Akar Masalah Papua Ada di Elit Bangsa,Beda Perlakuan Kasus 20 Mei

Selasa, 27/08/2019 05:25 WIB
Aksi unjuk rasa orang Papua terkait permasalahan rasis di Surabaya (The Jakarta Post)

Aksi unjuk rasa orang Papua terkait permasalahan rasis di Surabaya (The Jakarta Post)

Jakarta, law-justice.co - Sudah lebih sepekan kasus kerusuhan Papua  berlangsung tapi respon pemerintah datar saja dan Presiden Jokowi dengan gampang memberi solusi sederhana, saling memaafkan saja. Berawal dari “penyerbuan “ terhadap asrama mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, akhirnya berbuntut demo besar-besaran di kota kota utama di Papua. 

Manokwari adalah kota pertama yang bergolak menyusul, Sorong, Fak Fak, Jayapura dan kota kota lainnya. Mereka marah besar karena orang Papua merasa di lecehkan dengan sebutan monyet dan diminta pulang ke daerah asalnya. Seolah-olah mereka di perlakukan sebagai bukan orang Indonesia.

Demo orang Papua ternyata bukan hanya terjadi di pulau Papua saja tetapi juga merembet ke kota lainnya di luar Papua seperti di Makassar dan Jakarta. Mereka seolah-olah mendapatkan angin untuk menyuarakan aspirasinya setelah merasa teraniaya. Bahkan orang-orang Papua ini bisa berdemo di depan istana dengan mengibarkan bendera bintang Kejora tanpa mendapatkan halangan dari aparat keamanan yang berjaga. Mereka juga meneriakkan yel yel Papua merdeka tanpa kendala.

Kini tuntutan mereka memang semakin mengarah pada upaya disintegrasi bangsa. Mereka meminta merdeka karena selama ini merasa diperlakukan tidak adil dan disia-siakan sebagai anak bangsa. Bumi Papua  yang kaya tidak memberikan kesejahteraan bagi mereka dan cenderung hanya menjadi sumber petaka. Mengapa orang-orang Papua ini begitu “berani” bersikap menyuarakan aspirasinya ?. Dimana sebenarnya akar masalah Papua yang sebenarnya. Bagaimana solusi mengatasi gejolak di Papua ?

Pemerintah Yang Lemah

Menghadapi aksi-aksi anarkis warga Papua, terkesan pemerintah tidak berdaya.Nyaris tidak terdengar adanya penangkapan terhadap mereka yang melakukan aksi anarkis seperti membakar bendera, membakar fasilitas umum dan merusak aset-aset Negara.  Dalam sebuah tayangan video amatir terlihat bagaimana aparat keamanan kepolisian lari tunggang-langgang diburu oleh warga yang kalap ingin “menghabisinya”. 

Terlihat juga beberapa tentara lari menjauh dari area kerusuhan karena hujan batu yang terus menimpa. Fenomena ini sampai menimbulkan tanda tanya, kalau aparat saja takut dan kemudian menyelamatkan dirinya, lalu siapa yang harus melindungi warga ?.

Fenomena tersebut sangat kontras dengan yang terjadi di Jakarta ketika aparat diturunkan untuk mengatasi aksi damai di depan MK. Aparat saat itu begitu kelihatan perkasa dan royal mengumbar peluru untuk warga yang menyampaikan aspirasinya. Sampai sampai 8 orang warga sipil meregang nyawa sementara  yang lainnya hilang entah kemana.  Aparat begitu perkasa “membantai” rakyat bahkan terhadap anak kecil yang tidak bersenjata. 

Ketidakadilan itu diperlihat begitu kasat mata sehingga banyak orang yang mengeluas dada. Ketidakadilan ini pula yang menjadi sumber utama perpecahan bangsa. Sungguhnya nyata betapa pemerintah sangat lemah menghadapi aksi anarkis warga Papua yang telah membakar bendera, merusak aset bangsa dan melukai aparat keamanan disana.  Menghadapi aksi kerusuhan ini Presiden Indonesia hanya meminta supaya para pihak saling memaafkan saja. 

Menurut Yati Adriyani, Koordinator Kontras, pernyataan ini adalah sebuah kesalahan. Menurutnya, ajakan Jokowi untuk meredam kemarahan masyarakat Papua sama sekali tak menyelesaikan persoalan yang ada. “Cara Presiden hanya dengan menyatakan mari kita saling memaafkan itu tidak cukup untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di Papua,” kata Yati Adriyani di kantor KontraS, Jakarta, Selasa (20/8/2019).

Seharusnya, kata Yati, Presiden menyampaikan permintaan maaf atas rasisme yang dilakukan terhadap warga Papua. “Sebetulnya kami ingin presiden sebagai kepala negara meminta maaf terhadap aksi rasisme dan diskriminatif terhadap masyarakat Papua,” tegasnya. Selain itu juga, meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus penghinaan terhadap warga Papua yang terjadi di Surabaya dan Malang pada 17 Agustus 2019 lalu. “Dan menyatakan bahwa siapapun yang terlibat dalam tindakan-tindakan tersebut harus dihukum, tapi (pernyataan) itu tidak ada,” lanjutnya.

Boleh jadi karena merasa diatas angin, sementara posisi Pemerintah yang terkesan lemah, pada akhirnya masyarakat Papua khususnya yang tinggal di Manokwari dan Sorong melipatgandakan tuntutannya. Jika semula mereka meminta supaya pelaku provokasi di Asrama Papua di Surabaya di usut tuntas dan dihukum pelakunya, kini mereka menuntut yang lainnya. Menurut pengakuan Yorris Raweyei anggota DPD terpilih Papua, terdapat tujuh tuntutan yang diminta masyarakat Manokwari dan Sorong kepada Pemerintah. Tujuh tuntutan masyarakat Papua kepada pemerintah tersebut adalah :

  1. Masyarakat menuntut Pemerintah RI segera memulangkan mahasiswa Papua dari Tanah Jawa kembali ke Papua.
  2. Pemerintah harus membubarkan ormas Banser dari Indonesia
  3. Masyarakat mendesak agar Presiden mewakili segenap Bangsa Indonesia meminta maaf kepada rakyat bangsa Papua.
  4. Masyarakat meminta Presiden memecat oknum anggota TNI yang mengeluarkan statement `monyet` kepada mahasiswa Papua.
  5. Negara segera tarik militer organik dan non organik dari tanah Papua, biarkan `monyet hidup` sendiri di bangsanya sendiri.
  6. Meminta agar Pemerintah memberikan kebebasan bagi Papua menentukan nasib sendiri.
  7. Apabila Pemerintah Indonesia tidak mengindahkan pernyataan mereka dan melakukan hal yang sama, maka mereka akan duduki.

Blokir Internet Bukan Solusi

Untuk meredam meluasnya aksi rusuh Papua, pemerintah saat ini dikabarkan telah memblokir akses internet di Papua. Namun Anggota DPD terpilih dari provinsi Papua, Yorrys Raweyai mengatakan, pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat bukan solusi atas konflik yang sedang terjadi di sana. "Kita tidak boleh salahkan media, ini kan sekarang seakan-akan kita mulai blokir internet dan lain sebagainya, itu bukan solusi," kata Yorrys.

Yorrys mengatakan, pemblokiran internet tersebut justru akan memicu warga untuk mencari informasi terkait kondisi terkini di Papua. Ia berpendapat, polisi seharusnya justru menyelesaikan kasus persekusi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang dinilai menjadi pemicu menyebarnya aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Papua.

Yorrys pun menuntut pihak kepolisian dapat transparan dalam memproses kasus di Surabaya. Menurut Yorrys, polisi harus bertanggung jawab atas perlakuan represif terhadap para mahasiswa. "Tiba-tiba begitu ringan dengan menembakkan tembakan-tembakan gas air mata, pendobrakan, seakan-akan terkesan adik-adik mahasiswa seperti teroris," ujarnya.

Pasca terjadi rusuh Papua, beragam tawaran solusi disampaikan untuk penyelesaiannya. Sebagai contoh PP Pemuda Muhammadiyah, yang menjadi salah satu bagian organisasi pemuda itu, meminta pemerintah turun tangan mencari akar permasalahan yang menyulut sejumlah kerusuhan di wilayah Papua tersebut. "Akar masalahnya harus segera ditemukan, apa penyebabnya? Apa karena Ras itu. Makanya aktornya harus diciduk dan ditangkap.

Kedua baru menyelesaikan budaya di Papua. Saya kira itu salah satu langkah yang bisa meredam dan tidak memperkeruh yang ada di Papua," kata Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto di Grha Oikumene, Jl Salemba Raya, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2019).Sunanto mengatakan pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap kepentingan rakyat Papua. Kebijakan yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi warga Papua.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Gamki Willem Wandik mendesak pemerintah secara serius menghilangkan stigma rasial dan diskriminatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. "Mendesak negara untuk secara serius menghilangkan stigma rasial dan diskriminatif dalam setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan Pancasila Sila Ke-2, UUD 1945, dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," kata Willem Wandik.

Karena itu, Willem berharap semua elemen bangsa, dari unsur pemerintah, aparat penegak hukum, sampai para tokoh masyarakat, tidak melakukan tindakan rasial dan diskriminatif yang bisa memperkeruh suasana. Ia juga berharap instansi-instansi pemerintahnya turut memantau tindakan para pejabatnya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan bahwa penegakkan hukum harus menjadi perhatian agar benar-benar berlaku adil untuk semua. "Tentu ada suatu hal tindak-tindakan yang menyangkut masalah separatisme itu harus di dekati, di approach dengan bijaksana karena ini sangat membahayakan kalau kita mendiamkan atau justru memberikan pendekatan yang salah," katanya.

Menurut dia bahwa masalah ikatan atau kesatuan bangsa terjalin karena adanya ikatan nasib dan cita-cita yang sama.Oleh karenanya, sangat berbahaya bila kemudian timbul ketidakadilan ekonomi dan sosial di masyarakat."Jadi pendekatan terhadap berbagai macam masalah baik itu separatisme maupun menyangkut SARA perlu ada kehati-hatian," pungkasnya.

Ketua Tim Akar Rumput, Ridha Saleh angkat bicara dan menawarkan solusi terkait eskalasi dan kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Papua Barat dan Papua. Mantan Komisioner Komnas Ham ini menyatakan, dalam situasi seperti ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemimpin tertinggi Negara ini harus mengambil tindakan cepat. Ridha Saleh menyarankan agar Jokowi memerintahkan semua jajaran dan aparatur pemerintahan untuk berperan aktif dalam mencegah dan menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap masyarakat sipil di Papua dengan mengedepankan prinsip musyawarah mufakat.

Selain itu, kepada pemerintah, Ridha Saleh menyarankan agar mengimplementasikan secara sungguh-sungguh prinsip afirmasi dan hak-hak politik orang Papua melalui pembentukan Dewan Rakyat Papua (DRP) sebagai wadah politik orang Papua. Tujuan pembentukan DRP tersebut, menurut Ridha Saleh adalah dalam membangun tanah Papua, menyelesaiakan konflik-konflik , serta mengontrol kebijakan dalam berbagai permasalahan orang Papua.

Sementara itu Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Yohanes Jonga menawarkan lima solusi untuk mengatasi masalah Papua. Solusi pertama supaya kejadian ini tidak terulang, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengeluarkan pernyataan yang mengedepankan persatuan dan menanamkan rasa kekeluargaan.

Kedua, aparat penegak hukum diminta agar meningkatkan profesionalisme dalam bekerja. Sehingga apabila ada kabar seperti di Surabaya yang menyebutkan mahasiswa Papua membuang bendera Merah Putih, bisa segera di mitigasi dan diselesaikan secara hukum. Dengan demikian dapat dihindarkan dari perilaku anarkis kelompok tertentu.“Hukum harus ditegakkan. Kalau organisasi lain yang mengatur penegakkan hukum, ini sudah akibatnya terjadi macam-macam seperti itu,” ucap Yohanes.

Ketiga, menurut pria yang berprofesi sebagai Pastur di Papua itu, meminta semua instansi, baik ormas, pemerintah dan lain sebagainya agar bisa semakin dewasa dalam bertutur kata dalam menanggapi berbagai persoalan yang muncul. Hal itu guna mencegah adanya keributan satu sama lain.

Keempat ini mungkin anak-anak Papua yang sudah selesai kuliah. Bagaimana juga supaya pengangkatan (PNS) dan lain sebagainya membawa anak Papua ke luar Papua juga. Artinya ada jatah mereka di daerah lain,” lanjutnya.

Peraih penghargaan Yap Thiam Hien 2009 itu menilai saat ini penyebaran PNS atau CPNS asal Papua belum merata. Orang-orang asli Papua masih banyak terfokus di daerah asalnya. Hanya sedikit yang mendapat kesempatan di daerah lain. Padahal kebijakan ini penting, sebagai penanda setiap warga negara memiliki hak yang sama.

Solusi kelima, Yohanes meminta mahasiswa Papua yang berada di perantauan manapun, agar dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan di daerah tersebut. Dengan demikian kerukunan antar warga bisa tercipta. “Jadi diberi tempat bagi mahasiswa Papua, (walaupun) mereka menolak tapi mereka diberi kesempatan,” tutupnya.

Akar Masalah Sebenarnya

Jika ditelusuri, persoalan Papua sudah ada sejak Republik ini lahir di tahun 1945, Konferensi Meja Bundar 1949 manyatakan penyerahan kedaulatan atas seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia kecuali Irian Barat (kini Papua). Sejak itu masing-masing negara saling mengklaim Papua sebagai wilayahnya. Belanda merencanakan mengembangkan Papua seperti Inggris menggarap Australia. 

Pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat, Belanda tidak mengakuinya. Perang tak dapat dihindari,  tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mencanangkan operasi Pembebasan Irian Barat dengan sandi operasi Trikora.

Amerika Serikat mengkhawatirkan perang perebutan Papua melemahkan aliansinya melawan komunis, mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia, maka tercapailah New York Agreement pada tanggal 15 Agustus 1962, yang menyepakati  Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) untuk kemudian akan menyerahkannya kepada Indonesia.

Dengan bantuan PBB, diberi kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969, disaksikan PBB. Hasilnya, Papua bergabung dengan Indonesia. Organisasi Papua Merdeka, tidak terima. Sejak itu bara konflik tak pernah padam di Papua, hingga hari ini.

Berbagai pendekatan telah dilakukan Pemerintah untuk meredam konflik di Papua. Pada era rezim Soeharto, pendekatan militer lebih diutamakan. Pada pemerintahan Gus Dur, pendekatan kemanusiaan dengan memberikan kebebasan berekspresi pada masyarakat Papua dan pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Otsus Papua) Tahun 2001.

Dari berbagai cara yang telah dilakukan Pemerintah, tampaknya tidak pernah mampu mengatasi persoalan Papua secara utuh dan permanen. Sepanjang masa, secara sporadis timbul gejolak, meskipun sesaat kelihatan padam, tetapi tetap menyimpan bara yang kemudian menjadi api konflik. Lalu menjadi timbul pertanyaan, dimanakah akar masalah yang sebenarnya ?

Dari berbagai kegagalan yang dilakukan Pemerintah, karena cara pandang berbeda, cenderung menganggap bahwa persoalannya pada masyarakat Papua. Akan tetapi bila kita kaji lebih mendalam,  sesungguhnya persoalanya bukan di masyarakat Papua, tetapi masalahnya di tata kelola pemerintahan Republik ini, yakni memaknai hakekat tujuan berbangsa.

Sebagaimana digariskan dalam konstitusi, tujuan kita berbangsa adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan ini, hingga hari ini, masih jauh dari harapan, bukan hanya bagi masyarakat Papua  tapi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejak  Papua berintegrasi dengan Indonesia tahun 1969, Pemerintahan selalu dikuasai rezim oportunis dimana politisi busuk berkolaborasi dengan pengusaha licik menghisap kekayaan alam dan  rakyat Indonesia, termasuk Papua yang kaya. Wabah korupsi  dari era Soeharto hingga hari ini tidak bisa dihentikan adalah salah satu bukti wujudnya. Efek dari penyakit korupsi ini menjalar ke pembusukan-pembusukan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akibatnya timbul ketidak percayaan rakyat kepada rezim Pemerintah, siapapun rezimnya, untuk mengantarkan ke tujuan berbangsa. Meskipun penderitaan akibat korupsi ini bukan hanya Rakyat Papua, tetapi karena sejarahnya, sebagian masyarakat Papua mempertanyakan apa maknanya menyatu dalam NKRI kalau hidup tidak bisa sejahtera ?. Kesadaran inilah mempersubur separatisme, bukan hanya di Papua, termasuk Aceh dan radikalisme agama.

Jadi kalau ingin melihat NKRI menyatu harmoni termasuk dengan anak anak bangsa Papua maka wujudkanlah tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Elite bangsa harus berpikir ke arah sana dan membuang jauh jauh kebiasaan selama ini yang suka mementingkan kehidupan pribadi dan kelompoknya.  Masih merajalelanya politisi busuk yang berkolaborasi dengan pengusaha licik menghisap kekayaan alam dan  rakyat Indonesia, termasuk Papua yang kaya, harus segera diakhiri petualangannya.

Yakinlah ketika kehidupan rakyat Papua menjadi sejahtera, diperlakukan secara adil oleh pemimpinnya dan dihargai sebagai sebagai manusia Indonesia maka yang namanya kerusuhan dan ketidakharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan hengkang dengan sendirinya. Jadi persoalan Papua yang sebenarnya bukan ada di Papua tapi ada di elite bangsa yang masih belum mampu menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana untuk rakyatnya.

 

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar