Potensi Indonesia Jadi Penadah Barang Impor China Akibat Perang Dagang

Minggu, 25/08/2019 15:32 WIB
Ilustrasi Perang Dagang Amerika-China (Kompas.com)

Ilustrasi Perang Dagang Amerika-China (Kompas.com)

Jakarta, law-justice.co - Kondisi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak pada perekonomian global dan bisa merambat ke negara berkembang termasuk Indonesia. Terlebih China mulai memberikan balasan dan AS yang mulai meminta perusahaan untuk angkat kaki dari China.

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan masalah yang harus diwaspadai dari perang dagang ini adalah pengalihan barang impor dari China ke Indonesia.

"Maklum pasar Indonesia 260 juta penduduk yang tingkat konsumsinya cukup dominan. Barang-barang dari China yang banjir karena trade war akan perlebar defisit perdagangan sekaligus CAD," jelas Bhima dikutip dari Detik Finance, Sabtu (24/8).

Sementara menurut Direktur riset CORE Indonesia, Piter Abdullah, eskalasi perang dagang akan mempersulit Indonesia mendorong ekspor. Di sisi lain ada potensi Indonesia menjadi sasaran penetrasi barang-barang impor negara lain yang memanfaatkan keterbukaan perekonomian tanah air. Terhambatnya ekspor dan peningkatan impor mengakibatkan neraca perdagangan akan terus berpotensi defisit.

Ekonom CSIS, Fajar Hirawan, menilai kondisi global dikhawatirkan menuju ke arah resesi ekonomi. Khususnya terjadi karena adanya beberapa peristiwa ekonomi global seperti perang dagang, kemudian kebijakan ekonomi yang populis di beberapa negara seperti AS.

Dia mengungkapkan, Indonesia juga harus mewaspadai kondisi tersebut. Apalagi jika negara yang mengalami resesi adalah mitra ekonomi strategis Indonesia, seperti AS dan China.

"Meskipun kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih terbilang cukup aman, namun salah langkah sedikit saja dalam merespons gejala resesi ekonomi ini dengan mengambil kebijakan yang populis, seperti pemotongan atau diskon pajak atau insentif fiskal lainnya, maka akan berbahaya dampaknya bagi perekonomian Indonesia," kata Fajar di Jakarta, Sabtu (24/8).

Fajar mengatakan saat ini upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan pembangunan inklusif, mempercepat sinkronisasi antara pusat dan daerah terkait dengan Online Single Submission (OSS), serta terus membangun industri berbasis bahan baku lokal dan berorientasi ekspor dibarengi dengan partisipasi aktif Indonesia dalam rantai nilai global (global value chain).

"Dan pembangunan jaringan produksi dunia (global production network), harus terus menjadi prioritas kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia ke depan," jelas dia.

Menurut Fajar, tidak boleh ada celah sedikit pun bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan ekonomi populis yang justru akan menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia.

Bhima menambahkan ada juga dampak positif untuk Indonesia, yakni terbukanya peluang ekspor. Hal ini karena barang AS yang bea masuknya ditambahkan oleh China US$ 75 miliar seperti komponen otomotif, produk pertanian seperti kedelai, etanol dan daging sapi.

"Indonesia punya banyak manufaktur di komponen otomotif, dan bisa mengisi kekosongan minyak nabati China yang sebelumnya di-supply AS," imbuh dia.

Selain itu produksi sawit dalam bentuk CPO Indonesia tahun 2018 saja mencapai 43 juta ton, dan sekarang over supply.

"Saran saya segera kirim tim promosi dan negosiasi dagang untuk ajak pengusaha China serap lebih banyak produk Indonesia," tutur Bhima.

(Winna Wijaya\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar