Ridwan al-Makassary

Ancaman Konflik Horizontal di Balik Kisruh Papua 2019

Senin, 02/09/2019 00:01 WIB
Aksi unjuk rasa orang Papua terkait permasalahan rasis di Surabaya (The Jakarta Post)

Aksi unjuk rasa orang Papua terkait permasalahan rasis di Surabaya (The Jakarta Post)

law-justice.co - Papua sedang menangis bersimbah air mata darah. Saya yakin sebagian besar warga Indonesia di manapun berada merasakan kepedihan dan berharap Papua kembali pulih dan kondusif. Aksi demo damai anti-rasisme yang menjadi anarkis di kota Jayapura, Negeri Matahari Terbit (29/8/19), telah menyisakan bangunan, rumah, tempat usaha, fasilitas publik, yang porak poranda karena terbakar dan dijarah, dan juga efek psikologi traumatis yang dalam bagi para korban terutama para pendatang yang hanya mengais kehidupan untuk keluarganya. Kota Jayapura yang indah sontak bak kota mati. 

Namun, saya juga dapat memahami luka darah dan air mata (memoria passionis) orang asli Papua yang selama ini telah termarjinalkan di negeri mereka yang subur, sehingga ada luapan yang bersemangat dari sebagian pejuang self-determination untuk menyuarakan aspirasinya. Murungnya, pendekatan yang dipilih sebagian warga Papua yang kembali berdemo jilid dua, dengan memobilisasi massa yang besar, terlalu riskan yang berujung pada pembakaran, penjarahan dan penciptaan teror. Apakah ada pihak lain yang menunggangi atau memang didesain untuk terjadinya chaos, biar aparat penegak hukum yang turun tangan dengan semangat keadilan untuk memulihkan kota Jayapura secara khusus dan umumnya Provinsi Papua dan Papua Barat. 

Pelbagai pemberitaan di media massa dalam dan luar negeri, yang tampil dengan frame masing-masing untuk kepentingan mereka menunjukkan bahwa peristiwa memilukan tersebut merupakan masalah publik (public issue merujuk pada C.Wright Mills), sebuah masalah besar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang baru merayakan HUT ke-74. Tulisan singkat ini akan menjelaskan secara teoritis bagaimana konflik terjadi, khususnya membaca kemungkinan konflik horizontal di Papua, dan bagaimana mencegah dan meminimalisir dampaknya yang akan mendesktruksi hubungan antar suku dan agama, dan juga menghancurkan infrastruktur, selain kematian korban yang tak ternilai. Ajaran agama mengajarkan,”satu nyawa yang dibunuh ibarat membunuh semua manusia”, telah menghentak kesadaran kita akan perlunya menjaga nyawa manusia dengan tidak membunuhnya kecuali dipanggil pemilik-Nya.

Secara teoritik, konflik adalah sesuatu yang alami dan merupakan karakter manusia (human nature). Fisher merumuskan konflik sebagai, “sebuah hubungan antara dua atau tiga partai (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan-tujuan yang tidak sesuai (bertolak belakang)”. Lebih jauh, konflik terbit karena tidak adanya keseimbangan  relasi kekuasaan, ekonomi dan sosial seperti status ketidak adilan sosial, kekayaan yang tidak adil dan akses kepada sumber daya. Selanjutnya, ini kerap menyebabkan problema bermunculan seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, opresi dan kejahatan.

Sumber konflik, sejatinya, beragam. Namun, berdasarkan sebab-sebab yang paling banyak berlaku, Rupshinge (2000, h. 34-37) telah membuat tipologi konflik sebagai berikut: Pertama, konflik berbasis sumber daya alam berdasarkan kompetisi untuk kekuasaan ekonomi dan akses terhadap sumber daya alam. Kedua, konflik memperebutkan pemerintahan dan otoritas berdasarkan kompetisi  kekuasaan politik dan partisipasi dalam proses politik. Ketiga, konflik berdasarkan pada kompetisi antara rival ideologi dan sistem nilai. Keempat, konflik  berdasarkan pada kompetisi antara identitas etnik, agama  dan komunal lainnya yang berlawanan untuk akses kekuasaan ekonomi dan keadilan sosial.

Dalam banyak kasus penyebab-penyebabnya saling berkelindan dan menjadi  akar masalah satu sama lain. Dari keempat tipologi konflik tersebut, krisis identitas tampaknya mendominasi yang lain, dan juga lebih kental dengan konflik politik yang berkombinasi dengan semangat etnik dan agama di pelbagai belahan dunia. Namun, tampaknya  yang banyak terjadi sejak tahun 1990-an adalah konflik etnik agama (konflik komunal). Krisis identitas adalah puncak dari hasil deprivasi relatif, rakyat yang anti kepada pemerintahan otoriter, hubungan asimetrik dengan negara dan aktor-aktor dominan yang lain.

Kesadaran identitas adalah manifestasi ‘etnisitas’ dan memiliki  lima komponen: 1). Sebuah keyakinan subjektif pada peristiwa nyata atau pelbagai anteseden sejarah yang diasumsikan; 2). Pusat geografi  nyata atau simbolik; 3). Pertukaran emblen budaya, seperti ras, bahasa, agama, pakaian dan diet; 4). Kewaspadaan diri yang sudah diterima  tentang kekhususan dan kepemilikan pada kelompok; dan 5) pengakuan oleh kelompok berbeda (Phadnis, 1990, h. 14). Segala ancaman terhadap inti sensi identitas  ini dan pengabaian akan hak-hak ini akan membuka jalan pada lahirnya konflik identitas.   

Di Papua, terutama di kota-kota yang plural seperti Jayapura, Timika dan lain-lain, persoalan krisis identitas adalah wajar terjadi di tengah cepatnya perubahan sosial dan persaingan ekonomi, politik dan budaya yang tinggi. Pada saat yang sama kearifan lokal tergerus dan hubungan kemanusiaan antar etik agama menjadi renggang, impersonal, tersegregasi dan terhalang dinding penyekat. Pada titik kulminasi tertentu, ketika perekat sosial (societal glue) telah terkikis habis, maka konflik identitas, ibarat “api” bisa melahap “jerami” sosial dengan cepat dan liar. Dengan kalimat lain, Papua adalah sebuah wilayah yang diasumsikan orang luar Papua adalah wilayah yang tidak aman, terutama oleh konflik politik yang berlarut-larut (protracted conflict), termasuk oleh ancaman konflik identitas, yang bernuansa agama dan etnis. Bagaimana sejatinya situasi terkini tentang konflik identitas di Papua?  Tulisan ini ingin melihat pada konflik horizontal.

Sejatinya, terdapat empat jenis konflik yang umum terjadi di dunia, termasuk di Papua yang masih bergolak. Pertama, konflik bersenjata antara pemerintah dan pihak yang mau merdeka. Kedua konflik kekerasan oleh negara. Ketiga kekerasan struktural, Keempat konflik horizontal. Untuk beberapa derajat konflik kekerasan tersebut terjadi di Papua. Konflik jenis pertama dan kedua tidak mudah untuk diselesaikan karena menyangkut kepentingan yang berseberangan. Dalam konflik jenis ini, penggunaan aksi kekerasan akan semakin gampang digunakan untuk mewujudkan kepentingan masing-masing. Kekerasan struktural mungkin bisa lebih mudah diatasi jika ada political will dan political action pemerintah benar-benar pro terhadap rakyat. Konflik horizontal tetap menjadi ancaman terutama dengan penguasaan ekonomi oleh pendatang serta kehadiran Islam transnasional di Papua, yang mengajarkan ajaran Islam yang cenderung radikal. Semua jenis kekerasan tersebut dapat menghancurkan visi Papua Tanah Damai yang diimpikan oleh warga Papua yang plural.   

Paska kejadian aksi demo anarkis di kota Jayapura, sebagaimana disebutkan di atas, Paguyuban Nusantara dan Barisan Merah Putih terusik karena tempat usaha, rumah dan pertokoannya dibakar dan dijarah. Aksi sweeping mereka terhadap pelaku demonstrasi adalah respon alamiah, “semut yang terinjak pun akan melawan”. Saya mendengar sudah jatuh beberapa korban.  Mungin masih pekat di ingatan kita akan peristiwa aksi balas dendam kaum pendatang terhadap perilaku yang kurang terpuji dari oknum orang Wamena di Keerom berakibat pembakaran rumah orang Wamena yang dilakukan pendatang beberapa tahun lalu. Semoga hal tersebut tidak terjadi karena yang akan muncul adalah dendam yang tak berkesudahan dan pertumpahan darah. Dua hari terakhir gejala konflik horizontal tersebut terlihat hingga hari ini gesekan antar etnik pendatang dan pendemo masih bisa terjadi. Dalam hal ini, semua stakeholders, Forkompinda mesti bergerak untuk menenangkan semua warga dan memulihkan kota agar warga bisa kembali beraktifitas seperti semula. Silahkan bagi para demonstran yang tetap mau menyampaikan aspirasi self-determination, tapi jangan dinodai dengan aksi pembakaran dan penjarahan. Tempuhlah cara-cara nir-kekerasan. 

Berdasarkan laporan Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Habibie Center tahun 2015, Papua merupakan wilayah yang sangat rentan terjadi kekerasan terkait konflik identitas dibandingkan provinsi lainnya. Kekerasan terkait konflik identitas di Papua sepanjang tahun 2014 yang dominan adalah bentrokan atau penganiayaan antar-kelompok suku yang berbeda. Data SNPK mencatat 61% (16 insiden) adalah insiden terkait dengan kategori tersebut. Bahkan, seluruh dampak tewas konflik identitas merupakan akibat dari insiden-insiden kekerasan antar-kelompok suku. Jika dilihat dari pola persebaran konflik antar-kelompok suku di Papua, insiden kekerasan hanya terjadi di dua wilayah, yakni Kabupaten Mimika dan Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten Mimika menjadi wilayah yang dominan terjadi kekerasan antar-kelompok suku di sepanjang tahun 2014 dengan 15 insiden yang mengakibatkan 12 tewas, 65 cedera, dan lima bangunan rusak. 

Hasil analisis data SNPK menunjukkan bahwa kekerasan antar-kelompok suku kerap dipicu oleh beberapa persoalan. Pertama, aksi balasan terhadap insiden-insiden kekerasan berskala kecil (penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian) yang terjadi sebelumnya. Tak jarang pula, insiden-insiden berskala kecil tersebut menjadi pemicu bagi kekerasan yang lebih besar, seperti bentrokan dan kerusuhan. Kedua, respon atas aksi kriminalitas, seperti pencurian dan perampokan, yang diduga dilakukan oleh orang-orang dari wilayah atau kampung lain. Hal tersebut acap mendorong bentrokan antara masyarakat desa/kampung yang saling bertetangga.

Sementara itu, laporan hasil “Konferensi-Kelompok Diskusi Terfokus-Perencanaan Strategis” Jaringan Antariman Pemimpin Agama,  yang dihelat oleh Forum Konsultasi Para Pimpinan Agama (FKPPA) Papua bekerja sama dengan Yayasan Dian/Interfidei, yang melibatkan 70 an pemimpin agama akar rumput seTanah Papua, telah mengidentifikasi empat tantangan utama kerukunan beragama dan  perdamaian Papua kontemporer: Pertama, fanatisme agama yang berlebihan; kedua, primordialisme etnik; ketiga, marjinalisasi orang asli Papua dan keempat, Perubahan sosial akibat bonus demografi. Ini mengandung arti bahwa konflik-konflik bernuansa agama dan etnis untuk beberapa derajat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, dan juga efek dari manipulasi konflik politik yang sudah menahun. Dan mesti dicamkan bahwa faktor tersebut tidaklah tunggal, namun berkelindan satu sama lain. 

Semoga semua pihak bisa menahan diri dan mengambil pelajaran dari kisah yang pahit ini. Damai Papua Damai Indonesia.

Ridwan al-Makassary: Pekerja Perdamaian Indonesia, Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI),  yang pernah mendalami resolusi konflik dan rekonsiliasi perdamaian di Rotary Peace Center Thailand (2015), MPI Filipina (2016)  Uppsala University (2009) dan American University, DC (2009). 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar