Kasus Proyek Grand Indonesia Milik Grup Djarum (Tulisan-2)

Menguak Modus Kolusi PT HIN di Kontrak BOT Grand Indonesia

Senin, 02/09/2019 07:43 WIB
Dua gedung premium milik CKBI (Grup Djarum) yang dipersoalkan itu (foto: Kompas)

Dua gedung premium milik CKBI (Grup Djarum) yang dipersoalkan itu (foto: Kompas)

Jakarta, law-justice.co - Kerja sama Build, Operate & Transfer (BOT) antara Badan Usama Milik Negara (BUMN) PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI)  yang dimiliki taipan Djarum Grup dan PT Grand Indonesia (GI) sempat ramai dipersoalkan, kerena dianggap merugikan negara. Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) nomor 02/Auditama VII/01/2016 yang dikeluarkan pada 14 Januari 2016, mengamini tudingan itu. Menurut BPK, PT HIN berpotensi menderita kerugian minimal Rp 1,2 triliun, menyusul perpanjangan BOT selama 20 tahun pada 2010.

Sejumlah kejanggalan ditemukan dalam kontrak yang baru akan berakhir pada 2054 itu. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman kepada Law-justice.co mengatakan penunjukan anak usaha Group Djarum PT CKBI sebagai mitra strategis PT HIN, patut dipertanyakan. “Saya yakin dugaan penyimpangan itu ada karena beauty contest-nya dulu bagaimana, tiba-tiba HIN kerjasama dengan PT CKBI itu.” Menurutnya, negara menderita kerugian karena sejak awal penentuan harga kerjasama berbentuk BOT itu terlalu murah.

Lebih jauh salah seorang pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) Andi Sahrandi saat ditemui reporter Law-justice.co Winna Wijaya di rumahnya, mengatakan semua ini (Kerjasama BOT Grand Indonesia. Red) adalah bentuk perampokan aset negara. “Ini penipuan. Itu (Hotel Indonesia) buah tangan kebanggaan bangsa, Soekarno yang bikin. Sekarang diserahkan ke swasta, ‘50 tahun lagi saya pulangin’. Gak masuk akal… Menara BCA dalam perjanjiannya gak ada tapi dibikin ada.” Belum lagi menurut dia soal perpanjangan kontrak yang dilakukan sebelum kontrak berakhir. Dia berpendapat ketidakberesan ini bukan melulu kesalahan pihak swasta. Pejabat yang terlibat menangangi perjanjian ini pun patut dipertanyakan.

 

Pendiri ICW Andi Sahrandi (foto: Winna Wijaya/Law-justice.co)

Sebenarnya tidak ada yang salah ketika pemerintah memutuskan untuk mengundang swasta merevitalisasi sekaligus mengembangkan lahan seluas 6,15 hektar di kawasan paling strategis di Jakarta tersebut. Yang penting perikatan perjanjian dengan pihak swasta jangan sampai merugikan negara. Manajemen PT HIN kala itu tengah menghadapi kesulitan finansial. Selama lebih dari 30 tahun, Hotel Indonesia belum pernah direnovasi. Biaya maintenance yang tinggi pun sulit ter-cover karena sumber dana internal terbatas. Apalagi saat itu tidak ada penambahan Penyertaan Modal Pemerintah (PMP). Upaya perusahaan untuk melakukan penggalangan dana lewat IPO (Initial Public Offering) maupun penerbitan oblikasi belum dapat terlaksana karena perusahaan dianggap belum layak. 

Itulah sebenarnya dasar keputusan pemerintah untuk membuat perjanjian BOT dengan pihak swasta. Pada Februari 2003, lewat media massa termasuk di Harian Bisnis Indonesia, the Jakarta Post, dan Sinar Harapan, pemerintah mengumumkan rencana pengembangan kawasan Hotel Indonesia. Saat itu ada sekitar 52 calon mitra strategis yang diundang, tapi hanya 8 yang berminat dan kemudian mengerucut hanya tinggal 4 yang mengajukan penawaran. Dari 4 calon investor, PT CKBI/PT GI menjadi penawar tertinggi dengan nilai Rp 1,26 Triliun. 

Negosiasi berjalan setahun lebih sampai akhirnya pada 13 Mei 2004 disepakati adanya perjanjian kerjasama antara PT HIN dan PT CKBI/PT GI. Kerjasama ini berbentuk Build Operate Transfer (BOT). Pada 2004 itu pula diterbitkanlah persetujuan dari Menteri BUMN (saat itu) Laksamana Sukardi melalui Surat Nomor. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004 beserta lampirannya, perihal Persetujuan Perjanjian Kerjasama antara PT HIN dan CKBI. Surat persetujuan inilah yang menjadi dasar bagi perjanjian BOT.

 

Presiden RI Soekarno menggunting pita pembukaan Hotel Indonesia (5/8/1962) (Foto: HI)

Lalu, apa yang dimaksud dengan perjanjian model BOT? Apa isi Perjanjian BOT antara PT HIN dan PT CKBI/GI? Dimana letak kejanggalannya? Apakah perjanjian itu berpotensi menyebabkan kerugian Negara? Bagaimana konsekuensi adanya pejabat negara yang telah menyalahi jabatan / wewenangnya karena diduga bersekongkol dengan pihak swasta?

Perjanjian Model BOT

BOT singkatan dari Build, Operate and Transfer yang secara harfiah diartikan bangun, guna dan serah. Ini adalah bentuk hubungan kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta dalam rangka pembangunan proyek infrastruktur.

Pengertian BOT pun diatur dalam Keputusan Mentri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 Jo SE - 38/PJ.4/1995. Isinya sebagai berikut:

  1. Bentuk perjanjian kerjasama antara pemegang hak atas tanah dengan investor,
  2. Pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian,
  3. Setelah masa perjanjian berakhir, investor mengalihkan kepemilikan atas bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah.
  4. Bangunan yang didirikan investor dapat berupa gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko, hotel, dan/atau bangunan lainnya.

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (12) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara-Daerah, BOT adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

Secara sederhana pengertian BOT adalah perjanjian antara pemerintah dan swasta untuk sebuah proyek. Pemerintah dalam hal ini menyediakan lahan yang akan digunakan swasta untuk membangun proyek. Ijin membangun, mengoperasikan dan mengelola fasilitas dalam jangka waktu tertentu diberikan pemerintah kepada swasta. Pada akhirnya melewati jangka waktu tertentu proyek atau fasilitas tersebut akan menjadi milik pemerintah selaku milik proyek.

Isi Perjanjian BOT PT HIN dan PT CKBI

PT CKBI/PT GI berhasil menyingkirkan sejumlah calon mitra strategis lainnya, setelah mereka menyatakan sanggup memenuhi persyaratan nilai investasi minimum sebesar Rp 1,262 triliun. Meski kemudian menurut pengakuan PT GI, biaya pembangunan yang dikeluarkan jauh lebih besar dari nilai investasi yang tercantum dalam kontrak (Rp1,262 triliun). Besarnya melonjak 4,5 kali lipat menjadi Rp5,5 triliun.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, kerjasama HIN – GI adalah kerjasama Bangun, Guna, Serah (BOT). PT HIN selaku pemilik lahan memberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada GI. Perjanjian ini bukan sistem sewa yang mengenal skema bagi hasil. Dalam kontrak BOT dinyatakan bahwa seluruh keuntungan selama masa pengelolaan adalah hak PT GI.

Berdasarkan bunyi pasal 9.9 perjanjian tersebut, pendapatan pengelolaan tanah, gedung dan fasilitas penunjang adalah hak GI seluruhnya. Oleh karenanya GI tidak diwajibkan untuk menyerahkan laporan pendapatan maupun laba rugi dari pengoperasian obyek gedung dan fasilitas penunjang kepada HIN. Apalagi, BOT mensyaratkan, seluruh keuntungan dari pengelolaan aset yang dibangun adalah hak dari PT GI, bukan PT HIN.

 

Klausul perjanjian: GI tidak wajib laporkan laba rugi (foto: Ist)

Sebagai penerima hak BOT, GI juga berhak mendirikan dan mengoperasikan gedung dan fasilitas penunjang secara komersial. Di akhir masa BOT, seluruh bangunan dan fasilitas penunjang yang sudah dibangunnya wajib diserahkan kembali kepada HIN. Bahkan saat dikembalikan, semua bangunan yang ada harus di-appraisal, apakah layak atau tidak bangunan yang diserahkan tersebut.

Untuk melaksanakan perjanjian ini, PT CKBI kemudian menunjuk PT GI sebagai pelaksana kerja sama. Jangka waku kerja sama selama 30 tahun yang dimulai sejak diterbitkan Hak Guna Bangunan atas nama GI. Sedangkan kepemilikan lahan beserta bangunan yang nanti dibangun tetap milik negara. Kerja sama ini juga mencantumkan Hak Opsi Perpanjangan selama 20 tahun.

Karena ini adalah kerjasama BOT, maka GI wajib membayar kompensasi tahunan kepada PT HIN. Nilai kompensasi seperti tertera dalam kontrak BOT adalah sebagai berikut:

  • Tahun 2004 – 2012 sebesar Rp 10 miliar per tahun
  • Tahun 2013 – 2017 sebesar Rp 11 miliar per tahun
  • Tahun 2018 – 2022 sebesar Rp 12 miliar per tahun
  • Tahun 2023 – 2027 sebesar Rp 13 miliar per tahun
  • Tahun 2028 – 2032 sebesar Rp 14 miliar per tahun
  • Tahun 2033- 2035 sebesar Rp 15 miliar per tahun

Selain itu PT GI wajib menyediakan kantor bagi PT HIN, yang sesuai kontrak luasnya adalah 1.000 m2. Kantor tersebut berada dalam gedung dan fasilitas penunjang, tanpa dikenakan biaya sewa. Dalam hal penyediaan kantor masih dalam tahap konstruksi, maka PT GI wajib menyediakan kantor sementara untuk PT HIN berkegiatan. Kala itu biaya yang dikeluarkan PT GI untuk membayar sewa kantor sementara termasuk renovasi yang diperlukan, mencapai Rp 6,1 miliar.

Kontrak BOT juga mengatur klausul soal dana penyelesaian tenaga kerja di lingkungan PT HIN. Dalam kontrak disebut PT GI menyediakan dana sebesar maksimum Rp 33 miliar sebagai bentuk penyelesaian pendanaan ketenagakerjaan atas karyawan HIN.

Soal opsi perpanjangan kontrak juga diatur dalam perjanjian BOT. Isinya menegaskan jika GI ingin memperpanjang kontrak maka hal itu harus disampaikan kepada HIN. Permintaan pihak GI harus dibalas PT HIN selambat-lambatnya 14 hari sejak tanggal pemberitahuan. Jika HIN menyetujui hak opsi perpanjangan yang ditawarkan, maka GI wajib membayar kompensasi sebesar Rp 400 miliar atau 25% dari Nilai Jual Objek Pajak lahan yang berlaku pada saat hak opsi diajukan, tergantung mana yang lebih besar.

Klausul lain yang sempat diributkan adalah pasal yang terkait dengan gedung dan fasilitas penunjang. Dalam perjanjian kontrak BOT pasal 1.2 (hal, 7) dinyatakan bahwa “Gedung dan fasilitas penunjang adalah bangunan-bangunan dan segala fasilitas pendukung yang wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah, yaitu, antara lain, pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya, berikut fasilitas parkir serta Ffasilitas penunjang lainnya.”

 

Pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski berbau korupsi (foto: mahkota property)

Selain itu ada juga pasal tentang hak pengagunan sertifikat kepada pihak ketiga. Dalam pasal 9.5 perjanjian BOT dinyatakan: “ntuk menghindari keraguan, penerima Hak BOT berhak untuk menjaminkan hak atas tanah sebagaimana diuraikan dalam sertifikat HGB di atas HPL maupun HMASRS berikut Gedung dan Fasilitas Penunjang yang terdaftar atas nama Penerima Hak BOT untuk mendapatkan pendanaan dari pihak ketiga ...”

Pasal itu jelas menyebut yang dapat dijaminkan hanya HGB atas nama GI. Sedangkan sertifikat HPL tanah atas nama PT HIN seharusnya tidak pernah dijaminkan, karena dipegang oleh HIN.

Sejumlah Kejanggalan

Perjanjian kerja sama antara PT HIN dengan PT CKBI/ PT GI menyisakan sejumlah kejanggalan. Beberapa klausul yang ada dalam perjanjian model BOT tersebut dinilai berat sebelah dan hanya menguntungkan pihak swasta. Berikut ini faktanya:

Pertama, terkait opsi perpanjangan kontrak. Dalam kontrak BOT dinyatakan bahwa PT GI bisa melaksanakan Hak Opsi untuk memperpanjang jangka waktu kerjasama selama 20 tahun sejak tanggal ditandatanganinya Perjanjian BOT.

Awalnya, kontrak BOT akan berakhir pada 12 Oktober 2035. Namun, baru enam tahun berjalan, tepatnya pada 2010 lalu, muncul kesepakatan baru yang menyatakan perjanjian BOT diperpanjang hingga 20 tahun dan akan berakhir pada 12 Oktober 2055. Memang hal ini tidak menyalahi kontrak. Dalam pasal 7.1.1 dinyatakan bahwa Hak Opsi Perpanjangan dapat dilaksanakan sejak tanggal efektif tetapi tidak boleh lebih lambat dari 2 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu 30 tahun HGB atas HPL. Artinya, opsi perpanjangan memang bisa dilakukan sewaktu-waktu.

Namun yang menarik adalah permohonan perpanjangan ini justru diajukan oleh PT HIN kepada PT GI melalui surat No. 1103/DIRUT/HIN/11/2010 tanggal 15 November 2010. Meski sebenarnya yang mempunyai hak perpanjangan adalah PT GI. Alasannya karena PT HIN membutuhkan dana untuk merenovasi Hotel Inna Putri Bali dan Inna Muara Padang yang rusak akibat gempa.

Renovasi dua hotel ini membutuhkan biaya kurang lebih Rp 1,1 triliun. Dana dari GI kemudian cair sebesar Rp 400 milyar. Kekurangan sebesar Rp 671 miliar ditutupi pihak HIN dengan mengajukan pinjaman ke sebuah bank BUMN.

Dalam kontrak memang disebutkan jika hak opsi perpanjangan disetujui maka GI wajib membayar kompensasi sebesar Rp 400 miliar ATAU 25% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan yang berlaku pada saat hak opsi diajukan, tergantung mana yang lebih besar. Baru kemudian, pihak HIN menuding kompensasi tersebut tidak fair bahkan merugikan. Perpanjangan kerjasama lebih awal mengakibatkan negara mengalami kerugian hingga Rp 1,29 triliun. Kerugian tersebut dihitung berdasarkan selisih 25% dari NJOP tanah dan bangunan pada tahun 2014 dengan Rp 400 miliar yang dibayar oleh GI pada tahun 2010.

Menurut Jaksa Agung M Prasetyo yang merujuk pada laporan BPK, hitung-hitungannya seharusnya mencapai Rp 1,6 triliun. Dia pun mengatakan tidak mustahil untuk membuat addendum perjanjian jika disara merugikan. “Yang negara jangan sampai dirugikan,” katanya di hadapan para anggota dewan saat Rapat Kerja dengan Komisi III pada 21 April 2016 silam.

 

BPK merilis hasil temuannya pada 2016 (foto: ist)

Meski demikian sejumlah kalangan menilai tidak tepat membandingkan nilai transaksi di tahun 2010 dengan nilai tahun 2014. Lapigula yang mengajukan opsi perpanjangan adalah pihak HIN dan sudah sesuai dengan BOT. Mengapa kemudian baru diributkan? Adakah kesepakatan “terselubung” antara pejabat negara di HIN dengan GI?

Bau konspirasi dalam perjanjian ini juga tercium dengan adanya kesepakatan nilai kompensasi untuk PT HIN yang bersifat flat setiap tahun, sejak perjanjian diteken.  Rata rata peningkatan nilai kompensasi hanya berkisar antara Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar rupiah setiap tahun setidaknya hingga 2019 ini. Dengan perhitungan kompensasi seperti ini, jelas PT HIN tidak mendapatkan keuntungan yang seimbang. Nilai kompensasi semestinya bisa jauh lebih besar. Jadi terlihat disini kontrak tersebut hanya menguntungkan pihak GI.

Kejanggalan kedua, terkait pembangunan Apartemen Kempinski dan Menara BCA.

Dalam pasal 1.2 (hal 7) perjanjian kerjasama BOT disebutkan “Gedung dan fasilitas penunjang adalah bangunan-bangunan dan segala fasilitas pendukung yang wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah, yaitu, antara lain, pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya, berikut fasilitas parkir serta fasilitas penunjang lainnya.”

Pasal tersebut jelas tidak mengatur secara limitatif bangunan apa saja yang boleh dibangun Penerima Hak BOT. Artinya, GI dapat membangun apa saja di atas lahan PT HIN, dan tidak terbatas hanya pada Hotel Bintang Lima, Pusat Perbelanjaan atau lahan parkir. Syaratnya hanya, mereka wajib terlebih dahulu memberitahukannya kepada HIN.

Oleh sebab itu ketika PT GI membangun Menara BCA dan Apartemen Kempinski mereka merasa tidak melanggar hukum.

Audit BPK yang dirilis pada 2016 menyebut PT GI telah menyalahi kontrak BOT dengan membangun Menara BCA setinggi 230 meter dengan 56 lantai dan Apartemen Kempinski sebanyak 263 unit. Menurut BPK, hal ini tidak sesuai dengan dokumen term of reference yang disusun bersama Kementerian BUMN.

Namun ternyata dalam perjanjian kontrak BOT ada klausul yang menyatakan kata “antara lain” dalam definisi gedung dan fasilitas pendukung, yang tercantum pada pasal 1.2 perjanjian BOT. Ini membuka peluang untuk diizinkannya mendirikan bangunan lainnya di luar hotel dan pusat perbelanjaan seperti yang sudah disebutkan dalam kontrak. Karena itu, PT GI kemudian membangun gedung perkantoran di atas tanah objek kerja sama.

Sampai disini kalau dicari siapa kambing hitamnya, tentu adalah pembuat perjanjian itu sendiri. Siapa yang salah? Mengapa misalnya pada waktu pembuatan perjanjian tidak disebutkan secara rigit saja jenis bangunan yang akan dibangun. Dengan mencantumkan kata: “antara lain” maka membuka tafsir untuk pembangunan gedung diluar peruntukan yang telah disebut dalam kontrak BOT, yakni hotel dan pusat perbelanjaan.

Keanehan lainnya, menyangkut penjaminan hak atas tanah.

Dalam pasal 9.5 perjanjian BOT dinyatakan “Untuk menghindari keraguan, Penerima Hak BOT berhak untuk menjaminkan hak atas tanah sebagaimana diuraikan dalam sertifikat HGB di atas HPL maupun HMASRS berikut Gedung dan Fasilitas Penunjang yang terdaftar atas nama Penerima Hak BOT untuk mendapatkan pendanaan dari pihak ketiga ...”

Pasal itu jelas menyebut bahwa yang dapat dijaminkan hanya HGB atas nama PT GI.  Sementara sertifikat HPL tanah yang tertera atas nama PT HIN tidak pernah dijaminkan karena masih dipegang oleh HIN. Jadi PT GI selaku pemegang hak HGB berhak melakukan penyewaan, penjualan atas unit bangunan dalam objek BOT. Tetapi hanya selama jangka waktu HGB serta waktu perpanjangannya. Untuk itu PT GI wajib memberitahu para penyewa serta pembeli unit bangunan bahwa saat berakhirnya jangka waktu HGB dan perpanjangannya, GI wajib mengembalikan unit bangunan yang disewa atau dibeli kepada HIN.

Apartemen Kempinski, salah satu yang termahal di Jakarta (foto: Rakinen)

Untuk itu pengawasan ketat perlu dilakukan sehingga kelak proses pengalihan sewa menyewa bangunan yang berakhir maksimal sampai 12 Oktober 2055, dapat berjalan sesuai rencana. Jangan sampai timbul perjanjian aneh-aneh yang bisa menyebabkan kerugian Negara. Sesuai klausul dalam perjanjian BOT, semua aset yang telah dibangun harus dikembalikan kepada negara saat perjanjian sudah berakhir.

Konsekuensi Hukum

Perjanjian BOT yang hanya menguntungkan salah satu pihak – dalam kasus ini PT GI – menunjukkan ada indikasi penyalahgunaan wewenang. Untuk itu perlu dilakukan penyelidikan lebih mendalam. Jika terbukti maka pelaku penyalahgunaan kewenangan dapat dijerat hukuman maksimal penjara seumur hidup.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tegas menyatakan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Apakah perjanjian BOT antara PT HIN dan PT CKBI/ PT GI mengandung unsur penyalagunaan kewenangan oleh pejabat negara, masih perlu pengusutan lebih lanjut. Pengusutan perlu segera dilakukan sebagai pembelajaran agar di kemudian hari para pejabata tidak dengan mudah membuat perjanjian yang merugikan kepentingan negara. Kalau hal ini dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang dapat menimbulkan potensi hilangnya aset negara.

(Ali Mustofa\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar