RUU KUHP Tak Singgung Banyak Soal LGBT

Jum'at, 30/08/2019 16:17 WIB
Ilustrasi hukum (Litigasi.co.id)

Ilustrasi hukum (Litigasi.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sempat diberikan amanat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggodok pasal kriminalisasi LGBT.

Namun, di draf RUU KUHP terbaru, tidak ada pasal yang menyinggung kriminalisasi LGBT.

Melansir dari Detik.com, dalam KUHP saat ini, ancaman LGBT hanya berlaku bila salah satu pelakunya adalah anak-anak. Pasal 292 itu berbunyi:

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Nah, dalam draf RUU KUHP terbaru, pasal di atas tidak ditemukan. Dalam draf itu, pencabulan baru dikenakan delik pidana apabila ada pemaksaan. Dalam Pasal 421 berbunyi:

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori III.
2. Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
3. Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

"Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun," demikian bunyi Pasal 421 ayat 2, sebagaimana dikutip, Rabu (28/8/2019).

Isu kriminalisasi LGBT sempat ramai dibahas saat MK memutuskan judicial review KUHP terkait pasal-pasal zina. Sembilan hakim konstitusi terbelah. Empat hakim konstitusi sepakat mengkriminalkan LGBT, namun lima hakim konstitusi menyatakan tidak berwenang mengadili judicial review itu karena kriminalisasi merupakan hak DPR.

"Pasal 292 KUHP seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun untuk pemidanaannya, baik jenis (strafsoort) maupun besarannya (strafmaat), atau boleh jadi tindakan (maatregel) yang dapat dijatuhkan kepada pelaku percabulan sesama jenis, kami berpendapat hal ini merupakan open legal policy pembentuk undang-undang," kata hakim konstitusi Arief Hidayat dalam putusan MK yang dibacakan pada 14 Desember 2017.

Menurut MK, upaya yang semestinya ditempuh adalah mengajukan usul dan mendorong perubahan ke DPR, bukan ke MK. Proses pembahasan RKUHP yang tengah berlangsung dapat dijadikan momentum untuk mengajukan usul demikian.

"Pembentuk undang-undang seharusnya menangkap aspirasi ini sebagai bagian dari masukan dalam menyusun substansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru," ujar MK.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar