil membuat efek jera meskipun sedikit, (atau) gagal membangun sistem integritas. Karena itu pencegahan menjadi kata kunci agar OTT tidak kerap terjadi," kata Nasir.

Lebih jauh Nasir beranggapan OTT ini justru tidak efektif untuk memberantas korupsi. Hal itu lantaran efeknya sangat sedikit ketimbang pencegahan. Bagi Nasir, kerugian keuangan negara yang terselamatkan bakal jauh lebih banyak melalui pencegahan ketimbang penindakan.

Berdasarkan data capaian kinerja KPK, sepanjang tahun 2018, KPK tercatat menyelamatkan uang negara sejumlah Rp500 miliar. Angka Rp500 miliar itu didapat dari penanganan tindak pidana korupsi di tahun 2018. Jumlah itu masih lebih kecil dibandingkan dengan anggaran yang diserap lembaga antirasuah sebanyak Rp744,7 triliun.

Agus Rahardjo sendiri sempat menyatakan bahwa penyelamatan duit negara dari sisi pencegahan jauh lebih besar jumlahnya ketimbang penindakan. Ia mengklaim jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Namun, pihak komisi antirasuah masih belum merilis secara pasti berapa hasil penyelamatan uang negara dari sisi pencegahan.

OTT dan Capim KPK

OTT sebagai sebuah operasi senyap dalam penindakan KPK juga menjadi tema yang kerap diangkat oleh para calon pimpinan KPK periode 2019-2023, salah satunya adalah Roby Arya Brata.

Menurut Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha pada Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet (Setkab) itu, OTT yang dilakukan KPK selama ini tidak menghasilkan apa-apa.

Ia mengatakan OTT tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan korupsi di republik ini. Padahal lembaga antirasuah cukup agresif melakukan operasi senyap.

Berdasarkan data Transparency international tahun 2018, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya berada di angka 38. Rentang skor indeks adalah 0-100, di mana semakin besar skor berarti semakin bersih dari korupsi.

Angka itu tidak naik signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yakni 37. Padahal di 2018 KPK melakukan 28 kali OTT, atau terbanyak sepanjang sejarah lembaga itu berdiri.

"Ini berarti ada yang keliru dengan strategi penindakan (dan pencegahan) yang dilakukan oleh KPK selama ini. Dampak negatifnya justru membuat pemerintah daerah jadi ketakutan menjalankan program-program strategis untuk rakyat," kata Roby.

Di sisi lain, Laode Syarif mengatakan bahwa jumlah OTT yang dilakukan KPK masih sangat sedikit. Dibandingkan dengan jumlah kasus yang ditangani KPK, hanya 10 persen di antaranya yang dimulai dari OTT.

"Tadi dengan ibu Basaria pada waktu gelar perkara kami hitung jumlah OTT dan tidak OTT kami hitung paling tidak ada 10 persen, kurang dari 10 persen," kata Laode di Gedung KPK, Selasa (3/9/2019).

Basaria menambahkan bahwa pihaknya juga sudah menerapkan pencegahan berulang kali. Selama empat tahun terakhir KPK lebih banyak melakukan pencegahan ketimbang penindakan.

Hal itu ditunjukkan dengan kegiatan penyuluhan, penyelamatan aset, dan pembekalan antikorupsi. Kelima pimpinan juga kerap kali berkeliling Indonesia untuk melakukan pencegahan.

"Memang pencegahan itu sudah berulang kali, empat tahun ini jauh lebih banyak pencegahan dari penindakan. Kita tahun kemarin 30 (OTT), tahun ini 15 (OTT), ini sangat kecil sebetulnya," kata Basaria.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar